Selasa, 30 Agustus 2011

Anak Kost vs Komuter

Break sebentar cerita Skandinavianya yaaaa ;)

..........................

Setelah tiga tahun lebih saya bertahan menjadi komuter yang setia hilir mudik Bogor - Jakarta untuk bekerja akhirnya saya sampai pada satu titik yang membuat saya mau-tidak-mau harus menjadi anak kost. Jadwal deadline penulisan buku yang cukup ketat membuat saya harus menulis sesering yang saya bisa, untuk memenuhi kebutuhan tersebut saya menyewa sebuah kamar kost kecil di daerah kantor agar waktu yang biasanya terbuang untuk perjalanan pulang-pergi rumah-kantor bisa saya alokasikan untuk menulis. Mencari kamar kost yang sesuai dengan tipe ideal ternyata sulit, sangking sulitnya saya sampai menganalogikan mencari kost-kostan yang cocok itu sesulit mencari jodoh (deuu, curhat colongan). 

Harga, ukuran kamar, lingkungan, semua berpengaruh besar dalam menentukan putusan kamar mana yang sebaiknya saya pilih, belum lagi kantor saya terletak di jalan Gajah Mada yang terkenal sebagai red district Jakarta di kala malam. Hiiihh, males aja gitu kalau satu kost sama 'ayam'. Nah, masalah wanita malam ini juga menjadi salah satu nilai lebih beberapa kost-kostan minus 'ayam', "Anak-anak kost sini semuanya pekerja kantoran mba, nggak ada yang kerja malem-malem". Jelas, kost seperti ini menjadi incaran pekerja kantoran sejati seperti saya ;) Kisaran harga kost-kostan ukuran 2 x 3 m di daerah Gajah Mada berkisar di atas 500ribu rupiah, kalau kamarnya ber-AC harganya bisa melambung sampai 1juta rupiah. Heehh, totally out of my budget. Karena tujuan utama saya ngekost adalah untuk merampungkan draft buku maka saya harus mencari kamar senyaman mungkin: tidak sempit, sirkulasi udara bagus, tidak berisik, tidak jauh dari kantor, harga terjangkau, dan bebas dari pergaulan dunia malam. Tuuuhh, susah kan nyari kost-kostan sesuai kriteria idealnya saya. 

Setiap pulang kerja dan beberapa akhir pekan saya habiskan untuk hunting kost-kostan diseputaran kantor, ternyata kegiatan ini membuat saya lebih aware terhadap kondisi kehidupan Jakarta yang memang keras. Nyaris tidak ada lahan kosong di Jakarta, apalagi perkampungan penduduk. Semua telah disulap menjadi daerah komersil tempat masyarakat menyandarkan sumber keuangan mereka. Rata-rata rumah penduduk yang sudah kecil mungil dan imut-imut itu merangkap sebagai tempat kost, tempat makan, tempat laundry, atau apapun jasa yang ditawarkan untuk menghasilkan uang. Kebanyakan rumah yang menyediakan kamar kost bisa saya sebut agak sedikit maksa, sepertinya sepetak lahan kosong di halaman belakang langsung dibuat bangunan bertingkat tiga yang berfungsi sebagai kamar kost. Rumah toko setinggi empat sampai lima lantai pun halal dijadikan tempat kost, jadi setiap lantai dari rumah toko ini dibuat petak-petak kamar di kanan kiri ruangan dan menyisakan satu lorong panjang dan sempit di tengah-tengahnya. Huuff, yang terakhir ini kamar kostnya super panas, pengap, dan sempit. Saya langsung sesak napas saat melihat isi kamarnya, nggak kebayang saya harus menjadi manusia kreatif untuk membuat tulisan di kamar semungil dan sepengap ini.  

Ada harga ada mutu, hukum itu juga yang berlaku saat mencari kamar kost. Lupakanlah kamar kost super nyaman dan terjangkau saat saya kuliah dulu, sekarang saya harus berhadapan dengan mahalnya biaya hidup di Ibukota Jakarta. Kamar nyaman, luas, dan berpendingin udara harus saya bayar dengan harga 1juta lebih per bulannya, alhasil saya mencari kamar tanpa pendingin udara namun memiliki sirkulasi udara yang baik. Pencarian kamar kost ini akhirnya berujung pada sebuah kamar berukuran 2 x 3 m yang terletak di belakang sebuah warung makan. Fasilitas yang saya dapatkan untuk sebuah kamar non-AC seharganya 600ribu rupiah per bulan hanyalah lemari, kasur dan fasilitas cuci-gosok. Kamar mandi terletak di luar kamar, terdapat tiga kamar mandi untuk keseluruhan 15 kamar yang ada di dalam kompleks kost-kostan ini, yah kalau pagi-pagi jadi antri mandi dan paling apes kehabisan air di bak mandi. Alasan utama saya memilih kost ini karena di depan kamar saya masih ada sepetak lahan kosong yang difungsikan sebagai taman dan tempat menjemur pakaian, jadi kost-kostan tidak terlalu terasa sempit dan sirkulasi udara dapat berputar dengan baik. Yah, di kamar inilah saya harus berjuang menyelesaikan draft tulisan untuk buku nanti. 

Kamar saya yang paling pinggir di bawah tangga (berasa jadi Harry Potter)

Aib memamerkan foto ini, kamar saya memang berantakaaannn...

Working corner

Sedikit refreshing di kala penat

Roda kehidupan saya selama penulisan buku hanya berputar antara kantor dan kamar kost dari hari Senin sampai Jumat, setiap akhir pekan saya habiskan di rumah dengan menulis juga. Kegiatan saya berpusat antara kerja di kantor - pulang kerja - mandi - kerja lagi untuk nulis buku, lama-lama saya frustasi juga dengan ritme hidup seperti ini, saya muak dan lelah menulis, bagi saya menulis adalah kegiatan kreatif yang tidak dapat dipaksakan, tulisan saya saat tidak mood nulis jeleeekk banget dan akhirnya saya buang dengan percuma. Belum lagi sifat perfeksionis saya yang sudah mendarah daging, saya ingin setiap tulisan dapat dibuat sebaik dan sejelas mungkin, ada mood tertentu yang tersampaikan pada pembaca tulisan saya, terlebih ada tanggung jawab profesional untuk membuat sebuah tulisan layak baca agar pembaca buku saya kelak tidak menyesal telah mengeluarkan uang mereka untuk membeli buku saya (again, curhat colongan). 

Seringnya saya mati ide, bagaimana saya harus mengawali dan mengakhiri sebuah cerita, bagaimana cara menyampaikan cerita yang baik kepada orang lain, dan berdiam diri di dalam kamar memikirkan itu semua tidaklah membuahkan jalan keluar apapun. Saya jadi kangen masa-masa dimana saya menjadi seorang komuter, bolak-balik rumah-kantor, menghabiskan waktu berjam-jam di atas transportasi umum, berbaur dengan kesibukan kota Jakarta, menangkap momen-momen yang berbeda setiap harinya, memikirkan banyak hal, mengkhayalkan imajinasi konyol yang membuat saya tersenyum simpul, menguping pembicaraan orang lain di atas bus transjakarta, intinya kebanyakan kegiatan yang saya lakukan selama menjadi komuter membuat saya banyak berkontemplasi tentang berbagai hal yang dapat saya tuangkan dalam bentuk tulisan, disinilah proses kreatif dalam kehidupan saya terjadi. Tiba-tiba saya kangen dengan kegiatan bangun dini hari untuk berangkat kerja, berdesakan di atas bus transjakarta, lari-lari ke kantor karena sebentar lagi jarum jam tepat berada di angka delapan, hingga kelap-kelip Jakarta di kala malam yang menjadi penutup di hari tersebut. Saya merindukan dinamika hidup itu.   

Bulan Ramadhan hadir seminggu setelah draft buku saya selesai. Sekarang kegiatan saya menjadi kerja di kantor - pulang ke kost - bingung ngapain lagi. Karena tidak memiliki pekerjaan tetap di kost saya menggunakan waktu pulang kantor untuk berbaur kembali dengan hedonisme kota Jakarta. Well, nggak hedon banget sih, palingan cuma nonton, kelayapan di mall, kopdaran sambil buka puasa bareng Mila ;) dan rutin dateng ke berbagai undangan buka puasa bareng lainnya. Tapi lama-lama film yang bisa saya tonton habis, nggak ada undangan buka puasa bareng, mau belanja tapi jatah THR udah ludes, akhirnya saya terdampar di kamar kost tanpa melakukan kegiatan berarti sedikitpun. Paling ngenes waktu sahur untuk puasa, penghuni di kostan saya mayoritas non-muslim dan saya harus berbesar hati untuk sahur sendirian di dalam kamar dengan lauk seadanya dan ditemani siaran radio Prambors. Berbeda ceritanya kalau sahur di rumah, meja makan penuh dengan masakan hangat buatan mama, sahur dengan keluarga tersayang dilanjutkan dengan salah Subuh berjamaah. Huaaahhh kangen rumaahhh.... 

Bukan berarti saya tidak bersyukur dengan keadaan yang ada dan hanya terus-terusan mengeluh, hanya saja semua hal ini membuat saya sadar dengan beragam hal kecil yang seringkali luput dari perhatian saya. Biasanya saya hanya mengeluh saat bus pulang datang terlambat, tidak terlalu peduli dengan bekal sarapan dan makan siang yang mama selipkan di tas saya, dan tidak sadar dengan banyaknya orang yang peduli dan sayang sama saya. Kalau tahun kemarin saya selalu buka puasa di atas bus, sekarang saya bisa buka puasa di kantor bersama 'keluarga kedua' saya, mereka aware banget dengan kondisi saya yang sekarang kost dan melebihkan jatah snack buka puasa untuk saya, Alhamdulillah. Saya juga ngalamin buka puasa sambil gelantungan di atas busway, pramudi buswaynya dengan santun menginformasikan waktu berbuka telah tiba dan penumpang dipersilahkan untuk berbuka puasa. Favorit saya sih waktu azan berkumandang saat saya lagi jalan menuju halte bus, saya bersama puluhan orang lainnya menepi sebentar dan meninggalkan kesibukan mereka untuk sekedar membatalkan puasa, momen-momen berpuasa menjadi begitu indah saat kita bisa memaknainya dengan perspektif yang berbeda.

Buka puasa di kantor 


Well, puasa tinggal sehari lagi tapi saya tidak yakin telah memanfaatkan bulan yang mulia ini semaksimal mungkin, semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya dan memperbaiki semua kekurangan di Ramadhan sebelumnya. Saya kost pun tinggal sebulan lagi, nggak kuat dengan biaya hidup Jakarta yang lama-lama membobol tabungan saya, kalau mau ngajak saya kelayapan atau kopdaran di Jakarta pulang kerja jangan lewat dari bulan September ya ;) Mau jadi anak kost atau komuter keduanya memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing, tinggal bagaimana cara kita melihatnya dengan sudut pandang yang lain. Bagi saya, keduanya membuat pengalaman hidup saya menjadi lebih kaya dan berwarna :)


PS: Studi kasus kost Jakarta dalam tulisan ini hanya terletak di seputar kawasan Hayam Wuruk - Gajah Mada.

Minggu, 14 Agustus 2011

Balada Es Krim

Prolog. Mengingat-ingat sejenak... Kapan ya terakhir kali saya meng-update blog ini, sudah lama sekali rasanya. Kapan terakhir kali saya blogwalking ke blog teman-teman? Sebelum saya berangkat ke Skandinavia sepertinya. Huff, cukup lama juga saya menelantarkan Merry go Round, bahkan sampai pangling menuangkan tulisan dalam dashboard blog yang mungil ini karena beberapa bulan terakhir saya terus-terusan berkutat dengan Microsoft Word demi membayar hutang liburan ke Skandinavia. Untuk yang selalu bertanya 'Kapan bukunya rilis?' jujur saya tidak tahu jawabannya, draft tulisan saya baru rampung minggu kemarin, setelah dikejar-kejar deadline dan pekerjaan harian akhirnya tulisan saya selesai juga dan bisa diserahkan ke editor. Masih jauh dari kata selesai, masih banyak perbaikan dan penambahan disana-sini untuk menghasilkan sebuah buku yang layak baca dan layak jual, tapi setidaknya saya sudah menyelesaikan satu tahapan untuk penyelesaian buku tersebut, doakan ya teman-teman :) 
Jadi, sementara saya harap-harap-cemas menanti kabar selanjutnya dari editor tercinta saya yang juga sibuk bukan main menangani buku-buku lainnya, saya akan kembali menulis di blog yang telah mengenalkan saya pada banyak hal yang baru. Walau tidak bisa berjanji banyak akan menulis tentang cerita liburan saya di Skandinavia kemarin karena hampir seluruhnya telah saya ceritakan di draft tulisan untuk buku, tapi beberapa cerita akan saya share disini untuk teman-teman yang selalu komplain atas postingan cerita cinta saya yang selalu di-cap bernada galau (melirik tajam kepada Cipu dan Exort). Yap, saya kembali ke ranah blogspot, kembali ber-blogwalking ria, dan dengan senangnya saya berkata "Saya kangen kalian semuaaa..." :)

..................


Göteborg hari kedua, baru saja kemarin saja sampai ke kota terbesar kedua di Swedia ini dan nanti sore saya sudah harus berangkat ke Oslo. Huff, hanya satu setengah hari tersedia untuk saya berkenalan dengan Göteborg, sebuah kota kecil yang tepat berada di bibir perairan Swedia. Kapal-kapal besar berlabuh di dermaga Göteborg dan membongkar muatan mereka, kota ini memang memegang peranan penting dalam lalu-lintas perairan Swedia mengingat posisinya yang cukup sentral. Burung camar terbang rendah dan berkaok-kaok riang meramaikan suasana, bau asin air laut tertiup angin sepoi-sepoi yang berhembus pelan. Göteborg terasa lebih tenang dan sepi dibanding Stockholm, apalagi saat akhir pekan seperti ini, seluruh penduduk seperti enggan keluar dari rumah dan membuat kota begitung lengang sehingga nyaris seperti kota mati.

Bachelorette Party di sisi perairan Göteborg

Rumpun bunga liar 

Oscar Fredriks Kyrka, Göteborg

Matahari musim panas mulai bersinar terik dan menggerakkan barometer cuaca ke angka 27 derajat Celcius, angka tertinggi yang pernah diraih semenjak kedatangan saya ke Swedia. Hampir di seluruh tempat dan bangunan sentral di Stockholm maupun Göteborg menuliskan dengan jelas informasi suhu udara di hari itu dalam layar-layar LCD, membuat saya selalu aware dengan cuaca dan dapat mempersiapkan diri dengan pakaian yang memadai jika suhu dirasa terlalu dingin. Ini adalah hari kelima saya di Swedia dan saya sudah cukup merasakan kehangatan sinar matahari Skandinavia yang dapat membuat saya berkeringat dan lumayan semaput untuk menghadapi panasnya udara musim panas. Musim panas di Stockholm maupun Göteborg memang hanya berkisar di angka 21 - 27 derajat Celcius saja namun cukup untuk membuat semua penduduk berbondong-bondong keluar untuk menikmati panas sinar matahari yang hanya bersinar selama beberapa bulan dalam satu tahun, walau begitu saat jarum jam bergerak memasuki jam 7 malam angin yang berhembus mulai terasa dingin dan menusuk, Skandinavia seakan tetap menunjukkan kehebatannya dalam urusan udara dingin!

Patung 5 Perempuan yang melambangkan 5 Benua di dunia 

Göteborg sepi lengang tanpa manusia 

Salah satu sudut Göteborg 

Selain berjemur hal lain yang wajib dilakukan saat musim panas adalah menikmati es krim. Hampir seluruh tempat di spot-spot wisata membuka kedai es krim yang menjual es dengan berbagai rasa dan warna. Menjilati es krim sambil berjalan-jalan menikmati suasana kota di bawah terik matahari memang merupakan kombinasi yang pas, bahkan salah satu website pariwisata Stockholm menampilkan beberapa kedai es krim andalan yang dapat dikunjungi selama berada di Stockholm, menunjukkan pentingnya peranan es krim sebagai salah satu jualan kuliner yang paling dicari selama musim panas. Awalnya saya skeptis dan mencibir dalam hati akan budaya ini, "Dih, di Indonesia saya bisa makan es krim kapanpun saya mau. Panas, dingin, siang, malam, halal-halal aja tuh makan es krim", belum lagi harga es krim yang di atas rata-rata membuat saya tambah hilang selera untuk menikmati es krim di negara mahal ini. Ternyata pikiran skeptis saya ini hanya bertahan di hari pertama saya di Stockholm, hari-hari berikutnya saya mulai memandang iri kepada orang-orang yang berlalu lalang sambil memegang cone es krim di tangannya. Air liur memenuhi rongga mulut, pasti rasanya nikmat banget menikmati sensasi es yang lembut dan dingin yang melumer di lidah, seketika langsung mendinginkan kepala dan tubuh yang kepanasan diterpa terik matahari. Bayangan saya yang berjalan-jalan melihat arsitektur kota yang unik, dinamika penduduk lokal dengan berbagai kegiatannya, ditemani matahari musim panas, dan setangkai es krim di tangan mulai menari-nari di kepala dan menggoda iman atas budget saya yang super terbatas. Glek, saya kepengen makan es krim jugaaa...!!! 

Pencarian saya akan kenikmatan es krim dimulai di lorong sempit Gamla Stan yang menjadi jualan utama pariwisata Stockholm, disana berderet-deret toko dan kedai yang menjual es krim dan berbagai penganan pelengkapnya. Wangi kue hangat yang baru dikeluarkan dari oven terasa menggantung di udara, membuat siapapun yang lewat akan mengedarkan pandangannya untuk mencari sumber aroma menggoda tersebut, wisatawan keluar-masuk membawa cone es krim beraneka warna dari salah satu kafe, saya ikut menghampiri kafe tersebut untuk mengintip harga yang tertera. Satu scoop es krim dihargai mulai dari 25 SEK (Sweden Krona, 1 SEK = Rp 1.450), tergantung pilihan jenis dan rasa dari es krim tersebut, membeli dua scoop biasanya lebih murah lagi dan dapat dihargai 45 SEK saja. Saat itu juga keinginan saya untuk menikmati es krim langsung menguap seketika, ihik mahal banget, saya harus tetap bertahan pada rencana pengeluaran yang telah dibuat karena hari-hari saya di Swedia masih panjang. Ya ampun, proletar banget sih saya, ngeluarin 45 SEK aja nggak mampu. Yah mau gimana lagi, saya memang berangkat kesini hanya dengan bermodalkan nekat dan doa serta dana super terbatas. Mungkin es krim harus menunggu saat saya kembali ke Indonesia.

Kembali ke Göteborg, dengar-dengar harga di kota ini lebih murah dibanding Stockholm, mungkin disini saya bisa memuaskan hasrat untuk menikmati es krim. Empat jam lagi bus yang akan mengantarkan saya ke Oslo akan berangkat, masih tersedia waktu untuk berburu es krim di Göteborg. Kalau saya kekeuh ingin makan es krim selagi di Skandinavia maka sekarang adalah waktu yang tepat, saya tidak yakin di Norwegia nanti sinar matahari dapat bersinar seterik ini, terlebih saya tidak yakin harga-harga di Norwegia bisa semurah Swedia, di Norwegia nanti saya pasti akan jauh lebih proletar dibanding saat berada di Swedia *mengenaskan*. Ricky, mahasiswa pasca sarjana asal Indonesia yang baru menyelesaikan studinya berbaik hati menemani saya berkeliling Göteborg, di sisa sore itu saya sudah kehabisan tempat turistik yang dapat dikunjungi dan tidak tahu harus pergi kemana lagi di kota kecil ini, akhirnya Ricky menawarkan saya untuk mampir ke kampusnya. Selain dikenal sebagai kota yang memegang peranan sentral dalam bidang perdagangan antar negara lewat jalur perairannya, Göteborg juga terkenal sebagai rumah dari beberapa universitas ternama Swedia sehingga banyak mahasiswa yang tinggal di kota ini. Salah satu universitas di Göteborg yang terkenal adalah Chalmers University, tempat inilah yang akan menjadi penutup perjalanan saya selama di Göteborg.

Ricky yang baca peta, saya yang sibuk foto-foto ;)

Chalmers University, Göteborg

Suasana kampus besar Chalmers tidak berbeda dengan suasana kota Göteborg, sepi karena hampir seluruh mahasiswa menghabiskan waktu akhir pekan mereka di luar kampus. Setelah lelah berkeliling akhirnya saya memberanikan diri untuk mengajak Ricky mencari es krim, pasti dia tahu tempat es krim murah meriah di daerah kampus ini. Benar saja, dia mengajak saya ke salah satu toko yang khusus menjual es krim, didalamnya berjejer es krim beraneka rasa dan warna, harganya 15 SEK saja untuk satu scoop es krim dan 25 SEK untuk dua scoop. Horeee, senangnya bisa menemukan es krim murah meriah di Göteborg. Karena harganya tidak terlampau mahal dan budget saya masih cukup tersisa maka saya memaksa untuk membayar jatah es krim Ricky, untuk membalas kebaiknnya yang telah meluangkan waktu untuk menemani saya berkenalan dengan Göteborg. Di sisa sore itu, di salah satu kedai es krim kampus yang lengang oleh mahasiswa, terik matahari tidak hanya tertahan oleh bangunan toko yang mungil tapi juga oleh es krim manis yang melumer di mulut saya.

Kurang dari dua jam lagi saya akan meninggalkan Swedia dan menuju ke Norwegia, meninggalkan Göteborg untuk pergi ke Oslo. Sebelum meninggalkan toko saya menghitung sisa koin Sweden Krona yang ada di dompet, masih ada 25 SEK lagi, masih cukup untuk membeli dua scoop es krim untuk saya nikmati sambil berjalan-jalan di bawah hangat matahari Swedia sebelum saya merasakan dinginnya Norwegia. Sepertinya tidak ada salahnya saya menambah jatah es krim hari ini, toh koin-koin ini nantinya tidak bisa saya tukarkan di money changer kan pikir saya membela diri. Jadilah saya pergi ke meja kasir untuk memesan dua scoop es krim lagi, pelayannya tersenyum-senyum melihat tingkah saya, ah masa bodohlah, saya sudah diperdaya dengan kenikmatan es krim dan sinar matahari Swedia. Walau sebenarnya di Stockholm saya sempat mencicipi es krim saat diundang dinner oleh Andri dan Gunar, walau saya sudah menghabiskan dua scoop es krim di dalam toko ini, tapi saya belum merasa lengkap jika belum merasakan es krim sambil berjalan-jalan menikmati suasana kota, saya ingin menjilati es krim sambil berkeliling kota, berbaur dengan dinamika masyarakat lokal dan mencicipi suasana musim panas di kota ini, sebenarnya hal inilah yang saya cari, hal ini juga yang membuat saya super riang melangkah keluar toko sambil membawa cone es krim saya.

Es krim rasa champagne dan peach seharga 25 SEK

Warna pink rasa peach dan putih rasa champagne menumpuk di atas cone yang saya pegang, perpaduan warna yang cantik dan membuat saya tidak tega untuk menghabiskannya, paling tidak saya harus mengambil foto kalian dulu pikir saya dalam hati. Selesai puas mengabadikan gambar saya bergerak untuk menutup lensa kamera, pasti konyol jika lensa saya terkena tetesan es krim, saya berkonsentrasi menutup lensa dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegangi es krim. Sesaat tangan kiri saya yang miring seperti kehilangan beratnya, dua scoop es krim saya dengan cantiknya meluncur turun dan jatuh. Pluk! Bersamaan dengan lensa kamera saya yang tertutup, es krim saya juga jatuh dengan suksesnya. Saya terpana dan tidak bisa bereaksi apa-apa, Ricky memandangi saya, beberapa orang yang lewat juga memandangi saya, ya ampun komik banget sih kejadian yang saya alami, konyol banget sih, dengan bodohnya saya tetap memegangi cone yang kosong dan cepat-cepat berlari ke halte bus yang kosong untuk bersembunyi. Malu, sebal, sedih, kesal, ya ampuuunnn komik banget sih scene barusan, ya ampuuunn hilang percuma deh 25 SEK saya, dan ya ampuuunnn hilang deh kesempatan saya menikmati es krim di bawah sinar matahari.

Balada es krim sebelum es nya jatuh 

Panas matahari dan aspal yang nampak melepuh dengan cepatnya merubah es krim cantik saya menjadi sebentuk cairan yang tak tentu warnanya. Balada es krim menutup petualangan saya selama di Swedia, entah apa yang menunggu nanti di Norwegia, akankah sinar matahari disana sehangat di Swedia, apakah orang-orangnya seramah masyarakat Swedia, entahlah, tapi saya tidak sabar merasakan semua petualangan baru di Norwegia nanti.