Minggu, 08 November 2015

Japan Trip: An Intro

Oktober adalah bulan yang saya pilih untuk menyambangi Jepang untuk kali pertama. Alasannya sederhana, suhu Jepang sudah relatif bersabahat, tanpa badai yang acapkali melanda saat terjadi pergantian musim, ditambah harapan warna-warni musim gugur akan mulai bermunculan. Sayangnya perhitungan saya sedikit meleset, musim gugur baru akan benar-benar tiba di akhir Oktober dan awal November, sedangkan jadwal perjalanan saya adalah awal Oktober. Oh well, seperti kalimat andalan saya, “you can’t have everything you want,” paling tidak saya masih mendapat suhu yang relatif mild untuk melakukan perjalanan *menghibur hati* 

Untuk perjalanan ini saya memulai dari kota terbesar kedua di Jepang, Osaka, dan akan mengakhiri perjalanan di Tokyo. Open-jaw ticket, kebanyakan traveler menyebutnya. Dengan demikian saya tidak perlu menghabiskan waktu kembali ke Osaka untuk menempuh perjalanan pulang ke Jakarta nanti. Hemat waktu, uang, dan tenaga tentunya.  

Kebanyakan persiapan perjalanan di Jepang sudah saya siapkan dari Indonesia. Membuat itinerary dan estimasi biaya harian, juga mem-booking penginapan, tiket bus, dan tiket wisata secara online maupun lewat agen travel. Dengan persiapan seperti ini setibanya saya di Jepang nanti saya bisa langsung jalan mengikuti itinerary yang sudah dibuat, tidak perlu repot buka-buka buku panduan perjalanan lagi. Sedikit drama yang terjadi sebelum keberangkatan adalah kurs Dollar Amerika yang terus meroket, yang tentu saja berpengaruh juga pada nilai tukar Yen. Dengan kurs 1 Yen = 123 Rupiah, estimasi biaya yang saya buat jadi membengkak melebihi budget awal *nangis di pojokan*

Pengajuan visa saya lakukan satu bulan sebelum keberangkatan, yang mengejutkan adalah panjangnya antrian apply visa di Konsulat Jenderal Jepang di Jakarta. Animo masyarakat untuk traveling ke Jepang sepertinya sedang meningkat pesat. Untuk pengajuan visa Jepang, harap perhatikan domisili wilayah masing-masing karena pengajuan visa Jepang dibagi ke dalam beberapa wilayah yuridiksi berbeda. Misal, teman saya bekerja di Jakarta namun KTP-nya masih beralamat di Padang, maka dia harus mengurus visa di Konsulat Jenderal Jepang di Medan karena Padang masuk dalam wilayah yuridiksi Konsulat Jenderal Jepang di Medan. 

Menurut saya pribadi persyaratan visa Jepang tidak seribet visa Schengen, paling tidak saya merasa lebih PD saat pengajuan. Saya mengajukan visa kunjungan sementara untuk tujuan wisata dengan biaya sendiri. Dokumen yang diperlukan adalah:
1. Paspor
2. Formulir permohonan visa [download (PDF)] dan Pasfoto terbaru (ukuran 4,5 X 4,5 cm, diambil 6 bulan terakhir dan tanpa latar, bukan hasil editing, dan jelas/tidak buram)
3. Foto kopi KTP atau Surat Keterangan Domisili
4. Fotokopi Kartu Mahasiswa atau Surat Keterangan Belajar (hanya bila masih mahasiswa). Jika sudah bekerja dapat diganti dengan surat keterangan kerja.
5. Bukti pemesanan tiket (dokumen yang dapat membuktikan tanggal masuk-keluar Jepang)
6. Jadwal Perjalanan [download (DOC)] (rinci semua kegiatan sejak masuk hingga keluar Jepang)
7. Fotokopi dokumen yang bisa menunjukkan hubungan dengan pemohon, seperti kartu keluarga, akta lahir, dan lain sebagainya jika pemohon lebih dari satu
8. Dokumen yang berkenaan dengan biaya perjalanan. Bila pihak Pemohon yang bertanggung jawab atas biaya diperlukan fotokopi bukti keuangan, seperti rekening Koran atau buku tabungan tiga bulan terakhir (bila penanggung jawab biaya bukan pemohon seperti ayah/ibu, maka harus melampirkan dokumen yang dapat membuktikan hubungan dengan penanggung jawab biaya). Saran saya untuk bukti keuangan ini, paling tidak selama tiga bulan terakhir cash flow tabungan terbilang normal, tidak ada dana besar yang tiba-tiba masuk karena akan membuat curiga. Untuk nominal tabungan minimal yang mengendap, saya selalu melakukan perhitungan seperti ini: (Biaya hidup harian di Jepang X Lama tinggal di Jepang + Harga tiket pesawat) + 10% dari jumlah total perhitungan awal. 

Dokumen diatas harus disusun sesuai urutan dari nomor 1 – 8 sebelum diserahkan di loket. Biaya visa sebesar Rp 330.000 dibayar saat mengambil visa, visa dapat diambil dalam tiga hari kerja. Saat menyerahkan dokumen, petugas sama sekali tidak mewawancarai ataupun memeriksa dokumen saya. Dia hanya mengecek kelengkapan dokumen, memberi stempel lalu memberi saya tanda terima. Beberapan jam setelahnya saya mendapat telepon dari Konsulat Jenderal Jepang yang mengatakan dokumen saya tidak lengkap dan diharuskan kembali. Saya kembali ke Konsulat Jenderal Jepang sambil mengingat-ingat, rasanya semua dokumen sudah saya isi dan lengkapi. Di Konsulat Jenderal Jepang, ternyata saya belum memberi tanda contreng pada beberapa pernyataan di formulir pengajuan visa. Hhhh, hal kecil yang membuat saya jadi bolak-balik dan membuang waktu. Memang, saat pengajuan visa semua dokumen harus dicek dan diteliti kembali untuk menghindari buang-buang waktu dan tenaga seperti ini. 

Saya menggunakan Air Asia untuk penerbangan menuju Jepang dengan transit selama tiga jam di Kuala Lumpur. Harus diakui, saya cukup terkejut saat sampai di bandara KLIA 2. Sebuah bandara yang besar dan megah! Sunggup saya tak habis pikir bagaimana Tony Fernandes begitu serius menggarap Air Asia dan membangung KLIA 2 sebagai markas utamanya. Tiga jam di KLIA 2 saya habiskan untuk bekeliling singkat bandara dan menemukan spot-spot menyenangkan untuk menghabiskan waktu: movie room, kid zone, bahkan ada beberapa spot yang dikhususkan untuk tidur.

 Movie room

 Jadwal keberangkatan yang cukup padat

 Bisa santai-santai, tiduran, atau baby sitting disini




Penerbangan Kuala Lumpur – Kansai Osaka memakan waktu enam jam. Mengingat ini adalah penerbangan berbudget rendah, jangan harap mendapat fasilitas bantal, selimut, dan in-flight entertainment. Semua memang tersedia, namun dengan biaya tambahan. Jadi, siapkan bantal leher, selimut tipis/ sarung bali/ jaket untuk menghalau dingin, dan penuhi perangkat elektronik dengan film atau buku kesayangan. Make yourself as comfortable as you can. Walau demikian semua persiapan itu bagi saya akhirnya sia-sia. Tidak ada yang mampu membunuh rasa jenuh dan bosan selama berada di dalam pesawat. 

Enam jam mati gaya di pesawat sungguh bukan pengalaman menyenangkan. Saya buru-buru keluar pesawat dan menuju imigrasi setibanya di Kansai Airport. Proses imigrasi berjalan cepat dan efisien. Tidak ada pertanyaan aneh-aneh dan paspor saya mendapat cap dengan mulus. Melihat ke sekeliling, dengan orang-orang asing, bahasa asing, dan bentuk tulisan yang tidak familiar, am I already in Japan? Rasanya masih sulit untuk percaya bahwa saya sudah berada di Jepang. Sedikit gemetar saya membuka itinerary untuk mencari tempat salat, ada tiga prayer room di Kansai Airport: Gate 16 dan Gate 26 yang berada di area keberangkatan internasional, yang terakhir berada di lantai 3 persis di belakang UNIQLO. Ketiga prayer room ini berada di terminal 1. Masih jet lag dengan kondisi bandara, saya memutuskan ke prayer room yang berada di lantai tiga dengan asumsi akan lebih mudah ditemukan. Saat menuju lantai tiga, saya melihat di lantai dua bandara sudah banyak orang yang menempati bangku bandara untuk tempat bermalam. 

 Arah prayer room

 Bagian dalam prayer room. Hanya berisi sajadah sebagai perangkat salat

Tempat wudhu

Menjelang pukul 11 malam mayoritas semua toko di Kansai Airport sudah tutup. Suasana sepi dan sedikit gelap saat saya mencari prayer room. Letak prayer room sedikit terpencil, walau demikian ukurannya cukup luas dan nyaman. Selesai salat saya kembali ke lantai dua untuk mencari bangku kosong sebagai tempat bermalam. Sialnya, seluruh bangku di lantai dua sudah penuh terisi. Bermalam di Kansai Airport memang menjadi pilihan favorit kebanyakan orang. Saran saya jika berencana bermalam di Kansai Airport, secepat mungkin selesaikan urusan imigrasi dan bagasi, setelah itu segera cari tempat duduk yang nyaman untuk bermalam. Jika ingin ke toilet atau salat, titipkan tempat duduk kepada ‘tetangga sebelah,’ jangan lupa simpan ransel yang kira-kira aman untuk ditinggal di atas kursi agar kursi tidak terlihat kosong. 

Tidak memiliki pilihan lain akhirnya saya kembali ke prayer room untuk bermalam disana. Untungnya prayer room wanita dan pria dipisah, jadi masih nyaman untuk merebahkan diri di atas karpet. Beberapa orang terlihat sudah mengambil posisi untuk tidur. Dengan bermodalkan sajadah sebagai alas tambahan dan mukena sebagai lapisan tambahan penghalau dingin, saya melewatkan malam pertama di Jepang. Ah, what an intro to start my journey in Japan. 

Minggu, 01 November 2015

Blogging Because Sharing is Caring

Setelah sekian lama hiatus (dan tidak bisa memilih kalimat pembuka yang cukup baik), saya akan mengawali postingan ini dengan sebuah pertanyaan? Untuk apa kalian nge-blog? Pertanyaan yang cukup berat dan mendasar yang bahkan para blogger pun enggan untuk menjawabnya. Namun nyatanya pertanyaan ini mampu membangunkan saya dari tidur panjang. 

Saya pernah menyebut blogging sebagai passion. Hal yang bahkan tidak dibayar pun saya mau melakukannya. Hal yang saya bahagia melakukannya. Tapi ternyata kata sakti bernama passion juga dapat dipatahkan oleh dalih kesibukan. Tambahkan pula kata malas maka sehebat apapun sebuah passion, dia akan mati dengan mudahnya. 

Nyaris sepuluh bulan saya total hiatus. Bulan-bulan sebelumnya pun hanya sedikit sekali postingan yang saya muat dalam laman ini. Seorang teman pernah berkomentar, “Cha, jarang nge-blog tapi travel jalan terus.” Iya, saya memang melakukan banyak perjalanan, yang niatnya akan saya tuliskan di blog seperti biasa, namun niat itu hanya mengendap lalu akhirnya terlupakan. 

Sebut saya idealis, namun beberapa tahun belakangan ini saya ingin membuat catatan perjalanan yang lebih mengarah pada travelogue, bukan sekedar panduan perjalanan yang semata membagikan itinerary, rincian biaya, berbagai tips ‘how to…’ Saya ingin melakukan pendekatan personal, yang ternyata lebih menguras pikiran saat menuangkannya dalam bentuk tulisan sehingga saya tidak pernah puas dengan hasilnya. Saya berpikir terlalu rumit, terlalu mengejar kesempurnaan, terlalu ingin terlihat berbeda dengan travel blogger lain. Dan ujungnya malah tidak ada postingan sama sekali…

Saya pernah malu sekali saat seorang travel blogger mengirim email, “Cha, aku cari-cari tulisan kamu tentang Lombok di blog kok belum ada ya? Bisa minta link-nya? Aku mau ke Lombok akhir bulan ini.” Malu sekaligus sedih, karena saya hanya sekedar share foto-foto Lombok dalam social media dan blog tanpa ada tulisan sedikitpun. Padahal ternyata, tulisan itu akan dapat membantu blogger lainnya. Pada akhirnya, saya meminta maaf dan mengirimkan itinerary serta beberapa pengalaman serta tips di Lombok lewat email. 

Dari kejadian itu seharusnya saya sadar, beberapa travel blogger yang mengetahui record perjalanan saya dari social media ternyata masih mengandalkan saya dalam mencari informasi. Seharusnya ini melecut saya untuk kembali menulis dan berbagi, namun nyatanya saya masih tetap tenggelam dalam hiatus panjang. 

Salah satu kejadian yang cukup menampar saya terjadi di Osaka, Jepang beberapa waktu yang lalu. Salah seorang roommate saya ternyata orang Indonesia yang juga solo traveling. Kami berbicara banyak tentang rencana selama di Jepang dan dia mengatakan betapa terbantunya dia saat menyusun itinerary dari tulisan para blogger. Kata saya, “pasti kamu baca blognya mbak Vicky ya,” karena tulisan si mbak ini memang super detail dan saya pun banyak terbantu olehnya. Ucapan saya di-iya-kan oleh dia, dan dibalas oleh pertanyaan, “kenal mbak Vicky darimana?” Dari blog, tentu saja. Dengan mudah dia menyimpulkan, “oh, travel blogger juga ya? Nama blognya apa? Nanti aku mampir ya.”

Saya tertegun sebelum menjawab, “Merry go Round, tapi udah lama hiatus…”

Malu. Sedih. Merasa menyia-nyiakan sekian pengalaman yang seharusnya bisa saya bagi pada orang lain. 

Beranjak ke Kyoto, di tempat saya menginap ternyata banyak sekali orang Indonesia. Usut punya usut, tempat saya menginap mendapat banyak review positif dari travel blogger Indonesia sehingga mereka memutuskan untuk menginap disana. Beberapa nama travel blogger yang disebutkan pun tidak asing di telinga saya. 

Terakhir, dalam pesawat pulang dari Tokyo menuju Kuala Lumpur. Penumpang sebelah saya, seorang ibu-ibu yang duduk terpisah dari rombongannya senang sekali bertukar cerita selama di Jepang. “Kami jalan sendiri, nggak pakai tur jadi lebih bebas. Itinerary-nya dari hasil baca-baca blog orang-orang yang pernah ke Jepang. Kamu suka travel begini juga pasti nge-blog juga ya?” tembaknya langsung. 

Lagi-lagi saya merasa tertampar. “Iya, nge-blog, tapi udah lama nggak nulis,” aku saya.

“Wah, nulis dong, itu ngebantu orang-orang awam seperti saya loh.” Kemudian dia meminta alamat blog saya dan saya pun berjanji akan menulis lagi. 

Kembali lagi pada pertanyaan saya di atas. Beberapa orang nge-blog karena passion, idealisme, uang, imbalan, kuis, lomba, event, sebagai buzzer, materi bukunya kelak, pamer, narsis, bentuk eksistensi diri, dan beribu motif lain yang dapat dijadikan alasan. Apapun maksud mereka menulis di blog, toh pada akhirnya tulisan itu akan menemukan ‘fungsinya’ sendiri. Saat saya akan membeli make up, tak jarang saya membaca review dari pada beauty blogger yang mengerti benar produk yang mereka bahas. Ketika saya ingin mencoba kuliner di suatu daerah, saya merujuk pada tulisan para food blogger. Dan saat akan melakukan perjalanan, saya membaca pengalaman travel blogger. Tanpa disadari, tulisan yang dibuat para blogger ini sebenarnya sangat membantu manusia awam seperti saya. 

Jadi, berhentilah berpikir terlalu rumit,berhenti mengejar kesempurnaan, berhenti berusaha terlihat berbeda dengan travel blogger lain. Kembali pada motif dasar: menulis untuk berbagi, karena sharing is caring. Menulis, membagi cerita kepada dunia, apapun latar belakang yang mendasarinya. Sharing is caring. Kalian tidak akan pernah tau bagaimana tulisan yang ter-publish di laman internet akan membantu orang lain. Sharing is caring, karena itu saya kembali menulis.