Minggu, 21 April 2013

'Main Air' di Bangkok

Bertandang ke satu tempat yang sedang dilanda bencana alam tidak pernah mampir dalam pikiran saya. Apalagi untuk tujuan berlibur. Tapi yang namanya bencana alam kan tidak ada yang dapat memprediksi kapan akan terjadinya. Jika bencana alam kebetulan terjadi di tempat yang akan menjadi destinasi wisata kita, pilihannya adalah mau tetap melanjutkan rencana liburan atau membatalkannya.

Bencana banjir yang melanda Thailand di tahun 2011 bersamaan dengan tanggal liburan saya di negara Gajah Putih itu. Media massa menyebutkan banjir telah menelan korban jiwa dan menenggelamkan beberapa kota di Thailand, namun karena Bangkok yang menjadi destinasi utama liburan saya belum terkena dampak banjir akhirnya saya memutuskan untuk tetap nekat berangkat. Yah, pokoknya apapun yang akan terjadi dalam perjalanan nanti, good things or bad things, semuanya akan ikut saya kemas masuk ke dalam ransel. 

Dan kecemasan saya ternyata tidak beralasan. Bangkok kering ring ring ring. Dan panas nas nas nas. Serta pengap ngap ngap ngap. Gila, saya yang setiap hari sudah terbiasa dengan panas dan pengapnya Jakarta ternyata semaput juga menghadapi cuaca Bangkok dengan tingkat kelembapan yang tinggi. Siklus alam pun terjadi ketika sore menjelang, panas yang mendera sedari pagi berganti dengan hujan deras yang turun secara tiba-tiba. Breesshhh....!!! Deras dan terus menderas hingga mengurung saya dan puluhan turis lainnya di dalam kuil Wat Pho selama beberapa jam ke depan.

Sebuah kejutan kecil menanti saya dan turis lain ketika hujan berhenti. Kompleks Wat Pho yang lumayan luas itu tergenang air semata kaki. Bagaimana kami dapat lanjut mengeksplorasi tempat ini? Ah cuek, saya melepas sepatu, menggulung celana dan mencelupkan kaki ke dalam genangan air hujan. Hm, enak juga seperti ini. Paling tidak saya tidak perlu repot melepas dan memakai sepatu setiap akan keluar masuk kuil. Cara lain yang lebih simple untuk berkeliling kompleks tanpa perlu melepas sepatu dan tetap kering adalah digendong travel partner sendiri hingga mengundang tatapan iri pengunjung lain. Duh, melihat pemandangan seperti ini membuat saya berharap travel partner kali itu adalah cowok gebetan, bukan sahabat yang sebentar lagi akan menikah.

Banjir semata kaki di kompleks Wat Pho



Ain't that sweet :)
Photo courtesy of @kniasafitri

Photo courtesy of @kniasafitri

Keesokan harinya saya memutuskan untuk mengunjungi Vinmanmek Mansion dan Ananta Samakhom Throne Hall yang berada di Dusit. Rasanya mubazir jika tiket lanjutan gratis yang otomatis diperoleh jika kita mengunjungi Grand Palace itu tidak digunakan. Untuk perjalanan kali ini saya akan mencoba jalur air dengan menggunakan ferry yang menyusuri sungai Chao Praya. Dari tempat menginap di daerah Khao San Road saya tinggal berjalan kaki menuju dermaga Ta Thien, menumpang ferry kemudian turun di dermaga Thewet. Dari sana nanti tinggal lanjut jalan kaki mengikuti peta. (sepertinya) Mudah!

Dermaga Ta Thien adalah dermaga yang sibuk melayani perjalanan turis yang hendak menyeberang menuju Wat Arun. Dermaga kecil ini dibagi menjadi dua jalur, satu jalur menuju ferry reguler yang selalu tersedia untuk menyebrang ke Wat Arun sementara jalur satunya lagi menuju sebuah dermaga terapung dimana para penumpangnya berdiri untuk mengunggu ferry yang akan lewat untuk mengangkut penumpang. Tidak banyak turis yang mengambil jalur yang terakhir ini, hanya saya dan Nenes yang meniti jembatan kayu menuju dermaga terapung tersebut. Dan tadaaa... di tengah jalan titian kayu itu telah tenggelam oleh air sungai Chao Praya yang meluap.

Bangkok memang belum terkena banjir, namun dilihat dari arus sungai Chao Praya yang menggelegak dan cukup kuat sepertinya hal tersebut hanya tinggal menunggu waktu. Hujan yang terus turun dengan derasnya di kota ini membuat penduduk di pinggiran sungai Chao Praya mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk dengan membuat tanggul buatan dari pasir untuk menahan air sungai yang meluap. Saya menelan ludah kecut melihat kembali jembatan yang setengah tenggelam itu. Paling tidak saya harus merelakan kaki dan sepatu basah (lagi) demi mencapai dermaga terapung tersebut. Lalu bagaimana jika saya salah langkah hingga terperosok jatuh ke dalam sungai yang dalam itu? Hih, saya nggak bisa berenang!

Seorang petugas yang berjaga di dermaga terapung berteriak-teriak dan melambaikan tangannya ke arah kami, seolah berkata "tidak apa-apa, lewati saja jembatan kayu itu." Dan Nenes, travel partner saya yang biasanya paling ogah kotor-kotoran itu dengan gagah berani memimpin jalan menembus luapan air sungai yang menenggelamkan jembatan. Saya bengong mengedip tak percaya. Perjalanan terkadang memang membuat seseorang mengeluarkan bagian dirinya yang sama sekali berbeda. Nenes yang biasanya selalu saya lindungi dalam setiap perjalanan kami sekarang mengeluarkan sisi heroiknya dengan menuntun jalan saya menuju dermaga terapung. You rock, Nes!

Jalur yang terendam air sungai

Perhatikan tinggi air dan jembatan yang tenggelam

Selama menghabiskan waktu liburan di Bangkok sepertinya cuaca di kota itu memang sangat moody. Dari yang awalnya cerah dengan panas yang terasa mencekik tiba-tiba mendung lalu hujan dengan derasnya. Yah, saya memang tidak kebanjiran di Bangkok. Hanya lebih sering merelakan sepatu dan kaki ditelan air semata kaki. Hanya lebih sering kehujanan. Hanya lebih sering tertahan di satu tempat menanti hujan reda. Namun entah mengapa semuanya terasa tak jadi masalah. Mungkin karena semangat liburan sehingga saya lebih mentolerir semua hal buruk yang terjadi. Toh kalau bukan karena cuaca Bangkok yang seperti ini saya tidak akan bertelanjang kaki bermain air hujan sambil mengitari kompleks Wat Pho. Kalau bukan karena sungai yang meluap belum tentu saya sebegitu niatnya mencelupkan kaki di dalam sungai Chao Praya yang legendaris itu. See, liburan membuat saya memandang hal negatif menjadi lebih positif. Turning bad things into a good things.

Di malam terakhir saya di Bangkok lagi-lagi hujan tumpah dengan derasnya. Dari jendela kamar yang terletak di lantai 2 terlihat air hujan telah menggenangi teras belakang hostel. Ketika hujan reda saya dan Nenes memutuskan untuk menutup liburan kali ini dengan makan malam mewah di sebuah restoran India. Saat kami keluar hostel sebuah kejutan lain menanti, Khao San Road banjir setinggi betis!!! Para turis melipir ke tempat yang lebih tinggi sementara pedagang kaki lima panik menyelamatkan barang dagangannya dan pemilik kafe sibuk memasukkan kursi-kursi di teras ke dalam ruangan. Pantas saja di sekitar kawasan Khao San Road ini banyak terlihat karung pasir ditumpuk sebagai tanggul darurat, ternyata daerah ini pun tak luput dari ancaman banjir setelah hujan deras.




Ah, suasana ini mirip seperti Jakarta sehabis hujan deras melanda. Banjir dan semrawut. Namun tidak ada omelan yang keluar dari mulut saya, malah tawa geli melihat suasana chaotic ini. Well, I'm still in holiday.