Minggu, 10 Februari 2013

Persamaan Memotret dan Memasak

Mungkin hanya saya seorang yang mengkategorikan memotret mirip dengan memasak. 

Memotret menggunakan kamera profesional membutuhkan settingan tersendiri untuk dapat menghasilkan sebuah foto yang stunning, sama seperti memasak yang juga memiliki resep untuk menciptakan masakan yang menggugah rasa. Persamaan lain dari kedua hal tersebut? Saya selalu gagal dalam keduanya *sigh*.

Memasak? Blah, mama saya sampai pernah berkata "Mama akan sujud syukur kalau kamu mau belajar masak dan nemenin mama belanja ke pasar." Memotret? Paling banter coba-coba menu A dimana saya bisa bebas mengatur bukaan aperture. Sisanya, menu S dan menu M nggak pernah saya sentuh. Tak jarang malah saya menggunakan menu iAuto dimana kamera dengan otomatis mengukur shutter dan aperture yang cocok untuk kondisi kamera dan bidang objek foto. Hadeehh, ngapain pake kamera profesional kalau masih ngandelin menu iAuto?

Beberapa waktu yang lalu mama sempat menegur saya, "coba kamera kamu itu dicek dulu, kelamaan disimpen dalam kotak." Benar juga pikir saya, sudah berapa lama semenjak saya bereksplorasi menggunakan kamera. Kasihan juga nasib Olympus EPL1 saya, lama-lama bisa jamuran walau disimpan di dalam dry box. Masalah utama saya dalam menggunakan kamera adalah saya tak kunjung menemukan settingan yang pas dalam memotret satu objek. Padahal jawaban dari masalah saya hanyalah satu, belajar dan terus mengeksplorasi kamera. 

Lalu timbullah niat iseng saya, memotret gedung kantor sepulang kerja. Kenapa tidak mencoba bermain-main dengan hobi baru? Jadilah saya bertanya settingan yang pas untuk memotret gedung dalam kondisi malam hari pada Denny Irawan, teman baik yang juga sekarang sudah menjadi suami partner in crime saya *jadi semacam curcol*. 

"Speed 30 sec, F/22, ISO 200, atau speed 30 sec, F/13, ISO 100. Pake tripod, pas mencet shutter pake timer jadi kamera ga keguncang waktu mulai ngambil gambar." Gila, bahasanya alien banget nggak tuh? Tidak lupa dia memberikan link foto yang dapat saya jadikan referensi. Dari link ini saya mendapat lebih banyak settingan yang dapat saya aplikasikan. Seru juga ternyata, dari sekian banyak kumpulan foto yang di-upload saya dapat melihat angle pemotretan yang baik plus mencatat settingan untuk dipraktekkan sendiri saat memotret. Entah mengapa semangat saya untuk memotret menjadi meningkat berkali-kali lipat. Saya ingin mengabadikan momen dengan hasil jepretan yang lebih baik lagi. Saya ingin dapat bercerita melalui foto. 

Seperti memasak, resep yang sama belum tentu menghasilkan hasil masakan yang sama saat orang yang berbeda mengaplikasikan resep tersebut dalam masakan. Memotret pun seperti itu, settingan yang sama belum tentu menghasilkan sebuah foto stunning seperti yang dicontohkan. Paling tidak itu yang terjadi pada saya. Setelah nyaris dua jam gempor mencari angle yang tepat dengan bantuan tripod, menyetel kamera dengan ukuran yang persis sama, ternyata hasilnya mengecewakan. Jauuuuhhh dengan yang dicontohkan. 

But I learned something. Bahwa mengeksplorasi kamera dengan menu M ternyata menyenangkan. Bahwa ternyata kamera profesional memungkinkan kita untuk berkreasi lebih banyak dalam menghasilkan foto-foto dengan ide fresh dan out of the box. Bahwa ternyata saya harus mulai belajar lebih banyak tentang settingan yang tepat untuk berbagai kondisi objek dan mulai melepaskan diri dari jerat menu iAuto. Dan bahwa memotret adalah pekerjaan yang cukup melelahkan, hal ini terbukti dari pinggang dan kaki yang yang berasa mau patah setelah pulang memotret. Note this: memotret serius sepulang kerja bukanlah ide yang bagus. 

Memotret sama dengan memasak. Diperlukan passion untuk mau belajar dan terus belajar untuk menghasilkan foto yang cukup baik. Diperlukan kerja keras untuk mengolah objek menjadi gambar yang dapat bercerita. Dan sama seperti berbagai passion lainnya, hati harus ikut tergerak untuk terus menyelaminya. 

Hasil fotonya saya share disini, sok mangga kalau mau dikritik dan diketawain *pasrah*.

Percobaan perdana menggunakan menu M. Trail light-nya dapet, tapi tulisan CIMB Niaga nya malah overexposure

Masih pake menu M dengan settingan sama seperti menu di atas, dan tulisan CIMB Niaga tetep aja overexposure. Itu kenapaaa???

Jeratan menu iAuto. Simple, nggak ribet, hasilnya bagus. Tapi sampe kapan pake menu iAuto terus???

Percobaan foto trail light. Mustinya dari tempat yang lebih tinggi, tapi nggak mungkin dong pake rok cantik manjat-manjat gedung.

Masih percobaan trail light. Ganggu banget liat tulisan CIMB Niaga di belakang tetep overexposure.

Location: CIMB Niaga Padjajaran Bogor. 

Sabtu, 02 Februari 2013

Rumah Baru (lagi)

Hello blogosphere...

It's been a while since I wrote here. Nulis cerita yang tidak berkaitan dengan kata Toraja, Makassar, Teddy, dan 4 Hari Untuk Selamanya ;) I know I know, kalian juga mulai bosen bacanya kan. Jadi saya putuskan untuk stop dulu cerita 4 Hari Untuk Selamanya sampai ada update terbaru. 

So, nyadar sama perubahan yang terjadi dengan blog ini nggak? Template baru, header baru, avatar baru, secara keseluruhan blog saya menempati rumah barunya lagi untuk kali yang kesekian (saya lupa udah berapa kali blog ini gonta-ganti template). 'Rumah baru' ini khusus saya pesan ke Artika Maya, template dasarnya dibuat mirip dengan template lama saya yang masa pakainya sudah habis. So far saya puas dengan hasilnya, kesannya segar, ceria, dan fun. Semoga kalian juga betah ya main-main ke rumah barunya merry go round ini. 

Oh ya, ngomongin rumah baru, saya juga 'pindah rumah' dalam kehidupan nyata. Well, nggak pindah rumah beneran sih, makanya kata pindah rumah itu dipakaikan tanda kutip. Jadi, saya udah nggak betah dan capek banget ngadepin macetnya Jakarta (ada yang ngerasa macetnya Jakarta itu nambah parah nggak sih?), jadi saya putuskan untuk pindah ke Bogor, ke rumah almarhumah nenek saya. 

Kenapa Bogor? Bukankah jarak Bogor - Jakarta lebih jauh daripada Cibinong (tempat berdomisili saya sekarang) - Jakarta? Karena dari Bogor saya dapat menggunakan kereta commuter line, dengan demikian saya benar-benar terhindar dari kemacetan Jakarta. Jarak tempuh kereta Jakarta - Bogor memakan waktu 1.5 jam, lebih cepat dibanding jarak Jakarta - Cibinong yang dapat menghabiskan waktu hingga 3 jam (dan molor hingga 4 jam jika macetnya masuk dalam kategori parah). 

Let me tell you a secret, dari sekian banyak mode transportasi, saya paling horor menggunakan kereta. Di kepala saya kereta itu penuh dengan pencopet, pelecehan seksual, dan rawan dengan semua bentuk tindak kejahatan. Jadi keputusan pindah ke Bogor ini seperti me-refresh kehidupan per-komuter-an saya. Saya yang dulunya setiap pagi buta dan larut malam harus lari-lari mengejar bus, tarik urat leher saat menghadapi macet dan penumpang lain yang menyebalkan, sekarang harus menjejalkan diri berdesak-desakan dengan ratusan komuter lain dalam gerbong kereta. Ternyata rasanya seru! 

Untuk seorang komuter yang sering dikecewakan dengan jadwal bus yang hanya-Tuhan-yang-tahu-kapan-bus-tersebut-sampai-halte maka saya cukup puas dengan jadwal kereta yang cukup tepat waktu (walau tidak jarang terlambat juga). Saya dapat memperkirakan dengan tepat estimasi waktu yang diperlukan untuk pulang dan pergi kantor, pun dapat berangkat kerja lebih siang dan tidak kemalaman sampai ke rumah. Dan yang paling utama dan paling penting, otak saya tidak ikut ruwet dan stress menghadapi macetnya Jakarta. 

Berbicara tentang rumah nenek, tempat ini menyimpan banyak kenangan masa kecil dan masa perkuliahan saya. Dulu saya menghabiskan sebagian besar masa kecil di rumah nenek, bersama nenek yang selalu menjaga saya. Seiring waktu, kulit nenek semakin berkeriput, jarak pandangnya tidak jauh lagi, dan dia tidak sanggup berjalan jauh walau untuk sekedar membuang sampah ke depan gang rumah. Nenek selalu menyambut ramah semua cucu yang datang mengunjunginya, walau dia harus melihat lekat-lekat dengan jarak kurang dari 20 cm untuk dapat mengenali wajah cucunya. Jika waktu kuliah sedang senggang saya selalu menyempatkan mampir ke rumah nenek, membawakannya es krim untuk dinikmati bersama, mengobrol tentang hal apapun, dan membaui wangi khasnya yang selalu membuat saya merasa nyaman.  

Rumah nenek tidak banyak berubah, lingkungan sekitarnya juga tidak banyak berubah walau rumpun bunga pukul empat tempat saya dan adik bermain petak umpet sudah tidak ada lagi. Setiap berjalan melewati gang menuju rumah nenek saya selalu teringat dengan satu janji yang tidak sempat terpenuhi, janji untuk membelikan nenek kursi roda dengan gaji sendiri. Saya ingin mengajak nenek berjalan-jalan melihat kota Bogor yang sudah banyak berubah, mengajaknya keluar dari pojokan rumah mungil dan nyaman itu. Janji itu tidak sempat terwujudkan karena nenek meninggal hanya beberapa hari sebelum saya memulai hari pertama bekerja. 

Bogor memang menyimpan banyak kenangan untuk saya. Sekarang kota itu yang menjadi pilihan saya sebagai tempat tinggal. Sebuah kota kecil dengan curah hujan tinggi yang selalu membuat saya merasa nyaman. Semoga rumah baru blog ini juga bisa membuat kalian nyaman untuk bertandang :)