Selasa, 30 November 2010

INAFFF10 Closing Film: The Girl Who Kicked The Hornest' Nest

Bayangkan jika Anda menonton The Lord Of The Ring: Return Of The King tanpa menonton dua film pendahulunya; The Fellowship Of The Ring dan The Two Tower. Atau bayangkan jika Anda menonton trilogi The Matrix langsung di film ketiga, lagi-lagi melewatkan dua film sebelumnya. Bagaimana rasanya? Pusing, bingung, tidak mengerti jalan ceritanya. Itulah yang terlintas di kepala saya saat menonton INAFFF closing film.

The Millenium Trilogy Novel Version

The Girl Who Kicked The Hornest' Nest menjadi film yang menutup rangkaian INAFFF10 di Jakarta. Diangkat dari trilogi novel laris karangan Stieg Larsson, The Millennium Trilogy terdiri dari The Girl With The Dragon Tatto, The Girl Who Played With Fire, dan The Girl Who Kicked The Hornest' Nest. Penulisnya sendiri tutup usia di umur 50 tahun setelah menyelesaikan trilogi novel detektifnya dan tidak sempat menyaksikan ketiga novelnya diadaptasi ke dalam film. 

The Millenium Trilogy berputar pada cerita dua tokoh utamanya, Lisbeth Salander dan Mikael Blomkvist. Lisbeth adalah seorang hacker eksentrik yang antisosial sedangkan Mikael adalah jurnalis dari majalah investigasi Millenium. Keduanya dipertemukan atas permintaan Henrick Vanger untuk mencari keberadaan Harriet Vanger, keponakan yang telah dianggap anak sendiri. Harriet hilang sejak tahun 1966 dan diperkirakan telah tewas.

The Girl With The Dragon Tatto membuka cerita Millenium Trilogy dengan memperkenalkan Lisbeth dan Mikael serta temuan mereka tentang kasus yang dihadapi. Hasil penyelidikan Lisbeth dan Mikael mengarah pada serangkaian besar kasus pembunuhan yang dilakukan keluarga Vanger dan keluarga Vanger akan berusaha mati-matian untuk memastikan rahasia mereka tetap aman.

Cerita berlanjut ke film kedua, The Girl Who Played With Fire. Disini masa lalu Lisbeth dipaparkan dengan gamblang. Lisbeth membakar ayahnya di usia 12 sebagai usaha membela ibunya, masuk dalam RSJ di usia muda karena dianggap menderita gangguan jiwa, dan harus mengalami pelecehan seksual yang dilakukan walinya sendiri. Tidak cukup sampai disitu, Lisbeth juga dituduh atas tiga kasus pembunuhan.

Dalam penutup, Mikael berusaha membuktikan Lisbeth tidak bersalah. Lewat Millenium, Mikael mengumpulkan semua bukti untuk dapat membebaskan Lisbeth dari segala tuduhan sekaligus menjebloskan semua pihak terkait ke dalam penjara.

Oh well, kalau melihat film ketiga ceritanya memang cukup happy ending. Tapi inti cerita tidak terletak disitu, Stieg Larsson ingin mengangkat tema kekerasan seksual karena pernah merasa tidak berdaya menolong seorang gadis yang mengalami pemerkosaan. Bukan kebetulan jika nama gadis tersebut adalah Lisbeth yang akhirnya dipakai sebagai nama tokoh utama perempuan dalam The Millenium Trilogy.

Harus saya akui, ini bukan salah satu review film yang saya tulis dengan baik. Sulit untuk mereview sebuah rentetan film yang ditonton secara terpisah. The Millenium Trilogy adalah trilogi hebat asal Swedia, salahkan saya yang tidak dapat menulisnya dengan baik. Untuk yang menonton keseluruhan filmnya, ada tantangan tersendiri untuk menghubungkan semua keping informasi yang diberikan di setiap episodenya. Teror yang dilakukan kepada Mikael, Lisbeth dan orang-orang di sekitar mereka mampu mencekam penonton untuk terus mengikuti jalannya cerita.

Walau tidak menonton dua film sebelumnya, The Girl Who Kicked The Hornest' Nest mampu membuat saya terus berpikir dan mengaitkan serpihan informasi dari film pertama dan kedua yang ditampilkan secara sepintas. Tidak ada waktu untuk rasa kantuk atau bosan karena tidak mengerti jalan cerita, yang ada adalah rentetan pertanyaan dan rasa penasaran untuk dapat mengerti cerita yang disajikan. Film ini membuat saya tidak sadar telah menghabiskan waktu 2 jam lebih untuk menontonnya.

The Millenium Trilogy akan di-remake versi Hollywood. Saya tidak banyak berharap dengan hasilnya apalagi setelah menonton versi Swedia yang demikian mencengangkan. Pesan saya jika Anda akan menonton The Millenium Trilogy: tonton semua film secara utuh dan berurutan. Jangan ganggu orang di sebelah Anda dengan pertanyaan-pertanyaan karena Anda tidak menonton film sebelumnya (lirik Exort).

See you in INAFFF11 :)

Rabu, 17 November 2010

INAFFF10 Minus Film Indonesia


Film dapat dilihat sebagai sebuah karya seni atau sebagai barang dagangan. Karya seni disini tentu bukan merupakan seni murni (fine art), tetapi lebih sebagai seni terapan atau seni modern sehingga masyarakat awam masih bisa menerima dan mencernanya. Di sisi lain, film hanya dipandang sebagai barang dagangan yang dibuat untuk menghasilkan keuntungan. Film tak lebih dari sebuah komoditas yang dibuat dengan pertimbangan untung rugi. Semakin banyak penonton film tersebut maka semakin besar keuntungan yang akan diraup.

Adalah mungkin untuk membuat sebuah film seni yang komersil, sayangnya kebanyakan produser film Indonesia lebih mengutamakan keuntungan dibanding cita rasa seni. Mereka membuat film dengan satu formula, khusus untuk film horor formula andalan yang digunakan adalah cerita horor yang ternyata lebih banyak mengumbar adegan syur, bintang utama wanita dengan baju kurang bahan, dan yang sedang intens dilakukan adalah memakai bintang film porno luar negeri. Semua ini tentu dilakukan untuk menarik sebanyak mungkin penonton yang berkorelasi positif dengan keuntungan yang dihasilkan.

Indonesia International Fantastic Film Festival (INAFFF) adalah festival film yang mengkhususkan diri pada genre fantasi seperti horor, thriller, science fiction, dan animasi. Indonesia patut bangga karena INAFFF menjadi festival film pertama bergenre fantasi di Asia Tenggara dan yang kedua di Asia setelah Puchon Film Festival di Korea. Indonesia juga patut bangga karena dua tahun berturut-turut INAFFF dibuka oleh film lokal buatan sineas dalam negeri; Takut (Fear) sebagai opening film INAFFF08 dan Macabre (Rumah Dara) membuka layar INAFFF di tahun 2009. Namun Indonesia harus berbesar hati karena tahun ini tidak satu pun film lokal berhasil masuk dalam layar INAFFF.

Rusli Eddy selaku Festival Director INAFFF menyatakan kesulitan mencari film horor lokal yang dapat diputar di INAFFF. Pilihan yang ada sekarang hanya berkisar di cerita kuntilanak merintih atau setan yang datang bulan. Produser Sheila Timothy juga menyayangkan kualitas film horor Indonesia saat ini, padahal kalau dibuat dengan serius film horor berkesempatan membawa Indonesia ke kancah perfilman internasional.

Mau tidak mau harus diakui, kualitas film horor Indonesia memang disetir kepentingan komersil pembuatnya. Tambahkan saja pemeran panas wanita dan baju kurang bahan, pasti masyarakat berbondong-bondong menonton. Selera masyarakat juga yang membuat film semacam ini terus eksis di setiap bioskop Indonesia. Produser menganggap ide cerita yang melenceng dari formula andalan yang telah dibuat akan mematikan penghasilan mereka selama ini.

Memang memprihatinkan melihat kondisi seperti ini dan INAFFF menolak untuk tinggal diam. Setelah berhasil membuat festival film bergenre fantasi dan membawa puluhan film dengan genre tersebut kepada movie buzz, maka INAFFF membuat sebuah terobosan baru untuk memajukan kualitas film fantasi Indonesia. Hampir senada dengan saudara dekatnya JIFFest, INAFFF sedang mempersiapkan ajang Kompetisi Film Pendek untuk genre fantasi (horor, thriller, sci-fi) di pertengahan 2011. 

Kompetisi ini membuka kesempatan bagi umum, baik yang bergelut di dunia film maupun yang belum pernah membuat film sekalipun, untuk menyerahkan sinopsis mereka. Akan dipilih 25 tim terbaik untuk mengikuti workshop selama tiga hari yang akan membekali para pemenang tentang pengetahuan dalam pembuatan film dan pemasarannya. Sepuluh film pendek terbaik akan ditayangkan di INAFFF11 dan akan dipilih satu film terbaik. 

Berita yang terakhir ini tentu akan membuat semua movie buzz menahan napasnya: film terbaik akan diproduseri oleh LifeLike Pictures dan disejajarkan dengan tiga sutradara: Joko Anwar (Pintu Terlarang), Gareth Evans (Merantau), dan Timo Tjahjanto (Rumah Dara). Omnibus 4 film pendek ini akan diputar di seluruh bioskop nasional dan diikutsertakan ke berbagai festival mancanegara.

Mengusung semangat ini, maka INAFFF memutar Monsters (UK, 2010) sebagai opening film. Film besutan Gareth Edwards ini merupakan low budget movie yang menuai banyak kritikan positif. Hanya dengan dana 15.000 USD (sekitar 130juta), Gareth berhasil menampilkan kondisi Meksiko yang terinfeksi makhluk asing, menangkap kemiskinan khas negara dunia ketiga, dan menyentil halus kondisi politik Amerika - Meksiko. Gareth hanya menggunakan satu kamera selama pembuatan Monsters, bergerilya selama enam pekan di Meksiko dan (lagi-lagi) hanya memakai dua pemeran utama saja. Seluruh special effect yang ditampilkan dalam film pun hanya diolah dalam laptop sang sutradara. 

Terbukti, film berkualitas tidak melulu memerlukan dana super besar dan kreativitas tidak perlu mati di tangan para produser dengan formula andalan mereka. Banyak ide brilian sineas muda namun harus terbentur masalah dana dan sponsor, produser menolak cerita mereka karena terlalu melenceng dari formula yang selama ini dipakai. Sekarang saatnya mendobrak paradigma ini. Dengan kreativitas dan kecintaan akan film bertema fantasi, sebuah film memukau dapat dihasilkan. 

Jadi, siap untuk berpartisipasi dalam Fantastic Indonesian Short Film Competition 2011 dan ikut memajukan kualitas film Indonesia?

Spesial thanks to INAFFF for opening and closing invitation :)
Does he looked familiar?

Kamis, 11 November 2010

Mencicipi Animasi Ala Eropa

Satu hal yang selalu saya lakukan sebelum menonton film dalam sebuah film festival: lihat trailernya di YouTube. Biasanya festival film hanya mencantumkan jadwal, venue, dan sinopsis film, minus trailer. Jangan hanya mengandalkan sinopsis yang menarik karena tak jarang cara penerjemahan cerita dalam bentuk audio-visual  membuat film tersebut tidak semenarik sinopsis ceritanya. Alur cerita, akting pemain, cara bertutur cerita, sampai ilustrasi musik dapat dilihat lewat sebuah trailer film.

Perlu diingat juga, sinopsis film yang tidak menarik bukan berarti film tersebut membosankan. Synopsis do the crime :) Tidak jarang sinopsis yang kurang menarik dan tidak dijagokan dalam festival film justru memiliki cara bertutur yang sangat cantik. Ada kepuasan tersendiri jika menemukan film seperti ini dalam sebuah festival film, saya tidak hanya berkesempatan menonton film berkualitas yang tidak mungkin diputar di bioskop Indonesia, jumlah peminat film ini juga lebih sedikit dibanding film andalan jadi tidak perlu takut kehabisan tiket.

Festival film tentunya membawa beragam film dari berbagai belahan dunia dan setiap film memiliki cara bertutur khas sesuai negaranya masing-masing. Bagi saya yang selalu dicekoki cara bertutur drama tiga babak khas Hollywood (perkenalan tokoh utama – klimaks – penyelesaian) tentu butuh usaha ekstra untuk mencerna pesan yang ingin disampaikan lewat film non-Hollywood. Disni trailer film berperan besar agar saya dapat mempersiapkan diri untuk mencerna film akan ditonton plus menghindari film ‘berat’ yang berimbas kepada migrain mendadak.

The Secret of Kells adalah salah satu film yang saya ‘temukan’ dengan bantuan trailer di YouTube. Sinopsis yang ditulis dalam buku program sama sekali tidak memancing rasa tertarik, belum lagi The Secret of Kells masuk dalam kategori animasi, ‘Aihh... Anak kecil sekali’ pikir saya. Film ini langsung keluar dari ‘daftar film wajib nonton’ yang saya buat. Namun setelah melihat ini:


The Secret of Kells berhasil mencuri hati saya dan segera menduduki peringkat 1 ‘daftar film wajib nonton’.

Bercerita tentang Brendan, seorang calon biarawan berusia 12 tahun. Brendan tinggal dengan pamannya Abbot Cellach yang sibuk membangun tembok pertahanan untuk melindungi biara Kells dari serangan bangsa viking. Sebagaimana anak seusianya, Brendan selalu tertarik dengan hal-hal baru dan penasaran dengan semua yang terjadi di luar tembok biara. Brendan lebih suka bermain dalam scriptorium (studio tempat menulis naskah) bersama para scriptoria (penulis naskah) dibanding membantu pamannya.

Suatu hari datang Brother Aidan membawa Books of Iona yang belum rampung ke Kells. Pulau Iona sudah musnah karena serangan bangsa viking dan Brother Aidan hanya membawa Books of Iona sebagai satu-satunya harta berharga dari pulau tersebut. Konon buku ini dapat menyelamatkan sebuah peradaban. Melihat rasa ingin tahu Brendan yang demikian besar, Brother Aidan menunjukkan Brendan keindahan seni dan mendorong Brendan untuk berani mengeksplorasi dunia di luar tembok pertahanan; sebuah hutan misterius dengan berbagai mahkluk gaibnya. Ditemani Pangur Ban kucing kesayangan Brother Aidan, Brendan menjelajahi hutan dan bertemu seorang peri hutan bernama Aisling.


Aisling: 'And this is my forest'. (I L.O.V.E the scene)


Aisling song yang mengubah Pangur Ban menjadi sesosok roh untuk dapat menyelamatkan Brendan.

Umh, ceritanya terlihat begitu simpel dan ringan. Tetapi saya tidak mendapat 'hubungan' antara serangan bangsa Viking, sebuah buku, dan arti menyelamatkan peradaban. Saya kira ketika Brendan berhasil menyelesaikan Book of Kells maka buku tersebut memiliki kekuatan untuk mengalahkan bangsa Viking sehingga biara Kells tetap aman terlindungi. Ergh, sangat terlihat bahwa saya terlalu banyak mengkonsumsi animasi Jepang dan Hollywood.

Setelah browsing ke beberapa tempat, saya makin kagum dengan animasi ini. Siapa sangka ternyata The Book of Kells dibuat berdasarkan sejarah Irlandia di abad ke sembilan. Pada masa itu kerajaan Romawi hancur dan memasuki masa kegelapan (dark ages) dimana tingkat kriminalitas meningkat, pemerintahan dan hukum berhenti, masyarakat buta huruf dan buta akan ilmu pengetahuan. Di masa kegelapan ini agama memiliki peranan penting, biara menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi.
 
The Secret of Kells memberi gambaran betapa masyarakat di era kegelapan lebih memilih untuk mempertahankan diri dari belitan ekonomi dan kejahatan. Ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang mewah dan hanya dimiliki oleh segelintir orang. Inilah mengapa Abbot Cellach lebih memilih bekerja keras membangun tembok demi melindungi biara dan masyarakatnya. Books of Kells merupakan simbol ilmu pengetahuan dan Brendan terus berjuang menyelesaikan buku tersebut agar ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya dapat terus disebarkan ke semua orang. Karena sesungguhnya, ilmu pengetahuan yang dapat menyelamatkan dan mengembangkan sebuah peradaban.

Tidak banyak yang tahu kalau The Secret of Kells berhasil masuk dalam nominasi Best Animated Feature Film Academy Award 2010. Apa yang membedakan The Secret Of Kells dengan animasi sejenis? Jika animasi Jepang memiliki kekhasan dengan tokoh kartun bermata besar dan animasi Hollywood menggambarkan tokoh laki-laki dengan sosok oh-so-superhero dan tokoh perempuan oh-so-supermodel, maka animasi Eropa tampil seperti lukisan yang dijadikan sebuah gambar bergerak. Setiap adegan dipenuhi ilustrasi menakjubkan yang berdiri sendiri-sendiri, walau demikian terdapat kesamaan makna sehingga tidak terjadi benturan antara gambar inti dan dekorasi ilustrasi.







The Secret of Kells tidak hanya memanjakan mata saat melihatnya; setiap ilustrasi rasanya dibuat dengan imajinasi bebas tanpa batas, namun The Secret of Kells juga membawa pesan pentingnya ilmu pengetahuan tanpa terasa menggurui. Seperti kata Aisling 'I have seen the book. The book that turned darkness into light'.

Referensi:
http://hanifah-azzahra.blogspot.com/2009/04/sejarah-desain-naskah-abad-pertengahan.html
http://www.flickmagazine.net/review/305-the-secret-of-kells.html

Sabtu, 06 November 2010

Europe On Screen Opening Night

Memasuki tahun keempatnya, Festival Film Eropa atau lebih dikenal dengan Europe On Screen kembali hadir di Indonesia. Acara ini digelar dari tanggal 29 Oktober - 30 November 2010 di 7 kota besar Indonesia. Kali ini Europe On Screen berkolaborasi dengan sineas Indonesia dengan menayangkan 40 film dari 29 negara belahan Eropa berdampingan dengan 25 film pendek karya sineas dalam negeri.

Tema yang diangkat dari penyelenggaraan Europe On Screen tahun ini adalah Europe in Motion; Eropa yang bergerak. Tujuannya untuk menggambarkan kedinamisan dan keanekaragaman budaya Eropa dan untuk menunjukkan bahwa Eropa terus berupaya untuk bergerak maju di dalam batas-batas negaranya dan dalam menjalin hubungan dengan dunia yang lebih luas. Melalui media audio-visual, diharapkan masyarakat dapat memahami dan mempelajari kebudayaan Eropa. Film Indonesia yang turut diputar selama festival juga merupakan sebuah simbol pertukaran budaya Eropa - Indonesia. 'Kebudayaan secara umum dan film secara khusus adalah piranti penting untuk lebih mengapresiasi kekayaan dalam perbedaan dan untuk mendorong saling pemahaman', ungkap Christiaan Tanghe, duta besar Belgia untuk Indonesia.


Film yang diputar dalam Europe On Screen dapat dikotakkan dalam enam kelompok besar: Europe laugh untuk film komedi, family affairs mengeksplorasi makna dari sebuah keluarga, Europe on screen shorts menampilkan film pendek kolaborasi sineas Eropa dan Indonesia, life lessons berbagi cerita tentang pelajaran dari perjalanan hidup, paths of glory untuk menampilkan sejarah Eropa, dan youth section yang memperlihatkan imajinasi khas anak-anak. Semua film diputar dengan sistem free screening, tiket akan diberikan secara free 45 menit sebelum film digelar. 

Yogyakarta menjadi tuan rumah pertama dari pemutaran Europe On Screen. Di Jakarta,  festival film ini diputar dari tanggal 5 - 12 November 2010. Hampir semua festival film membuka opening dan closing film hanya untuk undangan (invitation only), begitu juga dengan Europe On Screen. Sampai akhirnya 7 jam sebelum malam pembukaan, panitia mengundang publik turut hadir untuk menonton bersama film pembuka. Dan disanalah saya, bermodalkan nekat dan kecintaan pada film yang demikian besar, ikut hadir untuk menonton film pembuka Europe On Screen.

Keputusan mendadak panitia mengundang publik menonton film pembuka membuat saya tidak sempat mempersiapkan apapun untuk menghadiri acara ini: batik lecek karena sudah dipakai seharian, dandanan berantakan karena sepulang kerja saya langsung pergi ke Erasmus Huis, dan sepatu datar yang warnanya mulai kusam. Ugh kalau bukan demi melihat film pembuka dan merasakan suasana malam pembukaan, mana mau saya hadir dengan penampilan seperti itu. Satu hal yang paling disesalkan adalah saya tidak membawa digital camera, jadilah saya hanya mengandalkan kamera HP dengan kapasitas 2MP-nya. Inilah maksud dari kalimat 'Hanya bermodalkan nekat dan cinta kepada film yang besar'.

Penampilan paling maksimal -____-'

Mendatangi Erasmus Huis yang menjadi tempat berlangsungnya acara seperti terlempar ke sebuah tempat yang tidak saya kenali. Penuh dengan manusia berperawakan tinggi-pucat-blond-mata-biru dan bahasa yang asing di telinga. Makanan ringan dan berbotol-botol minuman 'berwarna' dibagikan dengan royalnya.


Lucu juga melihat benturan budaya yang terjadi di malam pembukaan Europe On Screen: warga Eropa yang mengobrol santai dan masing-masing memegang gelas cantik berisi minuman berwarna kuning-keemasan atau ungu tua, warga Indonesia yang sudah menerima globalisasi juga mengobrol dengan rekan-rekannya ditemani minuman dengan gelas cantik plus rokok, nyaris kalap karena berprinsip 'Kapan lagi bisa minum banyak secara gratis', warga Indonesia labil yang malu-malu dan canggung mengambil gelas cantik berisi minuman tersebut dan menyesapnya sedikit-sedikit, dan warga Indonesia yang setia dengan gelas lurus berisi soda, sambil sesekali melihat isi gelas cantik dengan rasa penasaran 'Coba ngga ya... Coba ngga ya...'.


Saat registrasi peserta, panitia menunjukkan saya tempat pemutaran film: sebuah tenda di lapangan terbuka dengan proyektor dan layar putih, 'Berasa nonton layar tancep', bisik teman saya. Untuk yang memiliki undangan resmi silahkan langsung naik ke lantai 2. Saya sendiri tidak mempersalahkan lokasi pemutaran film, bisa menonton salah satu film dari Belgia saja saya sudah puas. Bonusnya, bisa berkenalan dan mengobrol dengan Esca, produser siaran pagi Trax FM (CMIIW, saya lupa-lupa-inget nama dia). Yay, selalu menyenangkan bisa mengobrol dengan orang-orang yang bekerja di dunia media, broadcasting terutama. Malam itu Esca bertugas menyampaikan live report pembukaan Europe On Screen dan berkesempatan mewawancarai Veronika Kusumayarti (film programmer Europe On Screen). 



Selesai wawancara, 

'Kalian ngga ke lantai 2?'.

'Huff...ngga punya undangan'.

'Emang darimana sih?'.

'Heee... ngga dari mana-mana. Dateng karena emang cinta film dan pengen 'melihat' Eropa aja'.

'Ohh.. kalo gitu pake undangan gue aja. Gue udah musti cabut ke FX, ada acara lagi disana'.



See.... selalu menyenangkan berkenalan dan mengobrol dengan orang baru. Walau akhirnya tiket tersebut tidak dipergunakan dan saya tetap setia menonton di tenda. Tidak kalah menyenangkan kok dengan menonton dalam ruangan.


Film pembuka yang diputar adalah Dagen Zonder Lief (With Friends Like These). Lewat film ini diperlihatkan bagaimana cara orang Belgia berinteraksi, bersama teman menemukan tempat mereka dalam hubungannya dengan orang lain, juga dengan diri sendiri. Tidak hanya bisa mengenal budaya Belgia, film ini juga mengajak penontonnya untuk melihat kota Belgia dan keindahan alam Perancis.

Selesai film, dibagikan goodie bag yang cukup berat oleh panitia. Isinya cukup membuat saya menjerit tertahan saat membukanya dalam perjalanan pulang: brosur promosi, program book for Europe On Screen, pin dengan bendera Indonesia dan Uni Eropa, majalah MAXX-M, Total Film, dan Cinemags. 




Bisa merasakan ambiance malam pembukaan Europe On Screen, meresapi bagaimana dua budaya yang berbeda disatukan dalam sebuah tempat, berkenalan dengan orang baru, 'melihat' Belgia lewat sebuah film, dapet bonus goodie bag. Ini semua melebihi harapan dan bayangan yang ada di kepala saat saya memutuskan untuk menonton film pembuka Europe On Screen.

Europe On Screen diputar di:
Yogyakarta: 29 - 30 Oktober
Bandung: 1 - 2 November
Jakarta: 5 - 12 November
Surabaya: 13 - 14 November
Denpasar: 20 - 21 November
Semarang: 24 - 25 November
Banda Aceh: 26 - 30 November

Info jadwal, lokasi acara dan review film bisa dilihat di www.europeonscreen.org

Notes: Nobar yu, email saya ya :)

Special thanks: Rimadhani Syafei yang menemani saya menghadiri acara ini, plus jadi juru foto dadakan juga.

Rabu, 03 November 2010

Menggila di Car Free Day

Rasanya car free day Jakarta telah diadakan rutin dua kali setiap bulannya, sayang saya belum pernah merasakan ambiance nya secara langsung. Berhubung flashmob kemarin diadakan tepat di hari car free day, akhirnya saya bisa 'mencicipi' Jakarta dengan rasa yang lain. Sudirman - Thamrin yang selalu macet dan penuh dengan kendaraan ternyata bisa kosong melompong. Jakarta jadi lebih sejuk rasanya.




Satu-satunya moda transportasi yang bisa melewati kawasan Sudirman - Thamrin di car free day adalah bus TransJakarta. Berhubung tanggal 10.10.10 kemarin bertepatan dengan World Walk Day, otomatis bus TransJakarta pun tidak bisa melewati daerah ini. Bukan hanya karena banyaknya masyarakat yang berpartisipasi dalam acara tersebut, tetapi karena RI2 juga ikut meresmikan World Walk Day (coba RI2 ikutan flashmob juga ya). Jalur busway yang kosong melompong ini ternyata bisa menjadi spot foto yang sangaaaattt menyenangkan :D




Beberapa hari sebelumnya saya menghubungi Exort untuk menginformasikan event flashmob. Exort sih udah pasti nyerah untuk bergabung dalam flashmob, 'Gerakannya banyak bangeet, ngga sanggup gue'. Tapi dia menolak untuk melewatkan event ini begitu saja. Akhirnya Exort memilih untuk berperan sebagai reporter dadakan untuk mendokumentasikan flashmob terbesar di Indonesia ini. Di akhir flashmob, Exort menghampiri saya dan Nenes dengan wajah bersalah, 'Duh, sori ya gue ngga sempet ngambil video kalian berdua. Rame banget tadi, gue sampe kedorong-dorong', Exort tambah ngerasa ngga enak ngeliat saya dan Nenes yang (sedikit) kecewa, 'Sini deh gue foto-fotoin kalian berdua'. Deeuu.... nggak segitunya kali :p

Eerr... Akhirnya Exort memang menjadi fotografer dadakan yang sabaaaarrr banget menghadapi berbagai permintaan foto dengan pose aneh dari 'kliennya'. FYI, semua foto yang dipajang disini adalah jepretan Exort dan Nenes. Saya sih hanya menjadi model yang baik saja ;) 
Judul Foto: Korban Kopdar  


Judul Foto: Cie..cieee Exort....


Dari seluruh tempat di Jakarta, saya paling suka Bunderan HI. Terletak di jantung kota Jakarta, dikelilingi gedung pencakar langit, air mancur besar yang menyala sempurna, patung selamat datang yang seolah-olah menyambut seluruh warga Jakarta; Ya, saya cinta tempat ini. Dan akhirnya, di car free day kemarin saya bisa 'mendekat' ke bunderan HI. Soooo happy :D






Ayo... Berikan dukunganmu untuk Hari Bebas Kendaraan Bermotor.




Iiiihhh... Ada yang lagi syuting.

 kyakyakyaa... ada Raditya Dika :p


Cuaca cerah, car free day, bunderan HI, teman-teman yang baik dan menyenangkan, flashmob, ketemu Raditya Dika, membuat saya bersorak dalam hati, Yay I love Jakarta. 

Special thanks untuk Nenes dan Exort. Ayo kita hunting foto lagi. LOL.