Senin, 27 Oktober 2014

Java Soundsfair 2014

Tahun ini Java Production mengkreasikan satu festival musik baru yang mengkombinasikan genre pop, rock, R n B, urban, dan electronic dance sekaligus. Publik sempat mengira Java Soundsfair sebagai festival musik yang merupakan gabungan antara Java Rockin’ Land dan Java Soulnation, mengingat kedua event tahunan tersebut gagal diselenggarakan tahun ini. Namun Java Production dengan tegas menampik hal tersebut dan mengatakan Java Soundsfair merupakan festival musik yang berbeda dengan festival musik yang pernah ada sebelumnya. Apakah kedepannya Java Production akan menyelenggarakan empat festival musik (Java Jazz Festival, Java Rockin’ Land, Java Soulnation, Java Soundsfair) sekaligus setiap tahunnya? We will see.

Seperti festival musik yang digelar Java Production sebelumnya, Java Soundsfair juga menghadirkan puluhan artis dalam dan luar negeri untuk meramaikan acaranya. Java Soundsfair sendiri diadakan selama tiga hari berturut-turut dengan JCC sebagai venue yang dipilih kali ini. Dilihat dari line up artisnya, Java Soundsfair sepertinya dapat mewujudkan genre yang diusung sebagai tema dasar festival. Sebutlah MAGIC! yang beraliran reggae fusion, Sophie Ellis Bextor yang identik dengan lagu disko feminim nan ceria, belasan DJ yang namanya tidak familiar di telinga namun siap menghentak penonton dalam nada upbeat. Line up artis dalam negeri sendiri cukup mengejutkan dengan hadirnya Mocca dan Float yang sudah cukup lama vakum. 

Java Soundsfair dengan cerdasnya memasang artis-artis andalan dari beragam genre ke dalam tiga hari yang berbeda. Membuat saya kebingungan menjatuhkan pilihan, hari mana yang sebaiknya dihadiri. Pilihan akhirnya jatuh ke hari pertama festival dimulai. Alasannya simpel, karena di hari tersebut Sophie Ellis Bextor dan MAGIC! perform.

Hop On Hop Off Stage

Satu jam sebelum performance Sophie Eliis Bextor saya gunakan untuk keluar masuk beberapa stage berbeda. I called this as hop on hop off stage. Mampir ke beragam stage berbeda. Kalau betah saya akan menghabiskan waktu lebih lama disana, kalau bosan tinggal pindah ke stage lain. Inilah salah satu kelebihan festival gelaran Java Production, beberapa artis perform dalam waktu yang sama di panggung berbeda. Penonton tinggal memilih dan mengkobinasikan sendiri mau menonton yang mana.

Pilihan pertama, stage Cendrawasih 3 dimana CTS sedang perform. Whatever CTS means for, saya datang ke stage Cendrawasih 3 karena mayoritas semua DJ perform disana. Benar saja, saya langsung disambut lagu Kokoro No Tomo yang di-remix sedemikian rupa sehingga menghentak stage yang lebih mirip dengan dance floor. Penonton terlihat menikmati ramuan musik CTS dan menghentakkan badan mengikuti irama. Andai saja ada bar area, stage ini tak akan berbeda dengan tempat dugem. 

Dari panggung terlihat tiga orang mengenakan topeng dengan layar LED di bagian wajah. Layar LED menampilkan tiga gambar berbeda pada ketiga orangnya: lingkaran, segitiga, dan kotak. Belakangan saya baru tahu kalau CTS merupakan representasi dari ketiga bentuk tersebut dalam bahasa Inggris: Circle, Triangle, Shape. Ada perasaan aneh yang timbul saat melihat CTS. Dengan kostum serupa astonot dan kepala ditutup helm ber-LED, saya seperti melihat alien sedang ber-DJ. Aneh banget!

Dari stage Cendrawasih 3 saya pindah ke Plenary Hall yang menjadi main stage. RAN sedang perform disana. Walau termasuk artis andalan, namun penonton yang memadati Plenary Hall tidak membludak. Dengan mudah saya dapat menyelip ke baris tengah untuk memotret. Penampilan RAN sendiri cukup menyenangkan, mereka membawakan lagu andalan Pandangan Pertama dan Dekat di Hati sebagai dua lagu terakhir sebelum menutup acara. Mampu membuat seluruh penonton ikut bernyanyi bersama dan larut dalam suasana.

Gorgeous Tante Sophie

Selesai performance RAN stage akan dipakai untuk performance Sophie Ellis Bextor. Penonton yang memiliki niatan sama untuk mendapat front row memadati pintu masuk stage yang masih ditutup. Kompetisi lari dimulai saat pintu dibuka dan seluruh penonton berhamburan memasuki Plenary Hall. Belum pernah rasanya saya berlari secepat dan segragas itu demi mendapatkan front row. Perjuangan itu terbayar saat tante Sophie keluar dari back stage. Napas saya serasa tertahan dan berulang kali berucap ‘oh my God, oh my God’ berulang kali. Jarak saya dan tante Sophie tidak sampai 10 meter! Dari jarak sedekat itu, kecantikan tante Sophie yang anggun terlihat jelas.

Dengan standing mike tepat di tengah panggung beserta band pendukungnya, tante Sophie menyanyikan lagu pembukanya. Suara tante Sophie yang jernih mengalun menghipnotis seisi Plenary Hall. Tante Sophie kebanyakan membawakan lagu-lagu dari album barunya, Wanderlust, yang rilis tahun ini. Sayangnya saya, seperti mayoritas penonton lain, kurang familiar dengan lagu-lagu tersebut. Tidak enaknya menjadi penonton front row adalah saat lirikan maut tante Sophie menangkap basah saya beserta penonton lainnya tidak ikut bernyanyi bersamanya. Duh tante, pengen ikut nyanyi tapi saya nggak tau liriknya.





Thanks for looking to my camera, tante :*

Setelah menyanyikan beberapa lagu tante Sophie menyapa penonton dan berkata “why are guys so quite? Come on, sing along with me.” Namun setelah itu tante Sophie juga mengatakan dia maklum jika penonton tidak familiar dengan lagu-lagu yang dibawakan karena dia ingin memperkenalkan album barunya kepada penonton Indonesia. Tenang tante, walau lagunya baru pertama kali saya dengar tapi saya suka banget. Dan walau lagunya tidak familiar, seisi Plenary Hall ikut berdansa mengikuti irama musik tante Sophie yang menghentak.

Menurut tante Sophie albumnya kali ini berbeda dengan album sebelumnya. Jika di album sebelumnya dia lebih identik dengan nada-nada disko, di album kali ini dia ingin bercerita tentang khayalannya akan penyihir, rumah di puncak bukit, dan berbagai fantasi kanak-kanak. Sedikit bereksperimental menurut saya, dan eksperimental tersebut berhasil! Lagu Love is a Camera cukup merangkum ekperimental fantasi tante Sophie ke dalam aransemen lagu yang apik, menghentak dalam lirik yang penuh fantasi.

Setelah menyanyikan Love is a Camera tante Sophie melambaikan tangan dan masuk ke back stage. Suami tante Sophie, Richard Jones, yang malam itu berperan sebagai bassist mengambil alih jeda waktu tersebut dengan memainkan nada-nada yang semakin menghentak. Tak lama kemudian tante Sophie keluar back stage mengenakan dress hijau tipis minim menggantikan dress merah berornamen gambar khas kanak-kanak yang sebelumnya dia kenakan. Lirikan mata tante Sophie terlihat nakal dan dia mulai bergoyang menarikan irama disko. Lagu Take Me Home kemudian mengalun, membuat seisi Plenary Hall ikut bergoyang dan bernyanyi. Stage mulai memanas seiring dimainkannya lagu yang familiar di telinga penonton. Tante Sophie terlihat semakin bersemangat melihat reaksi penonton. Sepertinya lagu-lagu ini memang sengaja dimainkan dibelakang sebagai klimaks dari pertunjukan.




Lagu Murder on the Dancefloor dimainkan sebagai penutup pertunjukan malam itu. Hipnotis pesona tante Sophie masih terasa melekat hingga layar panggung menutup.

Sensual Performance, MAGIC!

Keluar dari Plenary Hall saya langsung mencari antrian masuk untuk performance MAGIC! Walau MAGIC! akan perform di Plenary Hall juga namun diperlukan tiket tambahan yang mengharuskan penonton untuk memverifikasi tiket mereka sebelum masuk stage. Antrian segera mengular begitu performance Sophie Ellis Bextor selesai. Beruntung saya termasuk orang yang mendapat antrian terdepan, hanya ada tujuh orang di depan antrian saya.

Sebenarnya jeda waktu antara performance Sophie Ellis Bextor dan MAGIC! berlangsung selama 1 jam 15 menit, bisa saya gunakan untuk hop on hop off stage kembali. Apalagi saat itu Tokyo Ska Paradise Orchestra sedang perform, dilihat dari layar televisi yang menampilkan live performance mereka tampaknya begitu seru dan menyenangkan. Namun ada harga yang harus dibayar untuk mendapat front row dan waktu 1 jam 15 menit itu rela saya habiskan dengan menanti pintu masuk Plenary Hall kembali dibuka.

Segera setelah pintu stage kembali dibuka, lalu menyelesaikan verifikasi tiket, kemudian berlari kencang bersaing dengan penonton lainnya, saya mendapatkan baris ketiga dengan posisi persis di tengah panggung. Untungnya tinggi badan saya masih lebih tinggi beberapa senti dibanding dua orang penonton di depan, saya jadi mendapat akses langsung ke tengah panggung tanpa terhalang penonton lain. Jika sebelumnya jarak saya dan tante Sophie tidak kurang dari 10 meter, kali ini jarak saya dengan Nasri tidak kurang dari 5 meter! Saya jadi lemes liat Nasri dari jarak sedekat itu.

MAGIC! membuka penampilan malam itu lewat lagu Stupid Me yang mendapat sambutan hangat dari penonton lalu disusul lagu Mama Didn’t Raise a Fool dan No Evil. Nasri cukup apik membawakan nada reggae dengan penampilan yang menggoda. Dia mampu menerjemahkan aliran reggae fushion yang diusung MAGIC! lewat aksi panggung yang sederhana namun memikat sekaligus sensual. Goyangan pinggul, lirikan mata nakal, dipadu nada reggae yang santai cukup membuat seisi Plenary Hall panas!

 Seductive Nasri :p




Tapi yang menyedot perhatian saya malam itu bukan Nasri, melainkan Ben yang memainkan bass. Setiap jeda lagu dan penonton riuh memberi tepuk tangan saya selalu menjeritkan nama Ben, berharap dia menoleh ke arah saya. Sama seperti harapan kebanyakan penonton wanita lain yang juga ramai-ramai meneriakkan nama Ben. Menurut saya, diantara semua anggota MAGIC! (Nasri, Mark, Ben, Alex), Ben adalah anggota yang paling good looking. Tampangnya seperti Orlando Bloom versi gondrong dan rebel. Gemesh! Nasri yang menyadari banyaknya penonton yang histeris meneriakkan nama Ben bertanya, “you’re so hysterical calling Ben, he wouldn’t care. Right, Ben?” yang hanya dijawab Ben dengan anggukan dan senyum cool. Penonton makin histeris memanggil nama Ben, Nasri sendiri sampai mengkomando seisi Plenary Hall untuk memanggil Ben, dan masih tidak ditanggapi oleh Ben. “See?” ucap Nasri menang.

Ben!!! Uwuwuwuwuw.... 


Mark (gitar) dan Alex (drum)

Lagu-lagu dari album pertama MAGIC! mengisi sisa malam yang semakin memanas. Jika Bob Marley masih hidup, dia pasti bangga dengan MAGIC! yang mampu meramu musik reggae menjadi berkali-kali lipat menyenangkan seperti ini. Lagu pamungkas Don’t Kill The Magic menciptakan satu koor massal di Plenary Hall. Sebelum Nasri menyanyikan lagu andalan mereka, Rude, dia sempat membahas meme yang banyak beredar di twitter. “Knock, knok. Who is that?” tanya Nasri. “So I’m Wahyu?” lanjutnya sambil tertawa.

Meme yang dibahas Nasri

Lagu Rude menutup penampilan MAGIC! malam itu. Meninggalkan penonton dengan kekecewaan akan waktu konser yang hanya 1 jam 15 menit. Antiklimaks banget, setelah dua lagu andalan MAGIC! kemudian konser selesai? Come on Java Soundsfair, this is not fair at all!

Another Hop On Hop Off Stage


Masih kecewa dengan antiklimaks dari performance MAGIC! saya kembali ke stage Cendrawasih 3. Malam masih muda, hentakan musik yang diciptakan Jakarta Techno Militia mungkin dapat memperbaiki mood. Di atas panggung terlihat beberapa orang yang sibuk dengan laptop, turntable dan beragam perlengkapan lainnya meramu musik yang mengentak dan memancing tubuh untuk ikut bergerak menikmati iramanya. Menyenangkan. Tapi lama-lama kok bosan juga ya. Jadilah saya pindah ke stage sebelah dimana Asian Dub Foundation sedang perform. Dan sebelum satu lagu selesai saya memutuskan untuk pulang saja. Nampaknya keriaan malam ini memang sudah harus ditutup. 


Catatan: karena gaptek pakai DSLR pinjeman, nggak sengaja saya malah men-delete foto-foto CTS dan RAN :(