Kamis, 30 September 2010

Karena Saya Cinta Film (I)

Kalau diingat-ingat, banyak juga kejadian tidak penting (tapi mengesankan) yang terjadi karena kecintaan saya pada film. Siapa sangka, film telah mengantarkan saya untuk bertemu dengan orang-orang baru, mencoba pengalaman baru, dan memacu saya untuk terus mengeksplorasi film itu sendiri. Pada akhirnya, saya jatuh cinta dan terus jatuh cinta pada film.

Keinginan menghadiri festival film sudah ada sejak lama, tapi selalu terhambat karena alasan konyol: acaranya di Jakarta. Saya takut nyasar di Jakarta. Dua tahun lalu Bogor kebagian jatah roadshow pemutaran film Pertaruhan dan inilah event pertama yang saya datangi. Acara berlangsung pagi hari di salah satu mall kota Bogor dan peserta diharuskan datang sebelum jam 8 pagi. Belum pernah saya datang ke mall sepagi itu bahkan saya harus minta tolong security agar bisa masuk ke dalamnya. Berasa jadi karyawan mall.

Setelah bekerja di Jakarta saya memberanikan diri menghadiri salah satu festival film terbesar di Indonesia, paling tidak saya tidak akan nyasar lagi di Ibukota negara ini. Jiffest tidak hanya membuka mata saya akan berbagai genre film di dunia ini, dia juga membuat saya mengenal Blitz. Sedikit memalukan untuk membeberkan fakta ini: saya belum pernah menonton di Blitz sebelumnya (ya, tertawalah sepuasnya). Karena tidak tahu-menahu sistem pembelian tiket di Blitz, alhasil banyak film favorit yang tidak bisa saya tonton. Tapi ini menjadi pengalaman berharga, saya bisa mengantisipasi masalah tiket jika ada festival film lain yang diselenggarakan Blitz.

Akhir-akhir ini saya lumayan hoki mendapatkan beberapa tiket nonton bareng. Acara nobar lazimnya diadakan pagi hari, sebelum bioskop membuka studionya untuk umum. Dari sekian banyak mall yang saya datangi di pagi hari, hanya Grand Indonesia (GI) yang setia memberi cobaan untuk saya. Entah karena saya memang disoriented dalam mencari arah atau yang merancang mall ini terlalu jenius, yang pasti saya selalu nyasar ketika berada di dalamnya. FYI, mall di pagi hari sama menyeramkannya dengan kondisi mall lewat tengah malam: gelap, banyak toko yang tutup, eskalator dan lift mati.

Cobaan GI di pagi hari
Blitz GI terletak di lantai 8. Saya masuk lewat menara BCA, niatnya naik sampai lantai 3 dengan lift, kemudian melewati sky bridge, naik lagi pakai lift langsung sampai ke Blitz. Tapi, saya ko malah nyasar ke food court? Terus, nyasar lagi ke Dancing Fountain. Saya ada dimana? Sendirian, nyasar, ngga ada orang lain, toko masih tutup, gelap, saya mulai deg-degan panik. Akhirnya saya memang sampai ke Blitz sih, tapi itu setelah berputar-putar dan menaiki lima lantai dengan eskalator. Menaiki dalam arti kata yang sebenarnya, alias saya harus mengeluarkan tenaga ekstra mendaki lima lantai dengan eskalator yang mati. Ini sih namanya joging dalam mall.

Sialnya, AC di dalam Blitz masih mati. Saya keringetan sedangkan beberapa orang yang sudah datang untuk acara nobar terlihat adem ayem, alias tidak mengalami joging dalam mall seperti saya. Guess what? Ternyata mereka naik lift dari pintu masuk deket Starbucks yang menyala sempurna. Crap.

Kejadian di GI saat siang hari
Karena film masih dua jam lagi diputar jadi saya berputar-putar dulu di dalam mall ini. Satu jam sebelum acara dimulai, saya kembali ke arah Blitz, tapi jalan saya tidak semulus perkiraan. Saya nyasar (lagi). Berputar-putar (lagi) dan menjadi semakin nyasar. Tinggal setengah jam sebelum film diputar, saya harus cepat sampai karena Jiffest menerapkan free seating, jangan harap dapat tempat strategis untuk menonton kalau datang terlambat. Menyerah, saya bertanya ke security.

'Blitz kan di West Mall mba.'

'Heh? Emang sekarang saya ada dimana?'

'Di East Mall mba.'

What?! How do I get there in 30 minutes? Penjelasan arah dari security cuma sebagian yang saya tangkap. Yang jelas, saya jauuuhhh banget dari Blitz. Andaikan mall ini menyediakan fasilitas ojek, saya pasti bisa cepat sampai ke Blitz.

GI lumayan bersahabat di malam hari
Pulang dari Jiffest hampir tengah malam. Mall sudah sepi, toko banyak yang tutup, eskalator mati tapi sebagian besar lift masih menyala, yang pasti tidak segelap dan sepengap mall di pagi hari. Karena tidak dikejar waktu, jadi bisa menggunakan kesempatan emas ini untuk...... foto-foto :)



Cobaannya sih waktu cari taksi untuk pulang. Berebutan!

Sebagian besar acara nobar saya disponsori U Fm, jadi tidak heran kalau kru U Fm juga sering bertebaran saat acara berlangsung. Lucky me, di salah satu acara nobar tidak terlalu banyak kru yang hadir, saya bisa mengobrol banyak dengan Imam Wibowo. Saya sendiri sudah mendengarkan siaran Imam sejak dia masih di Prambors hingga sekarang Imam pindah ke U Fm. Cukup mengejutkan, karena Imam masih ingat dengan salah satu tulisan saya. Saya mengobrol banyak dengan Imam, terutama tentang topik radio play yang saat itu akan saya tulis juga di blog. Menyenangkan bisa berdiskusi tentang radio lewat obrolan santai dengan salah satu penyiar sekaliber Imam Wibowo :)

Karena U Fm tergabung dalam Femina group, beberapa acara nobar yang diadakan digabung dengan pembaca femina group dengan persentase 70-30 (70% pembaca femina group dan 30% pendengar U Fm). Saat saya menonton It's Complicated digabung dengan pembaca majalah Pesona, terakhir saat menonton Love Happens digabung dengan pembaca CitaCinta. Konyolnya, majalah ini menerapkan dress code untuk acara nobar mereka sedangkan U Fm tidak ambil pusing dengan masalah dress code. Alhasil, saya sering tampil 'salah warna' saat datang ke acara nobar. Mayoritas peserta memakai baju shocking pink yang mencolok mata, saya malah memakai baju serba gelap.

Apa lagi yang menyenangkan dari nobar selain tiket gratis dan bisa mengobrol dengan kru U Fm? Jawabannya kuis. Nobar seringkali menggelar kuis sebelum acara dimulai, pertanyaan bisa seputar film atau sponsor dari acara tersebut. Bagian ini yang sering membuat saya gemas karena saya belum pernah berhasil ditunjuk untuk menjawab. Nggak penting sih sebenarnya, tapi kalau sering ikut nobar rasanya gateeell banget kalau belum bisa menang bagian ini. Penantian panjang saya berakhir pas nobar kemarin, saya berhasil ditunjuk, jawabannya bener, dapet hadiah, dan nampang di majalah. Hahahaha....



Kalau blogger lain nampang di majalah karena blognya dimuat atau karena penulisnya berhasil menginspirasi banyak orang, saya malah nampang di kolom nobar. Tak apa. Saya ridho lillahitaala. *Maaf membuat kecewa beberapa orang yang penasaran dengan berita 'Foto gue nampang di CC'*.

Photo session (jelas terlihat kalau saya 'salah warna').

Nenes-lagi-Nenes-lagi. Emang dia paling setia deh kalo diajak nonton yang gratisan :p

Sebenernya ada 4 tiket, sayang tidak mendapatkan satu 'korban' lain untuk ikutan acarnya.

Dan ini adalah akibat terakhir dari kecintaan saya pada film.


Tunggu sambungan ceritanya ya :)

Special thanks:
- Kania Safitri yang selalu rajin menemani saya mendatangi acara nobar plus jadi fotografer dadakan :)
- Widya yang rela berkeliling Toga Mas Jogja demi mendapatkan buku yang sudah lama ingin saya miliki. I owe you one dear little sister.

Sabtu, 25 September 2010

Foto Berbicara: Office


Menjadi blogger secara tidak langsung dapat menyalurkan mimpi saya menjadi reporter. Tidak jarang dalam berbagai event di kantor saya berperan sebagai seksi dokumentasi. Lucunya saya lebih suka mengambil foto dari event non-formal, alias mengamati kejadian yang menurut beberapa orang tidak terlalu penting sehingga hasil jepretan saya hanya masuk dalam file pribadi, bukan untuk disebarkan lewat media internal kantor. Tidak masalah, justru saya bisa bercerita banyak dari 'foto tidak penting' tersebut, karena setiap tempat (termasuk kantor) memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda bukan.

Selamat Ulang Tahun
Tradisi minta ditraktir oleh teman yang sedang berulang tahun sih bukan hal yang aneh. Akan menjadi hal yang berbeda kalau ini terjadi di kantor saya, hukum mentraktir rekan satu ruangan (kira-kira 30 orang) adalah wajib dan harus dilakukan. Untuk membuat yang berulang tahun mau mengeluarkan budjet lebih untuk membeli makan siang ekstra dilakukanlah trik tertentu, mulai dari yang paling biasa (sekedar mengingatkan atau menyindir secara halus) sampai yang paling ektrim:



Selebaran berisikan info (terkadang plus foto) yang berulang tahun akan bertebaran di seluruh sudut ruangan: meja setiap orang, mading, tempat absen, mesin fotokopi, di dekat jam dinding, pintu masuk, tidak ada yang luput dari serangan selebaran ini. Kalau super apes selebaran bisa mampir ke ruangan divisi lain, yang artinya kuota orang yang harus ditraktir bertambah banyak. Mau melepaskan sendiri semua selebaran adalah usaha yang sia-sia, karena tetap akan bermunculan sampai traktiran diberikan. Kalau traktiran sudah tersedia, otomatis selebaran akan dibersihkan dengan sukarela.

Sampai hari ini, yang selalu mendapat teror seperti ini adalah kaum adam. Alasannya sudah pasti karena mereka paling sulit diminta jatah traktiran. Kalau kaum hawa sih biasanya sudah mengantisipasi kejadian ini dengan membawa makanan atau membelikan jatah makan siang.

Dilarang Makan Disini
Saya: 'Pus, sejak kapan ada larangan itu disini?'.

Pusti: 'Larangan apa?'.

Saya: 'Itu....'.


Pusti: 'Haaahh.... sejak kapan? Gue baru liat deh'.

Saya: 'Makanya gue nanya karena gue juga ngga tau dodol'.

Pusti: 'Eh, tapi kan kita emang ngga boleh makan di meja kerja. Kayak sarapan ato makan siang gitu kan di pantry'.

Saya: 'Terus, cemilan apa nasibnya dong?'.

Pusti: 'Iya ya.....'.

suram

Pusti: 'Tapi ko peringatannya mojok gitu sih? Kenapa ngga dipasang di pintu masuk aja'.

Saya: 'Yeey... kalo dipasang di pintu masuk sih sekalian aja tulisannya diganti 'Dilarang memberi makan kepada staff dalam ruangan ini'. Lo kira kita kebon binatang apa'.

Sindrom Pasca Lebaran
Tidak perlu khawatir kalau lebaran kemarin tidak kebagian jatah cuti dan tidak bisa pulang kampung karena oleh-oleh dari rekan yang beruntung bisa mudik akan mengalir lancar. 

Awalnya seperti prasmanan, lebih esklusif. Makanan khas lebaran seperti tape uli dan kue-kue lebaran masih tersedia.



Lama-kelamaan lebih sering bertebaran berbagai keripik, kerupuk, dan makanan kering khas daerah masing-masing. Ada kerupuk kemplang dari Lampung, kerupuk ikan dari Palembang, kacang disko dan kacang koro dari Bali, keripik nangka dari Malang, dan berbagai makanan kering lain yang saya tidak tahu asalnya numplek di salah satu meja kerja yang kosong. Karena divisi saya  banyak berhubungan dengan berbagai divisi maka setiap hari ada saja cemilan baru yang diberikan divisi lain. Inilah penyebab utama mengapa berat badan dengan mudahnya naik setelah lebaran.



Akhirnya, dengan sekian banyak cemilan dan tidak sedikit yang belum habis, tumpukan makanan ini terlihat mengganggu dan mengundang berbagai binatang pengganggu. Hingga akhirnya atasan menegur dan menyuruh kami membereskan semuanya. Kalau sudah begini baru deh mikir, mungkin peringatan yang saya bahas sebelumnya memang sebaiknya diterapkan ya.

Kamis, 16 September 2010

What Is Normal?


Jangan harap Anda akan melihat peran cemerlang Sandra Bullock sebagai Tuohy dalam The Blind Side yang berhasil mengantarkan dia meraih Oscar pertamanya, jangan juga berpikir Anda dapat tertawa puas melihat akting Sandra seperti dalam film The Proposal, karena Anda hanya akan mengerutkan kening saat menonton perannya di film All About Steve.

Sandra Bullock memang artis spesialis film komedi romantis. Dia seringkali tampil sebagai perempuan single yang harus terlibat permasalahan dengan seorang lelaki dan kelak lelaki ini akan menjadi pasangannya. Tidak jauh berbeda dalam All About Steve dimana Sandra berperan sebagai Mary Horowitz, seorang perempuan single yang bekerja sebagai pembuat teka-teki silang untuk koran setempat.

Mary tidak memiliki banyak penghasilan dari pekerjaan ini sehingga dia tetap tinggal bersama orang tuanya. Karena Mary tidak memiliki teman bergaul, maka orang tua Mary berinisiatif untuk mengadakan kencan buta untuk anak perempuan mereka. Seperti bisa ditebak lewat judul film ini, yang beruntung menjadi pasangan Mary dalam kencan buta tersebut adalah Steve Mueller (Bradley Cooper). Mary yang jarang berkencan dengan lelaki setampan Steve tentu langsung jatuh cinta, sebaliknya Steve menganggap Mary sebagai perempuan yang aneh dan berusaha menghidar darinya. Konflik terjadi saat Mary memutuskan untuk mengejar-ngejar Steve kemana pun lelaki itu pergi.

Sandra Bullock selalu mampu menjiwai peran-perannya sehingga dia dapat menjelma menjadi Annie Porter yang berani namun panikan dalam film Speed (1994), menjadi seorang Lucy yang serba salah untuk menentukan orang yang benar-benar dia cintai dalam While You Were Sleeping (1995), dan siapa yang bisa melupakan peran Sandra sebagai Gracie Hart di Miss Congeniality (2000) yang berhasil melejitkan namanya. Maka siap-siaplah Anda kecewa dan hilang rasa terhadap Sandra saat melihat perannya dalam All About Steve. Untuk mewujudkan tokoh Mary Horowitz, Sandra tampil dengan rambut pirang (yang sangat tidak cocok dengan dirinya), terlalu kurus, terlalu banyak bicara, dan terlalu polos mengartikan sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sepertinya Sandra terlalu sukses memerankan tokoh Mary sehingga secara tidak langsung citra Sandra yang sebenarnya tertutupi oleh tokoh Mary.

Bagi saya, kegagalan utama All About Steve terletak pada cerita dan plot yang tidak cukup kuat sehingga seluruh jalinan cerita terasa terlalu dipaksakan. Tokoh Mary Horowitz yang seharusnya tampil sebagai perempuan posesif malah terlihat sebagai perempuan yang aneh. Hal ini juga yang membuat Sandra Bullock dianugrahi Razzie Award untuk kategori aktris terburuk. Sandra sendiri santai saja menanggapi hal tersebut, baginya membuat film bukan hanya untuk mendapatkan uang. Saya jadi berpikir ulang, apa yang menyebabkan Sandra nekat mengambil peran yang ujungnya malah menjatuhkan namanya sendiri. Aktris lain belum tentu mau mempertaruhkan namanya untuk film yang sudah pasti tidak laku di pasaran.

What is normal? Mungkin inilah premis dari film All About Steve. Ketika Mary terus-terusan mengejar Steve yang sedang meliput sebuah tambang yang longsor, tanpa disengaja dia jatuh ke dalam lubang tambang yang longsor. Media kemudian menelusuri asal-usul Mary dan menyimpulkan bahwa Mary depresi dan hendak bunuh diri. Mengapa? Karena pekerjaan Mary tidak dapat menunjang kebutuhan hidupnya dan fakta bahwa sampai saat ini Mary masih tinggal bersama orang tuanya. Bukan sebuah kondisi yang 'normal' bagi masyarakat barat. Kesimpulan ini dibantah orang tua Mary dan Steve sendiri. Mary hanya melakukan hal yang dia cintai; bekerja sebagai pembuat teka-teki silang merupakan kesukaan Mary. Sebenarnya Mary adalah wanita baik, hanya saja dia terlalu pintar sehingga membuatnya terlihat berbeda dengan wanita kebanyakan.

What is normal? Setiap orang dilahirkan unik dan berbeda-beda, setiap manusia memiliki pilihan hidup dan cara berpikir yang berbeda, tetapi masyarakat menetapkan norma dan aturan tidak baku yang harus dituruti agar mereka terlihat sama. Derajat kenormalan seseorang ditentukan oleh masyarakat, lingkungan sekitar, dan aturan tidak tertulis. Sedikit saja seseorang melanggar aturan normal ini, maka dia akan di cap aneh dan berbeda. Tidak banyak orang yang memilih untuk melawan arus kenormalan, mereka lebih memilih untuk berjalan sesuai dengan arus yang ada.

What is normal? Salahkah jika saya tampil sebagai diri sendiri, tanpa topeng yang melekat di wajah, untuk menunjukkan ke semua orang inilah saya yang sebenarnya. Saya yang ceplas-ceplos dan mengungkapkan pikiran jujur apa adanya, bukannya diam dan bersikap nerimo. Saya yang lebih sering tertawa lepas, bukan hanya senyum malu-malu untuk menunjukkan kegembiraan yang sebenarnya. Saya yang sering sinis terhadap lingkungan karena merasa mereka terlalu kolot. Salahkah jika saya tidak tampil seperti perempuan 'manis' kebanyakan? 

Mungkin ini juga alasan Sandra Bullock memilih peran Mary. Tidak semua artis sekaliber Sandra berani mengambil peran aneh ini, tetapi Sandra berani untuk menunjukkan tidak apa menjadi berbeda dari orang lain lewat lakon Mary. Justru dengan menjadi diri sendiri, Mary bisa mengetahui dan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, bukan sekedar kebahagian yang semu dan palsu. Esensi dari kehidupan manusia adalah untuk hidup bahagia, apapun pilihan mereka. Dan tidak ada yang salah dari pilihan hidup seseorang, walaupun terkadang pilihan itu melenceng dari kaidah normal masyarakat. 

Jadi, beranikah kita untuk menjadi 'tidak normal'?

Minggu, 12 September 2010

Kami Doyan Ngomong Dan Ngisengin Mama

Lebaran itu terasa hangat karena seluruh anggota keluarga bisa berkumpul bersama. Saya dari Senin - Jumat bolak-balik Jakarta - Bogor dan weekend kebanyakan pergi keluar, Papa juga ngantor dari Senin - Jumat tapi selalu menghabiskan akhir pekan bareng mama, sedangkan adik semata wayang cuma pulang waktu hari raya dan libur semester karena dia kuliah di Semarang. Kasihan juga sama mama, 5 hari dalam seminggu cuma ditemenin kucing peliharaan, itu juga kalau kucingnya lagi absen pacaran sama kucing kampung.

Saat seluruh anggota keluarga lengkap berkumpul, rumah rasanya jadi ramai dan lebih semarak karena kami semua punya hobi yang sama: ngobrol, cerita, dan ngerjain mama. Padahal cuma empat orang yang berkumpul dalam satu atap, tapi ributnya ituuuu....

H-1
Yang paling ribet di dapur tentunya mama. Saya sebagai anak perempuan satu-satunya sih ngga bisa diharapkan untuk bantu-bantu, yang ada malah bikin rusuh.

'Ma, perasaan banyak banget beli buah,' kata saya sambil merhatiin mama yang lagi ngupas apel. 'Di rumah ini kan yang doyan buah cuma aku, mama mau bikin aku overdosis makan buah ya.'

'Mama kan mau bikin asinan buah buat dibawa pas kita kumpul keluarga besok.'

Berhubung kami berdomisili di Bogor, jadi mama berinisiatif membuat asinan khas kota Bogor. Asinan Bogor sendiri terbagi menjadi asinan buah dan asinan sayur. Saya sendiri tidak ingat persis apa saja isi dari asinan buah maupun asinan sayur tersebut. Yang pasti rasanya enak dan selalu ngantri kalau beli di akhir pekan karena harus berebut dengan turis lokal.

'Ko banyak banget buahnya?' tanya saya sambil mengingat-ingat buah apa saja yang dipakai untuk membuat asinan. Di dapur bertebaran nanas, pepaya, bengkoang, dan buah lain yang belum dijamah oleh mama.

'Iya, biar asinan buah mama bervariasi. Bosen ah, kalo asinan cuma pake timun impor.'

'Timun impor?' hebat banget mama, bikin asinan aja bela-belain pake timun impor.

'Iya, itu looohh... Timun luar negri.'

'Timun luar negri?' otak saya masih mandek, kok asinan pake timun luar negri? Asinan macam apakah ini? 'Bukan timun suri ma?' tanya saya penasaran.

'Bukaannn... Timun suri kan untuk es buah. Gimana sih kamu.'

'....................'

'....................'

Timun apa sih yang dimaksud mama.

'.....................'

'Maksud mama timun jepang ya?' tanya saya ragu.

'Iya, timun jepang'

Capeeee deeehhhh..... timun jepang aja dibilang timun impor.

Malam Takbiran
Berhubung hujan (dan males), saya dan mama melewatkan malam takbiran dengan menonton TV. Lalu muncullah sebuah iklan mie instan.

'Ma, mie instan ini mie paling enak sedunia loh ma. Enak banget, mienya lembut, pedesnya berasa lagi' saya berapi-api mempromosikan mie yang sedang diiklankan kepada mama.

'Masa sih teh? Emang ini mie apaan?'

'Mie keriting ma. Enak banget.'

'Oooohhh... Belinya dimana ya teh?' tanya mama polos.

'Yah mama, banyak kali di swalayan gitu. Mama keseringan gaul di pasar tradisional sih.'

'Masa sih teh? Gue kirain belinya di salon.' Tiba-tiba adik saya ikut nimbrung ngobrol.

'Iya teh, kirain mama juga belinya di salon. Abis namanya mie keriting.' Polos, mama mendukung anaknya yang paling bungsu.

'Iya ma, ada mie rebonding, mie smoothing, mie hair extension.' Adik saya malah tambah ngaco.

'Ada juga yang namanya mie botak ma.' Yang terakhir nyambung ini adalah papa saya.

Papa dan adik saya memang ngga mau kalah dalam urusan ngisengin mama.

Lebaran
Tradisi lebaran keluarga besar kami adalah berkumpul di rumah salah seorang kerabat. Lokasi halal bihalal tahun ini bertempat di Jakarta tercinta. Walau hari raya, tetap saja jalanan Jakarta padat merayap. Kalau sudah begini, kami lebih suka mengomentari lingkungan sekitar untuk menghilangkan penat.

'Eh, gedung Antam tuh,' kata saya sambil mencolek si adik. 'Pelototin sana, kali aja lo bisa masuk kesitu pas lulus nanti'.

Dengan nada tidak berminat, adik saya cuma menanggapi 'Hhhmmm.....'.

'Antam apa sih teh?' tanya mama memperhatikan gedung yang dimaksud.

'Ih mama, masa Antam aja ngga tau,' jawab saya acuh. 'Aneka......'

'Aneka Tambak ma,' dengan teganya si adik memotong kalimat saya dan ngibulin mamanya sendiri.

'Oooohh, Aneka Tambak ya,' mama mangut-manggut. 'Berarti yang punya Antam pengusaha ikan bandeng ya'.

'Hhhmmphh...' saya gigit-bibir-nahan-ketawa.

'Iya ma, pengusaha bandeng presto yang di Semarang itu kan impor bandengnya dari sini.' Sambung ade saya lempeng tanpa ekspresi.

'Wah hebat ya'.

Iya ma, hebat. Hebat banget mama punya anak tukang ngibul semua.

Lebaran Hari Kedua
Berkeliling Bogor untuk silaturahmi, dan mengomentari pemudik yang menggunakan motor.

'Anaknya temen papa kemaren meninggal karena kecelakaan motor ma,' kata papa, suram. 'Kenapa ya, kalau anak cakep dan baek itu umurnya ngga panjang.'

'Pa! Aku kan cakep dan baek,' saya horor.

'Papa! Anak-anak kita kan cakep dan baek semua,' mama cemas.

'Kalo gitu aku ngga mau jadi anak cakep dan baek deh pa,' ade saya ikutan ngomong.

Mobil tiba-tiba jadi sunyi.

'Kita ganti topik deh'.

Lanjutan Kisah Sang Asinan
Kelaparan! Obrak-abrik kulkas dan nemu si asinan.

Ko ada wortel ya di asinannya? 'Ma, emang asinan itu pake wortel ya?'.

'Iya teh, emang ada.' Mama tahu persis saya tidak suka wortel, jadi dia mencoba meyakinkan saya, 'Tapi itu sih wortel impor teh, tenang aja'.

'Hmmmhh......' nafsu makan saya hilang.

'Wortel impor teh'.

Mengingat kejadian timun jepang tadi, saya mencoba mencari makna dari wortel impor, dan tidak ketemu sampai sekarang. Ada yang bisa bantu?

Menurut kalian, percakapan di atas jika dibandingkan dengan percakapan ini, dan yang ini, siapa yang paling 'tega' dalam ngejailin dan ngisengin mama? 


Tapi yang pasti, kami sekeluarga sayang mama. 

Ratu di rumah ini. 



*Aku Tuan Putrinya ya ma*

Kamis, 09 September 2010

Buka Puasa ala Komuter

Ampun deh, besok udah lebaran tapi baru bikin postingan ini sekarang. Apa daya, tenaga dan waktu saya benar-benar terkuras di bulan maha suci ini. Jangankan untuk menunaikan tarawih, di waktu sahur saja saya masih sering tertidur di meja makan. Baru kali ini saya merasa kesulitan mengatur waktu kerja dan waktu pribadi. Jangankan untuk menulis satu postingan baru atau blogwalking, membuka layar laptop saja rasanya tidak sanggup. Saya mohon maaf, beberapa waktu ini belum sempat berkunjung balik ke tempat teman blogger lain.

Kembali ke judul dari tulisan ini, hampir semua kantor rasanya memajukan jam pulang agar para karyawan dapat berbuka puasa dengan keluarga. Kantor saya mempercepat jam pulang setengah jam lebih awal, jadi pukul 16.30 karyawan sudah bisa pulang. Sayangnya, bagi komuter seperti saya pencepatan jam pulang ini tidak memiliki dampak yang cukup berarti. Tetap saja saya tidak bisa berbuka puasa di rumah karena terhambat masalah klasik khas Ibukota Jakarta. Pilihannya ada dua, berbuka puasa di kantor atau di jalan.

Buka Puasa di Kantor
Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal: pekerjaan belum selesai, jalan terlalu macet atau hujan deras. Di kantor lama, biasanya menjelang magrib saya bersama beberapa teman keluar kantor untuk mencari tajil. Mendekati waktu berbuka, kami semua berkumpul di banking hall. Semua personil komplit, mulai dari teller, costumer service, back office, sampai para suvervisor kemudian berbuka puasa bersama, makan bersama, dan salat berjamaah. Rekan kerja non muslim juga ikut larut dalam suasana berbuka puasa, mereka ikut menyantap tajil dan mengobrol bersama kami. Walau tidak bisa berbuka puasa di rumah, tapi rasanya hati ini jadi tentram karena memiliki keluarga kedua di kantor dengan ikatan yang demikian solid.

 Pemandangan jam dinding dari meja saya. 20 menit lagi menuju waktu berbuka.

Sebetulnya saya lumayan dimanjakan jika berbuka puasa di kantor yang sekarang. Office boy sudah menyediakan teh manis hangat dan tajil seadanya untuk membatalkan puasa. Hanya saja, suasana buka puasa terasa hambar dan pedih untuk saya. Kebanyakan teman sudah pulang ke rumah masing-masing, yang tersisa hanya segelintir orang, itupun mayoritas non muslim dan mereka tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saya berbuka puasa sendiri, di meja kerja, dengan meja yang masih penuh dengan tumpukan transaksi. Kalau sudah begini rasa kangen rumah bisa timbul berlipat ganda, pasti menyenangkan jika bisa berbuka dengan keluarga, berdoa bersama kemudian menyantap tajil buatan mama diselingi obrolan hangat.

 Kurang lebih, seperti inilah suasana berbuka puasa di kantor.

Fakta: Setiap orang di kantor membutuhkan minimal dua gelas teh untuk berbuka puasa.

Buka Puasa di Jalan
Ini adalah pilihan yang tidak bisa dihindari dan baru saya alami di ramadhan tahun ini . Biasanya saya lebih memilih berbuka puasa di kantor daripada di jalan, tapi suasana kantor yang dingin membuat saya ingin cepat-cepat sampai di rumah. 

Untuk berbuka puasa di jalan, diperlukan amunisi lengkap untuk berbuka puasa. Biasanya saya bekal teh manis hangat dalam tempat minum. Untuk tajil, beda lagi ceritanya. Karena berbuka puasa di atas bus, maka keinginan untuk menyantap kolak atau es buah harus dikubur dalam-dalam. Kecuali siap dengan resiko baju ketumpahan kuah kolak atau es buah. Jadilah selama bulan puasa ini saya setia dengan menu lontong dan gorengan untuk mengganjal perut sampai di rumah. Aih, padahal saya selalu menghindari gorengan di bulan biasa. Darimana saya bisa mendengar adzan dan mengetahui waktu berbuka? Tidak mungkin dari pengamen pastinya, maka radio menjadi sahabat terbaik saya. Pilihan jatuh ke Prambors yang menyiarkan sandiwara radio 30 menit menjelang waktu berbuka. 

Saat adzan berkumandang, saya mencolek teman sebelah untuk memberitahu waktu berbuka telah tiba. Info ini biasanya akan menyebar ke seantero bus. Lalu terjadilah solidaritas antar komuter, setiap orang menawarkan bekal berbuka puasanya. Ada yang niat membawa kurma dalam tempat makan, membawa aqua gelas dalam jumlah banyak kalau-kalau ada penumpang yang lupa membeli minum, dan yang paling umum adalah membawa beberapa potong roti untuk dibagikan. Semua orang berlomba-lomba untuk berbagi dan memastikan yang berpuasa memiliki cukup makanan dan minuman untuk disantap. 

Lagi-lagi, pengamen menjadi musuh utama saya. Dengan genjrang-genjreng gitar mereka yang berisik, rasanya suara adzan kehilangan maknanya. Belum lagi pengamen datang silih berganti, menyanyikan lagu berbeda dengan tingkat keributan yang sama. Sangat memerlukan kesabaran ekstra. Paling ngenes melihat teman komuter yang tidak kebagian duduk. Mereka harus berdiri sambil berbuka puasa, kemudian melanjutkan perjuangan hari itu dengan berdiri selama 2 jam sampai ke tempat tujuan. Disini, tingkat kesabaran benar-benar diuji. Karena sudah membatalkan puasa, rasanya kemarahan begitu mudah dipancing. Penyebabnya antara lain pengamen yang kekeuh mengamen di kepadatan bus atau kondektur yang memaksa terus mengisi bus dengan manusia.

Di atas bus yang melaju kencang, suara adzan yang berkumandang syahdu di telinga, teman-teman komuter senasib sependeritaan dan makanan seadanya, hati ini terasa tergetar karena saya memiliki pengalaman berbuka puasa yang lain. Langit Jakarta mulai berubah, dari terang menjadi jingga untuk kemudian gelap pekat. Jalanan juga mulai dipadati kendaraan dan bus mulai melambat untuk kemudian berhenti sama sekali dalam kemacetan. Rumah rasanya masih sangat jauh, tapi saya merasa bersyukur dengan segala rejeki dariNya dan merasa beruntung dapat merasakan pengalaman ini.

Semoga teman-teman blogger juga mendapat pengalaman berharga selama bulan ramadhan tahun ini.

Selamat hari raya Idul Fitri.
Mohon maaf lahir dan batin.

Regards,      
Merry go Round