Rabu, 11 Agustus 2010

Being a Commuter

Beberapa waktu kemarin, masalah kemacetan Jakarta menjadi headline di berbagai media cetak dan elektronik. Metro TV memperkirakan tahun 2015 Jakarta akan macet total. Total dalam artian tidak akan ada lagi kendaraan yang bisa bergerak karena pertumbuhan luas jalan Jakarta hanya 0,01 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan pengguna mobil mencapai 10 persen per tahun, dan motor hingga 15 persen per tahun.

Tenang, saya tidak akan membahas peningkatan penggunaan mobil atau motor pribadi, juga tidak menyinggung banyaknya mall yang dibangun sehingga lahan hijau banyak dibabat dan rencana pelebaran jalan raya harus dikorbankan. Sepertinya semua orang sudah cukup lelah dan sumpek dengan fakta tersebut. Saya ingin membagi pengalaman tentang komuter yang harus menaklukkan kemacetan Jakarta setiap harinya.

Menurut Wikipedia, komuter adalah seseorang yang bepergian ke suatu kota untuk bekerja dan kembali ke kota tempat tinggalnya setiap hari. Dalam bahasa Jawa istilah komuter tenar dengan nama 'penglaju'. Komuter Jakarta kebanyakan berdomisili di daerah Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Setiap hari mereka menempuh jarak puluhan atau ratusan kilometer ke tempat kerja, untuk kemudian pulang ke tempat tinggal masing-masing. Pilihan ini diambil karena Ibukota seringkali tidak menyediakan tempat tinggal yang cukup nyaman, aman, dan terjangkau untuk ditinggali. Tingginya biaya hidup di Ibukota juga merupakan suatu kendala.

Saya adalah seorang komuter. Rumah di kabupaten Bogor dan kantor di Jakarta Pusat. Di hari kerja, saya harus bangun jam 04.30 dan berangkat kerja jam 05.35. Pulang kantor sekitar jam 18.15 dan tiba di rumah jam 20.30. Pergi subuh, pulang larut malam. Jarak rumah - kantor yang jauh membuat saya harus menghabiskan banyak waktu di jalan. Total waktu yang diperlukan untuk perjalanan setiap harinya adalah 5 jam dalam kondisi 'normal', tapi jika macet sudah demikian parah maka lebih banyak lagi waktu yang akan terbuang. Sejauh ini rekornya adalah 8 jam.

Kemacetan Jakarta sudah merupakan 'santapan' sehari-hari bagi komuter. Kami sudah ada pada titik tidak bisa mengeluh dan hanya bisa pasrah menerima keadaan. Entah apa lagi yang harus dilakukan agar kemacetan ini bisa berkurang. Rencana pemerintah hanya jalan di tempat sementara kami harus berangkat kerja setiap hari. Beberapa orang yang baru kenal saya pasti kagum, 'Rumahnya jauh banget, nggak cape tuh?'. Cape sudah tidak ada dalam kamus saya. Untungnya kata 'gampang sakit' juga ikut menghilang dari badan saya.

Menjadi komuter yang menghabiskan banyak waktu di jalan membuat saya harus kreatif mencari cara untuk mengusir rasa bosan. Pilihannya adalah membaca buku, mengobrol dengan teman perjalanan, mendengarkan musik, atau tidur. Tentu saja saya lebih memilih untuk tidur. Durasi perjalanan dan pekerjaan di kantor membuat jam tidur saya banyak berkurang. Benda wajib yang harus selalu ada di dalam tas saya adalah earphone, ampuh untuk menyampaikan pesan 'Saya tidak ingin diganggu' atau 'Saya tidak ingin mengobrol' kepada orang yang duduk di bangku sebelah, juga merupakan cara halus untuk menolak memberi recehan kepada pengamen.

Penggangu utama yang selalu hadir dalam perjalanan seorang komuter tentu saja pengamen. Bukannya saya sinis terhadap pengamen, tapi siapa yang tidak jengah jika dalam sehari harus bertemu minimal 5 pengamen dengan suara pas-pasan, nyanyi nyaris berteriak-teriak, lagu tidak jelas, dan paksaan untuk memberi uang dengan kalimat 'Memberi uang seribu atau dua ribu rupiah tidak akan membuat Anda miskin'. Yang paling menyebalkan adalah sebagian besar pendapatan harian pengamen digunakan untuk membeli rokok. Sekali lagi, tidak bermaksud sinis, hanya saja penghasilan bulanan saya tidak cukup besar untuk menanggung biaya kesehatan di hari tua jika saya terkena kanker atau penyakit jantung, oleh karena itu sebisa mungkin saya menghindari rokok. Jadi, saya menganggap para pengamen yang menghabiskan pendapatannya untuk merokok, sudah cukup mampu untuk menanggung biaya hidupnya sendiri.

Selain masalah kemacetan, masalah klasik lain yang harus dihadapi komuter adalah transportasi umum. Bukan rahasia lagi kalau angkutan umum Jakarta kebanyakan sudah tidak layak jalan, belum lagi supir yang ugal-ugalan dan brutal saat menyetir. Setiap hari, sebelum naik kendaraan seperti ini, saya selalu berdoa, 'Tuhan, lindungi saya. Semoga tidak ada hal yang buruk saat saya menaiki kendaraan ini'. Kondisi kendaraan buruk ditambah supir ugal-ugalan selalu membuat saya parno dengan keselamatan diri sendiri. 

Banyaknya jumlah pekerja Jakarta tidak berkorelasi positif dengan jumlah tempat duduk di angkutan umum. Saya yang menempuh jarak paling jauh tentu tidak mau berdiri sepanjang perjalanan. Untuk urusan rebutan tempat duduk, setiap orang mendahulukan kepentingan pribadi, jangankan istilah ladies first, ibu hamil saja sering tidak dapat tempat duduk dan tidak ada satu orang pun yang sudi memberikan tempat duduknya. 

Masalah langkanya tempat duduk ini membuat penumpang dan supir menjadi kreatif. Mesin bus yang terletak di samping supir diberi alas berupa karpet atau busa sehingga dapat ditempati, hanya saja harus tahan panas untuk bisa duduk disini. Dashboard bus yang lumayan luas juga jadi pilihan halal sebagai tempat duduk alternatif. Untuk yang terakhir ini sih tantangannya beda, punggung nempel dengan kaca depan dan pintu bus terbuka lebar di salah satu bagian. Dengan supir yang ugal-ugalan, kondisi yang paling apes adalah sebagai berikut: 1. Bus menabrak kendaraan di depannya, otomatis kaca akan pecah berhamburan menusuk seluruh bagian punggung, atau 2. Terbanting ke arah pintu yang terbuka dan terjun bebas ke jalan raya. 

Banyaknya komuter yang senasib sependeritaan dan selalu bertemu di transportasi umum yang sama, memungkinkan mereka untuk saling flirting. Sayangnya, flirting yang berujung pada love stuck ataupun love sucks sama-sama tidak mengenakkan. Love stuck: siapa yang tahu kalau ternyata dia sudah memiliki pacar, istri, atau mungkin..... anak. Love sucks: ini akan membuat sebagian besar komuter harus merubah rute perjalanannya demi menghindar dari orang yang bersangkutan. 

Lalu, kenapa saya tidak memilih untuk kost saja? Karena saya memiliki orangtua yang selalu menunggu kepulangan saya. Melihat senyum mama dan papa yang lega karena anaknya selamat sampai di rumah  adalah obat paling manjur untuk menghilangkan keletihan setelah bekerja seharian.

33 komentar:

  1. cerita elo di bis ngingetin gw waktu gw masih pake kendaraan umum, ternyata uda 5 tahun masalahnya tetap sama aja ya
    anw dari pertama kali kenal elo (dr blog) dan gw tau elo seperti apa dan rumah elo dimana, gw langsung salut ama elo, punya rumah jauh dan bela2in pulang demi tetap bersama orang tua terkasih

    BalasHapus
  2. Dulu pas saya masih di Jakarta setahun lalu, meski nggak sejauh kamu dari Bogor.. cuman masalahnya ya sama, perjalanan bikin kita tua di jalan. Emang masalah tempat duduk di bis tuh jadi hal yang ekslusif banget... tapi kalo saya, nggak bisa tidur kalo di perjalanan..apalagi kalo jamnya nanggung. entahlah..

    BalasHapus
  3. Gua aja yang dulu d Kuningan sering mengeluh Cha... gimana yang di Bogor yah? Salut deh buat kesabaran lu.....

    Selamat berpuasa yah..... disini puasanya mulai hari kamis

    BalasHapus
  4. wah perlu kesabaran tinggi setiap hari untuk melewati jalan ke kantor n pulang.. semangat y mbak!!
    semoga nanti ada pemecahan masalah yg tepat sehingga komuter jd lbh nyaman brangkat k kantor..

    BalasHapus
  5. aku salah satu komuter juga mbak :D tp bedanya aku hrs perang sama busway, antri dan dorong2an. untungnya sebagian pengguna busway khususnya lelaki msh menjunjung 'ladies first' *walaupun tdk smua lelaki* :D

    btw mbak,ke bogor koq ga naik kereta aja?bukannya lebih cepet?

    *jadiii,kantornya mbak rosa disebelah mananya sarinah ya? :D

    BalasHapus
  6. tadinya sy betul2 terpaku soal pengalaman ocha sbg komuter. tapi tiba2 kaget dan terharu dengan paragraf terakhirnya, ckck..
    ternyata itu alasan buat bertahan dengan segala kemelut macet ya mbak :)

    eh eh di bulan puasa ini gimana? jadi sering buka di jalan donk ya?

    BalasHapus
  7. Halo Mer, ternyata curhatku yang kemarin gak ada apa-apanya dibandingkan "penderitaanmu setiap hari". Makanya itu aku sampai sekarang gak tertarik pindah Jakarta yang ruwet itu. Salut banget kamu masih kekeh buat pulang untuk berkumpul sama ortu^^

    BalasHapus
  8. Salut buat komuter di mana aja!
    Aku juga milih tidur kalo dalam perjalanan jauh... tapi kadang suka kuatir terjadi apa2 kalo aku pas ketiduran, misal ada barang yang hilang...makanya tidurnya juga bentar2 bangun...agak paranoid ya :)

    BalasHapus
  9. Istilahnya orang sunda mah "kolan" = kolot di jalan...hehehehehe!!!
    Dulu jaman kuliah gw pernah ngalamin bermacet2n ria di bis kota, jadi sampe tidurnya udah cukup, kebangun dan masih belom nyampe...hihihihi...tapi selaku mahasiswa mah enak aja sih, abisnya lumayan bisa ngeceng...hahahahaha!!!
    oh ya, bgmana dengan sexual harrasment, gimana cara2nya buat menghindar dari yang kayak begonoan??

    BalasHapus
  10. jadi ingat almh. ibu.. biasa dulu klo ngekos jauh di ibu kota, ibu truss nungguin kpulangan gw. tp skarang dha ngga lagi.. :(

    *lam kenal

    BalasHapus
  11. Total 5 jam diperjalanan pulang pergi?! SALUT! Aku paling jauh kerja klo naik kendaraan umum 1 jam perjalanan aja udah ngeluh "tua di jalan" jadi malu!!

    Oh yah, salam kenal yah :)

    BalasHapus
  12. wow, merry, kamu peka sekali, good post!

    dri jakarta ke bogor, byk hal kecil yg bisa kamu perhatikan, kemudian tulis menjadi sebuah kritik sosial yg baik:)

    keep spirit merry^)^

    BalasHapus
  13. wuiiih hebat juga ya para komuter!!!
    selut deh...

    aku mungkin tidak akan sekuat itu menjalani hidup sebagai komuter. salut buat komuter...

    oh ya, ngenes juga ngeliat Ibu hamil gak bakalan dapat tempat duduk kalo pas rame yaa
    kasihan.
    tapi memang transportasi publik di negri kita tercinta ini sama sekali tidak memihak pada ibu hamil, orang renta ataupun ladies first.
    ironis

    BalasHapus
  14. apalagi kalo pulang kerja liat Dija..
    dijamin Tante pasti gembira lagi deh

    BalasHapus
  15. Semoga di setiap hari perjalanan pergi dan pulang bekerja, kamu bisa mendapatkan banyak ide tulisan. Jadi meski memerlukan banyak waktu selama di perjalanan, minimal ada bahan buat ditulis.

    BalasHapus
  16. Tertarik sama bahasanmu yg terakhir, love sucks, hihihi.. Iya banget tuh Sa. Tapi kalo serute n jam pulangnya sama terus seringan ga bisa menghindar. Yang ada jadi suka kesel sendiri :( Semangat ya jadi komuternya, sapa tahu nanti ketemu love of lifenya, hihihi

    BalasHapus
  17. saya juga suka tidur kalo di bus dan gak mau diganggu. apalagi sama pengamen.

    BalasHapus
  18. ohh beruntunglah saya yang ke kantor cuman jalan kaki nggak sampai 5 menit nyampe :D

    apa memang waktunya Jakarta dipindah ke pulau lain yah? *pikir pikir*

    BalasHapus
  19. Kalau aku sih pasti tak tahan jika jadi lomuter spt itu... :)

    BalasHapus
  20. Udah kebayang capeknya dalam perjalanan ke kantor PP setiap hari... melewati jalan2 di Jakarta yg selalu macet..

    BalasHapus
  21. 5jam perjalanan?? setiap hari???
    aku bener-bener angkat topi buat kak rossa...

    kalo aku sih gak bakalan tahaaaan

    BalasHapus
  22. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  23. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  24. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  25. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  26. pernah nyampe 8 jam buat perjalanan? whuaaa, ga kebayang, ckckckck....

    salut buat mba rossa, kalo saya mungkin udah nge-kos kali ya...tapi bener juga, senyuman orang tua yg menyambut saat datang seakan melelehkan semua rasa penat dan kesal yg campur aduk ya mba....


    oiya mba, saya mau kasih tau nih, ada revisi link blog saya jadi http://www.sunflower-song.com/
    jadi tolong diganti ya mba di daftar link nya, makasih sebelumnya... ^^

    satu lagi, maaf mba jadi menuhin komen nya, internet saya tadi lagi eror neh, jadi kedobel2 gitu posting komennya, tapi udah saya hapus yg dobel2 itu... :)

    BalasHapus
  27. wah, susah bgt ya jadi commuter... benar2 perjuangan deh...

    BalasHapus
  28. wow.. bener2 nice post sis.. hiks jadi inget pengalaman sendiri..
    walopun ngga separah kamu..

    dulu pernah naik KRL AC, padahal bukan yg 1500an yang udah kaya ikan itu, tapi tetep aja penuh. bahkan ibu hamil aja sampe rela berdiri di pintu desek2an sama yang lain. aku cuma miris ngeliatnya karena aku sendiripun ngga bisa gerak.

    btw, perumpamaan2 yang dibayangkan jika duduk di dasbor itu ngeri juga. hiiy

    BalasHapus
  29. wah hebat teh.. kerja dan gak mau kost karna ortu nunggu dihumz. aku bener-bener salut. moga ortu teteh selalu bahagia dengan adanya teteh. amin

    lam kenal

    BalasHapus
  30. hai ca..
    waktu pertama kali kamu bilang..kalau rumah kamu dibogor..asli saya cuma bisa nyegir aja..gila jauh banget..5 jam perjalan..belum lagi kalau macet....

    dulu saya juga merasakan perjalanan yang sama ...
    jakarta bekasi...
    kalau normal dua jam...
    kalau macet bisa tiga jam..bahkan 4 jam..sumpah bukan pengalaman yang menyenangkan...
    pegel, tepos..punggung sakit...

    untunglah sekarang ada kereta api..
    bisa pulang lebih cepat..walaupun harganya lebih mahal....

    ya itu lah prinsip ekonomi..
    ada nyaman ada harga...

    saya juga sama kaya kamu ca...
    lebih milih pulang kerumah daripada kost,karena keluarga adalah nomor satu..(^_^)

    BalasHapus
  31. Wuahhhh,, ayu baru tahu istilah comuter itu ternyata seperti it. Busyet dah menempuh waktu 5 jam untuk perjalan normal saja? Ckckckck. Jakarta padet banget sih ya? Mana lagi pengamen berisik. Ngga bisa bayangin deh bagaimana lelahnya keseharian kakak *takjub*

    BalasHapus
  32. wah aq baru tau istilah comuter.. salut dech buat perjuangan para comuter

    BalasHapus
  33. menurut saya kemacetan itu penyebabnya yah bahu jalan yang
    di pakai untuk parkir, terus juga banyak yang bawa mobil
    pribadi tapi isinya itu cuma 1 aja, jadi pengguna mobil itu makan banyak ruang,,

    BalasHapus