Senin, 23 Januari 2012

Vincent Will Meer: Sebuah Film Perjalanan

Bagaimana jika tiga orang dengan kelainan psikologis berbeda berada di dalam satu mobil dan mengadakan sebuah perjalanan demi melihat laut. Hasilnya adalah sebuah film yang unik, kocak, serta mampu mengaduk-aduk emosi penontonnya.


Dalam film Vincent Will Meer diceritakan tokoh Vincent sebagai tokoh utama yang menderita Sindrom Tourette. Apakah Sindrom Tourette ini? Hal itu langsung terjawab di awal pemutaran film. Adegan pembuka dilakukan di sebuah gereja yang sedang mengadakan upacara pemakaman. Saat sang Pastur memberikan kata-kata penghormatan kamera bergerak menyorot seorang lelaki yang mulai bertingkah aneh dan tidak bisa duduk tenang mengikuti jalannya upacara pemakaman. Lelaki tersebut, Vincent, seakan-akan berusaha mati-matian menahan kata-kata yang hendak keluar dari mulutnya. Seperti layaknya seseorang yang hendak bersin, Vincent menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata yang sedikit lagi akan berhamburan dari mulutnya. Usaha Vincent ternyata sia-sia, hanya dalam hitungan detik dia mulai mengeluarkan kata-kata kotor yang tidak dapat ditahan beserta dengan gerakan tubuh aneh yang langsung mengundang perhatian seluruh pengunjung gereja. Di bawah tatapan tajam ayahnya, Vincent keluar dari gereja dan mengeluarkan seluruh kata yang ditahannya di dalam tadi. Kesal, sedih, marah, semuanya bercampur baur dalam sorot wajah Vincent setelah merasa lega dapat melepaskan kata yang tertahan. Sesaat kemudian Vincent tergugu di depan pintu gereja, menahan tangis sambil memukuli kepalanya sendiri.

Vincent di depan pintu gereja

Sindrom Tourette adalah kelainan syaraf yang menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan kata-kata yang ingin dikeluarkan dan tidak mampu mengendalikan gerak tubuhnya. Dalam kasus Vincent, dia seringkali menyentakkan kepala ke berbagai sisi, menegangkan urat lehernya, mengeluarkan kata-kata kotor yang tidak disadari, sampai menendang atau memukul jika Vincent tidak dapat menahan emosinya. Upacara kematian ibu Vincent yang dijadikan pembuka film tadi menyeret Vincent ke sebuah tempat rehabilitasi, ayah Vincent merasa tidak mampu menangani kelainan psikologis Vincent sehingga lebih memilih untuk menyerahkan Vincent kepada ahlinya. Vincent yang tampaknya tidak terlalu peduli dan tidak dekat dengan ayahnya tampak tidak peduli, dia membawa foto ibunya beserta sebuah kaleng permen berisi abu ibunya sebagai harta berharga ke tempat rehabilitasi tersebut.

Tidak akur dengan ayahnya

Di tempat rehabilitasi Vincent ditempatkan bersama Alexander yang mengidap neurosis kompulsif. Alexander yang teramat sangat gila kebersihan ini tentu sangat keberatan dengan keputusan Dr. Rose tersebut. Berbagai kejadian konyol karena kegilaan Alexander terhadap kebersihan disajikan dalam beberapa adegan dan sukses mengocok perut penonton. Contohnya saat Vincent yang terburu-buru masuk ke dalam toilet yang terletak di dalam kamar, dari luar Alexander terus-terusan menggedor pintu kamar mandi dan memperingatkan Vincent untuk tidak menggunakan handuknya maupun buang air besar di dalam sana. Vincent yang kesal dengan ulah Alexander akhirnya mengeluarkan bunyi-bunyian seperti suara kentut, Alexander yang mendengar bunyi tersebut menjadi tambah histeris dan semakin panik menggedor pintu kamar mandi.

Selain Alexander, Vincent berkenalan dengan Marie yang bertugas mengajak Vincent untuk berkeliling ke seluruh tempat rehabilitasi. Di awal perkenalan mereka, Marie merasa aneh dengan sikap Vincent dan Sindrom Tourette yang Vincent idap. Ketika mereka mengobrol sambil merokok di taman Marie menyentuh lengan Vincent dengan telunjuknya dan Vincent langsung kambuh dan mengeluarkan kata-kata kotor sambil menyentakkan tangan dan kepalanya. Setelah Vincent bisa menguasai dirinya Marie mencoba menggenggam lengan Vincent dan tidak terjadi sesuatu yang aneh, sepertinya Vincent sudah bisa menguasai dirinya. Merasa penasaran, Marie pun mengecup bibir Vincent dan Vincent langsung gelagapan panik sembari menyemburkan bibirnya dan menyentakkan kepala serta kakinya sambil mengeluarkan sederet kata-kata kotor.

Marie mencoba menggenggam lengan Vincent

Walau terlihat seperti seseorang yang nyaris normal, ternyata Marie mengidap anoreksia akut dan berwatak keras. Dia tidak mau mengikuti sedikitpun saran Dr. Rose dan selalu membangkang. Terakhir kali Marie masuk ke ruangan Dr. Rose dia mendapat ancaman: jika Marie tetap menolak untuk makan maka sebuah selang akan dimasukkan ke dalam lambungnya demi mencukupi kebutuhan nutrisi tubuhnya. Tanpa Dr. Rose sadari ternyata Marie mencuri kunci mobil Dr. Rose saat pertemuan mereka yang terakhir tersebut. Malam itu juga Marie menghampiri Vincent untuk mengajaknya pergi kemanapun Vincent mau. Dan Vincent ingin ke laut, untuk melihat tempat yang menjadi latar dari foto Ibunya yang selalu Vincent bawa. Di malam pelarian Vincent dan Marie dari tempat rehabilitasi, Alexander memergoki mereka dan mengancam membuat keributan untuk menggagalkan rencana mereka. Tidak mau ambil pusing, Vincent dan Marie 'menculik' Alexander dan memasukkannya paksa ke dalam mobil curian. Dan petualangan mereka yang sebenarnya pun dimulai. Sementara itu ayah Vincent dan Dr. Rose yang menyadari tiga pasiennya menghilang ikut mengejar Vincent dan komplotannya untuk dikembalikan ke tempat rehabilitasi. Tanpa mereka sadari, sesungguhnya ayah Vincent dan Dr. Rose pun tengah ikut berpetualang bersama Vincent.

Marie, Vincent, dan Alexander

Dalam pelarian menuju laut

Hujan plus mobil mogok


Sutradara Rald Huettner mengemas Vincent Will Meer ke dalam sebuah film perjalanan yang menarik. Ketika ketiga orang dengan masing-masing kelainan psikologis disatukan, terjalin sebuah cerita apik tentang persahabatan yang terbentuk secara tiba-tiba di tempat dan kondisi yang tidak terduga. Pemandangan alam Jerman yang ciamik ditampilkan sebagai latar dimana semua petualangan dan persahabatan ini tercipta. Penonton tidak hanya dimanjakan dengan alur cerita unik dan konyol, tapi juga oleh sinematografi yang menyajikan keindahan alam Jerman. Karena rombongan Vincent ingin pergi ke Italia untuk melihat laut, maka mereka menempuh jalur melewati Bavaria, Munich, Austria, untuk kemudian sampai ke Italia. Rangkaian pegunungan Alpen yang diambil dengan teknik menantang sinar matahari sehingga menciptakan pencaran titik bokeh dalam gambar memberi sudut pandang yang berbeda. Vincent yang tiba-tiba mencetuskan ide ingin naik ke puncak gunung membawa penonton kepada hamparan padang rumput, sungai berarus deras, jalur trekking yang biasa digunakan untuk hiking, jejeran pegunungan yang berwarna biru dari kejauhan dengan tumpukan salju di atasnya, sampai pemandangan menakjubkan yang diambil dari atas pegunungan saat Vincent berhasil sampai ke puncak dan mendaki palang yang menjadi simbol puncak pegunungan. Dan lagi-lagi, penonton kembali menahan napas dan berdecak kagum dengan keindahan pemandangan yang ditampilkan.



Ngobrol di puncak gunung dengan pemandangan secantik ini???


Sutradara Rald Huettner pun tampaknya tidak mau bersusah payah membuat sebuah film rumit yang menggambarkan hubungan antar manusia di dalamnya. Cerita di dalamnya cenderung simpel, tidak dipenuhi konflik maupun menggali lebih dalam permasalahan sang tokoh utama. Tidak sedikit kritikus film yang mengatakan film ini dangkal karena tidak menggali permasalahan-permasalahan yang ada. Bagi saya justru Rald Huettner memang sengaja menggambarkan Vincent Will Meer sedangkal itu. Vincent Will Meer lebih seperti sebuah chapter dalam cerita kehidupan yang diangkat ke layar lebar, di dalamnya tidak perlu digali permasalahan ataupun mendramatisir suasana yang ada. Semua berjalan santai, ringan, dan apa adanya. Dan seperti sebuah cerita perjalanan pada umumnya, tidak ada konflik tiga babak di dalamnya. Tidak ada penyelesaian masalah seperti yang selalu muncul dalam penutup film Hollywood. Yang sebenarnya ingin disampaikan film ini adalah bagaimana setiap orang dalam film ini (Vincent, Alexander, Marie, ayah Vincent, Dr. Rose) memandang ulang hidup dan pandangan mereka terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. 

Sebagai salah satu film pilihan dalam German Cinema yang menjadi rangkaian acara Jerin (Jerman Indonesia) yang diadakan sejak Oktober 2011 kemarin, Vincent Will Meer bisa dibilang sukses untuk mengenalkan sisi lain dari Jerman. Untuk saya pribadi yang suka traveling, jelas film ini memuaskan mata saya dengan sinematografi yang begitu kaya dan disajikan selama 96 menit film berjalan. Menonton film ini seakan ikut masuk dan bergabung ke dalam petualangan Vincent menjelajahi Jerman, Austria, dan Italia demi melihat laut. 

Finally sea...

PS: Saat searching trailer Vincent Will Meer di Youtube, ternyata film ini bisa dilihat di Youtube dan dibagi ke dalam 6 bagian (setiap bagian berdurasi sekitar 15 menit). Bisa banget dijadiin alternatif menonton jika penasaran setelah membaca tulisan ini. Sayangnya tidak tersedia teks dalam film tersebut sementara filmnya menggunakan bahasa Jerman. Yah, anggap saja lagi menonton film bisu dan menebak-nebak maksud dialog para tokohnya dari bahasa tubuh yang dimainkan. Kalau penasaran dengan keindahan alam Jerman yang saya sebut sebelumnya bisa melihat di part 4 dan part 5 (search dengan keyword Vincent Will Meer).

Source: semua foto dalam tulisan ini diambil dari http://www.moviereporter.net/galerie/731-vincent-will-meer

Sabtu, 14 Januari 2012

Narsis di Negara Monarki Konstitusional

Sistem pemerintahan monarki konstitusional adalah sistem pemerintahan dimana Raja memegang peranan sebagai kepala negara sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Dengan kata lain Perdana Menteri memegang peranan untuk menjalankan pemerintahan suatu negara sedangkan Raja lebih merupakan ketua simbolis negara tersebut. Negara apa yang sampai saat ini masih menjalankan sistem monarki konstitusional? Jawaban pertama yang terlintas di kepala saya adalah Inggris. Jawaban alternatif tambahan? Eeerr... saya nggak tahu *kalau ikutan cerdas cermat pasti saya kalah telak*. Yeah, dengan jumlah total 33 negara di dunia yang memakai sistem monarki konstitusional, saya cuma tahu Inggris sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan (nyaris) kuno seperti ini. Maafkanlah, nilai Geografi saya memang jelek.

Kenapa sih Inggris segitu terkenalnya dengan sistem monarki konstitusional dibanding negara-negara lain yang menganut paham serupa. Well, siapa juga yang nggak pernah denger berita tentang keluarga kerajaan Inggris, mulai dari kematian Lady Diana, Ratu Elizabeth II yang menampilkan kesan antipati, gosip-gosip di seputar lingkungan kerajaan Inggris, sampai berita terbaru adalah royal wedding Pangeran William yang (lagi-lagi) menyita perhatian dunia. Nggak heran lah kalau legenda kerajaan Inggris ini begitu mendunia dan langsung menempel di otak saya saat membicarakan sistem pemerintahan monarki konstitusional. Khusus untuk pecinta jalan-jalan, Inggris menjadi begitu fenomenal sekaligus menjadi negara destinasi impian karena menawarkan berbagai atraksi yang berkaitan dengan 'remeh-temeh' kerajaan. Mau jalan-jalan ke kediaman keluarga kerajaan di Buckingham Palace, desek-desekan dengan sesama turis demi bisa melihat atraksi changing guard, sampai mampir ke Westminster Abbey yang menjadi tempat Pangeran William nikah kemarin. Salah satu highlight pariwisata Inggris yang mengedepankan 'remeh-temeh' kerajaan ini secara tidak langsung membuat dunia dengan mudahnya mengingat Inggris sebagai negara monarki konstitusional.

Haruskah saya ke Inggris demi bisa merasakan atmosfir dari sebuah negara dengan sistem monarki konstitusional, demi bisa melihat langsung atraksi pergantian penjaga yang menyedot perhatian seluruh turis di berbagai belahan dunia, dan demi bisa berfoto dengan salah satu penjaga yang (ehem) good looking tersebut? Ternyata tidak. Eropa sendiri memiliki 12 negara dengan sistem pemerintahan monarki konstitusional, dan Skandinavia yang terdiri dari Swedia, Norwegia, dan Denmark masuk ke dalamnya. Seperti layaknya Inggris, negara-negara Skandinavia juga menjadikan berbagai 'remeh-temeh' kerajaan sebagai salah satu jualan pariwisata mereka.

Seperti semua wisatawan lain yang merencanakan perjalanan ke negara yang masih memfungsikan Raja sebagai kepala negara, maka saya pun memasukkan agenda 'remeh-temeh' kerajaan ke dalam itinerary saat berkesempatan datang ke Skandinavia. To do list yang harus dilakukan antara lain mampir ke Royal Palace untuk melihat kediaman keluarga kerajaan, melihat prosesi pergantian penjaga di halaman Royal Palace, dan tentu saja berfoto bersama penjaga istana yang oh-so-cute itu. Jalan-jalan ke sebuah negara dengan sistem monarki konstitusional rasanya belum lengkap jika melewatkan kesempatan berfoto dengan penjaga istana yang sedang bertugas di halaman istana. Berpose narsis dan menggoda para penjaga yang berdiri dengan sikap sempurna dan pandangan tegak lurus ke depan, sekedar untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan bergeming dari posisi sikap sempurnanya, menjadi momen yang pantang untuk dilewatkan. 

Sebagai seorang solo traveler, saya cukup beruntung bertemu dengan beberapa teman yang berbaik hati menemani saya berkeliling pusat kota dan mengantarkan saya ke Royal Palace yang menjadi magnet utama pariwisata di Skandinavia. Hari pertama menjejakkan kaki di tanah Swedia saya sudah bersemangat untuk mengeksplorasi negara ini. Tidak peduli dengan kata jetlag dan penampilan kuyu karena telah menghabiskan waktu selama 18 jam di dalam pesawat, setelah check in ke hostel yang telah dipesan, menaruh ransel, dan cuci muka-gosok gigi ala kadarnya, saya siap berkenalan dengan Stockholm. Sisa sore itu saya habiskan dengan berjalan-jalan di taman utama kota dan pusat perbelanjaan yang sudah mulai sepi. Walaupun musim panas dan matahari memperpanjang sinarnya sampai jam 10 malam, para pemiliki toko di Stockholm tetap konsisten menutup toko mereka saat jarum jam masuk ke angka 7 atau 8 malam. 

Cukup disayangkan, saat kebanyakan wisatawan masih banyak berkeliaran di pusat kota, kebanyakan toko sudah tutup. Padahal kesempatan ini bisa mereka gunakan untuk buka lebih lama dan menjual souvenir lebih banyak lagi. Namun seperti itulah jam kerja yang diterapkan di Stockholm dan para pemilik toko maupun pegawai taat dengan peraturan yang ada. Jadilah di sore yang beranjak ke malam itu saya berjalan-jalan di pusat Gamla Stan (kota tua) yang sepi dari hiruk-pikuk keramaian pengunjung kafe dan toko souvenir. Gamla Stan hanya dipenuhi beberapa wisatawan lainnya yang masih ingin mengelilingi kompleks kota tua ini ditemani dengan cahaya matahari dan angin dingin yang mulai bertiup. 

Malam masih terang saat saya melangkahkan kaki ke kompleks Royal Palace. Beberapa penjaga istana nampak berjaga di posnya masing-masing dan beberapa wisatawan berkeliaran untuk mengamati kompleks istana maupun berfoto dengan latar Royal Palace. Tiba-tiba terdengar sebuah hardikan yang cukup keras dengan bahasa yang tidak saya kenal. Dengan sebuah isyarat tangan dan raut wajah tegas seorang penjaga istana dengan langkah tegap memerintahkan seorang wisatawan yang berjalan terlalu dekat dengan kompleks istana untuk mundur. Saya kaget sekaligus jiper dengan ketegasan yang mereka tampilkan. Damar yang menemani saya kala itu memperlihatkan garis-garis hitam yang dibuat di beberapa tempat, pengunjung tidak diperbolehkan untuk melewati garis tersebut. Wisatawan yang ditegur tadi ternyata melewati garis hitam sehingga mendapat teguran oleh penjaga istana. Kalau saja Damar tidak memberitahukan hal penting ini pasti saya akan menjadi orang selanjutnya yang terkena teriakan dari salah satu penjaga istana. 

Selain mengitari beberapa tempat yang dianggap sentral di halaman Royal Palace, garis hitam ini juga melingkari pos-pos tempat penjaga istana berdiri. Untuk saya hal ini secara tidak langsung menyampaikan pesan 'Dilarang Berfoto Terlalu Dekat Dengan Penjaga Istana'. Tanpa diminta Damar langsung berinisiatif mengambil kamera saya dan menyuruh saya berpose di salah satu pos penjaga. Dengan garis hitam selebar itu tidak mungkin saya bisa berpose terlalu dekat dengan penjaga apalagi sampai menggoda mereka yang berdiri kaku dengan sikap sempurnanya. Di bawah tatapan tajam penjaga istana yang memperhatikan gerak-gerik saya dan diantara angin dingin Stockholm yang mulai menusuk kulit dan meniup rambut saya ke segala penjuru arah, Damar mengambil foto perdana saya dengan penjaga istana di sebuah negara monarki konstitusional yang kali pertama saya kunjungi.

Jauh beneeerr jaraknya..
(Photo courtesy of Damar

Beranjak dari Swedia, saya pergi ke negara monarki konstitusinal selanjutnya: Norwegia. Matahari musim panas bersinar dengan cerah dan langit biru menjadi latar yang melengkapi keanggunan bangunan Oslo Royal Palace. Halaman istana nampak ramai dengan wisatawan yang antusias berfoto dengan penjaga istana sekaligus menunggu momen changing guard yang akan berlangsung satu jam ke depan. Sambil berlari-lari kecil saya menuju salah satu pos penjaga yang tepat berada di pintu utama istana, di depan pos tersebut para wisatawan telah membuat sebuah kerumunan dan bergantian berfoto dengan penjaga istana. Saat akhirnya tiba giliran saya untuk berfoto, saya baru menyadari satu hal. Berbeda dengan Stockholm Royal Palace, di Oslo Royal Palace tidak ada garis hitam yang membatasi jarak antara penjaga istana dengan pengunjung yang ingin berfoto. Jadi seberapa jauh atau dekatkah jarak yang harus saya ambil? Tidak ada aturannya. Saya tinggal pinter-pinter atur jarak aman, jangan terlalu dekat, jangan juga terlalu jauh. Sip, lalu pasang gaya andalan dan cheers...

"How is it?", tanya saya ke Felicity yang bersedia menjadi fotografer dadakan sambil tetap berdiri di samping si penjaga istana. Kalau hasilnya kurang oke saya bisa foto lagi tanpa harus antri dari awal. "Muka penjaganya ketutupan bulu", jawab dia sambil mengecek hasil foto. Saya refleks melihat wajah si penjaga istana. Benar saja, wajahnya tertutup bulu yang berasal dari topi bulu yang melambai-lambai di atas kepalanya. Iseng-iseng saya mencoba meniup bulu tersebut agar menepi ke pinggir wajah. Tanpa diduga, sang penjaga mengibaskan kepalanya ala model iklan shampo untuk menyingkirkan bulu tersebut dari wajahnya demi hasil foto yang lebih oke lagi. Saya kaget terpana dan mendadak speechless. Ternyata dia bisa bergerak!!! Saat kesadaran saya kembali dan mengucapkan "Thank you", sekilas saya melihat senyum tipis terulas di wajah penjaga istana itu, dan tanpa menglihkan pandangan matanya yang tegak lurus ke depan dia membalas, "You're welcome". Ternyata dia bisa bicara!!! Ya ampun mas penjaga istana, kamu sudah ganteng, baik hati dan ramah pula. Ikut aku ke Indonesia yuk ;)

Cheers...
(Photo courtesy of Felicity

Hufff.. Pergi kau bulu!!!
(Photo courtesy of Felicity

Whoaa... He's talking to me!!!
(Photo courtesy of Felicity

Beda lagi ceritanya saat saya bertandang ke Bangkok. Saya baru tahu kalau negara ini juga menganut sistem monarki konstitusional saat datang ke Grand Palace (saya sudah bilang kalau nilai Geografi saya jelek kan?). Setelah berkeliling kompleks Grand Palace yang besar dan mengagumi arsitekturnya yang luar biasa detail dan rumit saya menemukan sebuah kerumunan wisatawan. Usut punya usut ternyata mereka sedang antri foto dengan seorang penjaga istana yang berdiri pasrah dan mati-matian mempertahankan wajah seriusnya. Kalau mau foto dengan penjaga istana ini harus sabar antri karena peminatnya banyak banget. Saya sih seneng-seneng saja antri menunggu giliran, sambil bersyukur ternyata saya bisa menambah koleksi foto dengan penjaga istana lagi di sebuah negara monarki konstitusional. Lama-lama saya jadi kepo pengen datang ke negara monarki konstitusional lainnya di dunia ini demi bisa menikmati 'remeh-temeh' atraksi kerajaan sekaligus menambah koleksi foto dengan penjaga istana, hehe ;)

Mas mas, ini senjatanya tajem beneran nggak?
(Photo courtesy of @KniaSafitri) 

Penjaga istana di kompleks Grand Palace ternyata cukup banyak dan tersebar di beberapa titik. Saya bisa bebas berfoto sepuas mungkin tanpa harus antri atau merasa tidak enak dengan wisatawan lain yang menunggu giliran. Bukan bermaksud rasis, kalau saya perhatikan penjaga istana di Grand Palace ini kurang ganteng, hehehee... Hanya seragam yang mereka kenakan dan jabatannya sebagai penjaga istana membuat mereka nampak berkilauan dan menjadi sorotan oleh pengunjung. Mungkin karena saya juga datang dari negara Asia jadi sudah familiar dengan karakteristik ras Mongoloid sehingga saya tidak terlalu asing dengan penampilan fisik masyarakat dari negara tetangga di seputaran Asia lainnya, seperti rambut hitam, warna kulit coklat ataupun kuning, dan ukuran badan yang cenderung kecil dan pendek. Berbeda saat saya traveling ke Eropa yang didominasi oleh ras Kaukasoid, semua orang seperti terlihat lebih ganteng dan cantik berkat warna kulit pucat, warna kornea mata dan warna rambut yang lebih terang. Dengan penampilan ras Kaukasoid yang jarang saya temui di masyarakat sehari-hari, mereka terlihat begitu berkilauan di mata saya yang awam ini. Kalau ras Kaukasoid seperti ini ditambahkan dengan seragam penjaga istana tentu saja peringkat gantengnya jadi bertambah berkali-kali lipat :p

Setiap negara memang memiliki karakteristik dan keunikannya masing-masing. Hanya dari hal konyol yang berawal dari kenarsisan saya untuk mengabadikan diri bersama penjaga istana dari setiap negara monarki konstitusional yang dikunjungi saya mendapat pengalaman yang berbeda-beda. Di Stockholm saya dipelototin oleh penjaga istana saat berfoto sambil menginjak garis hitam yang melingkar di sekitar pos tempatnya berjaga. Diam-diam saya ingin merasakan hardikan penjaga istana, namun di saat yang bersamaan saya juga takut mendapat omelan keras darinya. Di negara serba mahal seperti Oslo saya mendapat keramahan luar biasa oleh penjaga istananya. Mereka seperti sadar betul kalau secara tidak langsung mereka menjadi salah satu aset dan jualan dari dunia pariwisata Oslo dan berusaha 'menjamu' wisatawan yang telah bertandang ke negaranya sebaik mungkin. Sedangkan di Bangkok penjaga istananya antara cuek dan rikuh dengan arus wisatawan yang ramai-ramai menghampiri sekaligus menggoda mereka saat berfoto bersama. Mereka seperti pasrah menjadi manekin hidup yang dipajang di halaman istana untuk melengkapi aura kemegahan kompleks Grand Palace. 

Dan semua pengalaman ini pada akhirnya hanya membuat saya semakin meneguhkan hati untuk terus dan terus mengunjungi negara lain yang masih menerapkan sistem pemerintahan kuno bernama monarki konstitusional.