Minggu, 25 Januari 2015

You Can't Have Everything You Want

"Best time to visit (nama kota atau negara yang akan dikunjungi)" adalah keyword utama saya di mesin pencarian Google sebelum memutuskan membeli tiket pesawat. Timing memang memegang peranan utama ketika saya merencanakan sebuah perjalanan. 

Saya belajar dari pengalaman. Dulu, waktu saya menjadi seorang pejalan amatir, dengan percaya diri saya mengemas celana pendek, kaus, dan beberapa mini dress saat akan berangkat ke Macau. Tidak terbersit sedikitpun untuk mengecek cuaca di Macau di awal Desember sebelum berangkat. Hasilnya? Hujan rintik, angin kencang, dan suhu drop di bawah angka 20 derajat celcius menyambut begitu saya keluar pesawat. Mamam tuh dingin. Selama tiga hari liburan. Mana sama sekali nggak bawa baju hangat lagi. 

Semenjak kejadian 'liburan-sampai-hampir-mati-kedinginan-di-Macau' saya jadi riwil dengan masalah timing ketika akan berangkat ke Skandinavia. Tanya punya tanya, cuaca di Skandinavia itu moody minta ampun. Bahkan teman saya yang tinggal di Oslo bilang salju masih sesekali turun saat musim semi dan suhu bisa anjlok di bawah 10 derajat celcius. Yah, cuaca memang tidak bisa diakali, tapi waktu perjalanan bisa disiasati. Jadilah saya berangkat ke Skandinavia di awal bulan Juni. Masa ketika musim semi berakhir dan musim panas baru dimulai. Tapi itu pun saya tidak berharap banyak dengan matahari musim panas Skandinavia. Musim panas di Skandinavia termasuk musim panas abal-abal. Bagaimana bisa suhu 23 derajat celcius dikatakan panas untuk seseorang yang datang dari negara tropis. Pengennya sih menyambangi Skandinavia saat puncak musim panas dimana suhu menjadi lebih bersahabat dan sederet festival menunggu giliran tampil. Yang terpaksa menjadi angan-angan belaka saat mengingat membludaknya turis dari berbagai pelosok diikuti dengan naiknya harga penginapan ketika musim panas mencapai puncaknya. 

Tahun 2015 ini saya kembali dibayangi pertanyaan yang sama: best time to visit Japan. Pilihan saya jatuh pada musim gugur yang menjadi waktu terbaik kedua setelah musim semi. Walau tidak dapat melihat keindahan bunga sakura saat musim semi, musim gugur menawarkan warna-warni alam yang tidak kalah cantik. Masalahnya adalah, kemungkinan terjadinya topan yang mengawali datangnya musim gugur. Oktober akhirnya menjadi waktu pilihan dengan pertimbangan angin topan sudah mereda dan suhu belum terlalu dingin. Namun ternyata saya melewatkan satu poin penting disini. Warna-warni musim gugur baru akan mulai tampak di awal November! Mati-matian saya googling warna musim gugur di bulan Oktober dan yang terlihat hanya warna hijau blas. Tanpa ada warna kuning atau merah pepohonan khas musim gugur. Fix salah pilih waktu, sodara-sodara...

Togetsukyo Bridge in autumn 
Photo courtesy: Japan-guide.com

Sedih sih. Yang membuat musim gugur di Jepang itu menarik kan, warna-warni musim gugurnya. Dan bisa dipastikan warna-warni tersebut belum akan nampak saat saya kesana. Tapi saya ingat satu petuah bijak: you can't have everything you want. Mau lihat warna-warni musim gugur tapi nggak kuat dingin, ya nggak bisa. Saya harus memilih, dan untuk hal ini saya lebih memilih cuaca hangat. Mau jalan-jalan ke Eropa murah tapi nggak mau unyel-unyelan? Ya berangkat sewaktu musim semi baru berakhir dengan konsekuensi cuaca masih lumayan dingin. Kalau mau dapat semua ya harus siap-siap keluar budget lebih. As simple as that. You just can't have everything you want, darling.


Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi yang diadakan di blog pergidulu.

Minggu, 11 Januari 2015

Satu Senja di Anyer

Entah kesambet hantu darimana, Exort tiba-tiba menghubungi saya hari Jumat pagi. Pesannya singkat saja, "Ros, Sabtu ada acara nggak?" Pesan singkat tersebut berlanjut menjadi sebuah percakapan, dan percakapan berlanjut menjadi sebuah ajakan super mendadak: ke Anyer Sabtu sore karena Exort sedang free nggak ada kerjaan. 

Iya, Exort adalah salah satu teman blogger saya semenjak saya masih awal banget nge-blog. Dan semenjak perkenalan pertama saya sudah tahu persis kalau manusia ini sibuknya bukan main. Jadi agak ajaib kalau Exort tiba-tiba mengajak saya jalan-jalan duluan. Lebih ajaib lagi karena dia juga sudah mengajak Mila, yang seringkali mengalami on-off-friendship dengan Exort, untuk bergabung bersama. 

Jadilah Sabtu siang itu kami bertiga meluncur menuju Anyer hanya demi melihat sunset. Sungguh rencana yang absurb, Jakarta - Anyer tidaklah dekat, paling tidak menghabiskan waktu 6 jam untuk pulang-pergi kesana. Hanya demi sebuah sunset. Saya cuma kasian sama Mila yang nyetir pulang-pergi sendirian karena saya dan Exort nggak bisa nyetir. 

Lokasi pertama yang kami tuju adalah sebuah mercusuar di Anyer. Disana Exort mulai sibuk motret, Mila melipir ngopi sambil baca buku, saya cuma jalan-jalan santai nemenin Exort motret. Sama sekali nggak tertarik ikutan motret, padahal saya bawa kamera lengkap dengan tripod-nya. Bosan dengan mercusuar, kami melipir lagi mencari pantai yang cukup nyaman untuk melihat sunset. Ah ya, yang menyebalkan dari Anyer adalah harga parkir kendaraannya yang sangat mahal. Sekali masuk dan parkir biayanya antara Rp 25.000 - Rp 50.000

Mercusuar

Nyebur... Jangan... Nyebur... Jangan...

Di lokasi yang kedua ini terdapat sebuah resort tepi pantai yang tampaknya sudah tidak laku dan tidak disewakan lagi. Pantainya sendiri lumayan untuk duduk-duduk santai menikmati suasana. Exort lagi-lagi sibuk memotret dan Mila asik memainkan ukulelenya. Saya bengong memikirkan malam minggu yang dihabiskan dengan dua manusia absurb ini. 

Setelah puas memotret pemandangan, yang memang menjadi kesukaan Exort, dia memotret saya dan Mila. Dari foto-foto yang awalnya manis dan ceria, menjadi foto ajaib dengan berbagai pose aneh. 

Foto tepi pantai

Pose loncat-loncat

Kata Mila, caption untuk foto ini adalah: menanti jodoh datang dari balik gunung Krakatau :)))

Pose ala model kalender

Pose yoga

Pose melankolis memandang sunset

Pose berantem

Tiba-tiba kayang

Jujur, saya juga heran, kok mau-maunya saya pose seperti itu. But that was fun :)

Dan seperti yang selalu saya katakan jika kopdaran dengan Mila dan atau Exort, selalu menyenangkan menghabiskan waktu yang berakhir dengan kejadian absurb seperti ini bersama mereka. 

Exort akhirnya muncul di akhir foto :)

All photos credit belongs to Exort.

Minggu, 04 Januari 2015

Kemana di Jakarta?

Setiap ada teman jauh dari luar kota bertandang ke Jakarta, saya selalu bertanya kepada mereka: "mau kemana di Jakarta?" Tamu yang ditanya pun jawabannya standar, mau main ke Dufan atau belanja keliling mall sampai tabungan dan kartu kredit pendarahan. Tapi, sebagai teman yang baik dan merasa berkewajiban menemani mereka jalan-jalan, saya tidak ingin waktu yang mereka habiskan di Jakarta hanya terbuang percuma di Dufan dan mall. Saya ingin memperlihatkan tempat-tempat menarik di Jakarta yang belum pernah mereka sambangi sebelumnya. Bahkan kalau bisa, tempat-tempat unik di Jakarta yang tidak ada di daerah lain.

Berikut adalah beberapa pilihan saya, mungkin dapat dijadikan ide ketika menjamu teman-teman dari luar kota yang kebetulan mampir ke Jakarta. 

1. Wisata Kota Tua
Jelajah Kota Tua akan terdengar terlalu mainstream, namun tidak dapat dipungkiri tempat wisata ini tetap menjadi favorit, bahkan untuk warga Jabodetabek sekalipun. Apa yang menyenangkan dari Kota Tua? Tentu saja ambiance-nya yang seakan 'melemparkan' pengunjungnya ke masa-masa sebelum kemerdekaan. Ambil museum Fatahillah sebagai awal, berlanjut ke museum Bank Mandiri, museum Bank Indonesia, museum Wayang, museum Seni Rupa dan Keramik. Kelima museum ini masih berada dalam satu kawasan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Bukan tipe museum person? Tempat-tempat tersebut tetap menyenangkan untuk dikunjungi karena menempati bangunan lama. Untuk teman yang hobinya difoto, tempat ini adalah lokasi yang sangat cocok.

Refleksi di salah satu jendela museum Bank Mandiri

Pengunjung museum Bank Mandiri

Bosan dengan museum, di halaman museum Fatahillah bertebaran tukang jajanan kaki lima. Beberapa diantaranya menjual makanan tempo dulu yang sudah sulit ditemui sekarang. Sebutlah es lilin yang menjadi camilan favorit saya saat SD. Selain itu terdapat penyewaan sepeda ontel lengkap dengan topi lebar ala Victorian untuk mengelilingi kawasan Kota Tua.  

Jika berkunjung ke Kota Tua, bersiaplah dengan cuaca panas yang cukup terik. Selain itu kunjungan wisata di Kota Tua cenderung tinggi, ditambah lagi beberapa sekolah tak jarang melakukan study tour yang semakin membuat padat pengunjung.

Postingan saya tentang museum Kota Tua Jakarta dapat dilihat disini.

2. Monas
Saya adalah salah satu warga Jabodetabek yang belum pernah naik ke puncak Monas. Saya juga belum pernah bertandang lagi ke Monas setelah masa kanak-kanak lewat, padahal rute bus TransJakarta yang saya tumpangi selalu melewati tugu legendaris yang menjadi trademark Jakarta ini. Setelah sekian lama tidak menyambangi Monas, akhirnya saya menjejakkan kaki kembali ke tempat itu karena JIFFest open air cinema diputar disana. Setelah menonton JIFFest dan iseng mengelilingi Monas, ternyata ada event lain yang sedang berlangsung. Kalau tidak salah ajang lomba Folk Dance International yang diikuti berbagai negara. Lumayan banget, bisa nonton tari tradisional dari negara antah berantah yang jauh dari Indonesia. 

Monas juga sangat ramai! Beragam tukang jualan kaki lima tumplek-blek disana. Yang mencuri perhatian saya justru seniman jalanan yang berdandan seperti hantu dan hanya diam di jalanan yang ramai, pengunjung yang ingin berfoto dan atau berinteraksi dengan hantu ini harus membayar ke dalam tempat sampah yang terletak di depan sang hantu. Gaya seniman jalanan masa kini yang mengingatkan akan kunjungan saya saat menyusuri beberapa jalan terkenal di Eropa.

Monas malam hari.

Saat malam hari tugu Monas akan disinari lampu yang akan berubah warna. Membuat tugu tersebut terlihat semakin megah sekaligus anggun. Saat itulah saya menyadari, Monas terlihat sangat cantik juga menarik. Wisata kota murah meriah yang menyenangkan. Dan siapa tahu, saat mengajak teman main ke Monas akan ada event menarik lainnya yang sedang berlangsung disana. 

3. Istana Merdeka
Setiap melihat upacara kemerdekaan Istana Merdeka di TV, saya selalu penasaran ingin masuk ke dalamnya. Saya memasukkan Istana Merdeka ke dalam list ini karena ternyata Istana Merdeka membuka kunjungan untuk masyarakat umum. Setiap hari Sabtu dan Minggu masyarakat umum dapat bertandang ke Istana Merdeka tanpa harus mengajukan surat ijin kunjungan sebelumnya. Untuk bertandang ke Istana Merdeka, pengunjung masuk melalui gerbang Sekretariat Negara (dari halte busway Harmoni jalan sedikit ke arah Monas). 

Persyaratan utama pengunjung Istana Merdeka adalah membawa kartu identitas asli dan berpakaian sopan (tidak diperkenankan memakai celana jeans, celana pendek, rok di atas lutut, dan sendal). Semua barang bawaan HARUS dititipkan, jadi tidak perlu repot membawa kamera DSLR profesional berukuran besar. Satu-satunya foto kenang-kenangan saat mengunjungi Istana Merdeka adalah foto bersama di pelataran Istana Merdeka, setelah kunjungan selesai foto dapat dicetak dengan harga Rp 10.000 per lembar.

Foto ala menteri yang baru dilantik. Saya ada dimana?

Tur akan membawa pengunjung memasuki Istana Merdeka dan melongok ruangan-ruangan tempat menjamu tamu kenegaraan dari negara tetangga, tempat rapat, sampai ruangan besar tempat Presiden menyampaikan pidato kenegaraan yang disiarkan di TV lokal. Saat saya kesana, ruangan besar memanjang di tengah istana dipenuhi oleh foto-foto jepretan karya Ibu Ani Yudhoyono.

Notes: 
- Saat saya mengunjungi Istana Negara jumlah kunjungan sedang membludak dan sangat padat. Satu guide mengawal sedikitnya 50 orang. Ada baiknya sabar menunggu sampai tidak terlalu padat agar penjelasan guide tentang sejarah Istana Merdeka dan Istana Negara terdengar jelas, juga agar foto bersama di pelararan Istana Merdeka tidak terlampau padat.  
- Disarankan memakai batik saat mengunjugi Istana Merdeka

Persyaratan pengunjung istana

Alur mengunjungi Istana Merdeka dapat dilihat disini. 

4. Mencoba Moda Transportasi Umum
Karena dalam kesehariaannya saya adalah komuter yang bolak-balik Bogor - Jakarta untuk bekerja, saya ingin teman-teman luar kota juga merasakan sensasi berkomuter menggunakan transportasi umum. Teman-teman yang menginap di Bogor berkesempatan mencoba kereta Commuter Line. Sekarang wajah perkeretaapian Jabodetabek sudah sangat berbeda. Tidak ada lagi kereta ekonomi, tidak ada penumpang yang bergelantungan di atap kereta, tidak ada penjual asongan di dalam kereta. Semua kereta sekarang ber-AC dengan sistem tiket elektronik. 

Setelah mencoba CommuterLine, lanjut menggunakan busway. Sistem pembayaran tiket busway juga sekarang sudah menggunakan 'uang elektronik' dengan media kartu, seperti Flazz BCA, E Money Mandiri, Brizzi BRI, dan lainnya. 

Menggunakan transportasi umum bagi saya adalah salah satu cara untuk mengenalkan seseorang pada sebuah kota melalui perspektif masyarakat lokal. 

5. Teknologi 4DX
Indonesia akhirnya memiliki bioskop dengan teknologi 4DX. Kelebihan menonton 4DX adalah kursi yang sedang diduduki ikut bergerak sesuai dengan adegan film yang sedang diputar, kurang lebih sensasinya sama seperti wahana teater simulator di Dufan. Tidak hanya itu, semua panca indra ikut dilibatkan selama pemutaran film, mulai dari wangi-wangian yang ikut tercium, angin yang berhembus, cipratan air, sampai pukulan-pukulan yang diterima oleh tokoh yang sedang bertarung. Bahkan asap dan sinar yang mencekam turut menyertai pemutaran film. Semua inovasi ini membuat penonton seolah ikut 'masuk' ke dalam film. 

4DX. I'm in the movie.

4DX dapat dinikmati di bioskop jaringan Blitzmegaplex. Untuk saat ini, bioskop yang memutar tayangan 4DX adalah Blitzmegaplex Grand Indonesia (Jakarta), Blitzmegaplex Mall of Indonesia (Jakarta), Blitzmegaplex Central Park (Jakarta), dan Blitzmegaplex Paris Van Java (Bandung).

6. Planetarium

Planetarium TIM. 

Jakarta punya planetarium. Ini cukup mengobati rasa kangen warga Jakarta yang sudah tidak dapat melihat bintang karena polusi cahaya yang sudah terlampau parah. Terletak di Taman Ismail Marzuki, Cikini, planetarium ini termasuk yang tertua di Indonesia. Sudah lama saya penasaran dengan planetarium di TIM karena seperti mati suri. Beritanya pun simpang siur, ada yang mengatakan sudah tutup, ada lagi yang mengatakan hanya buka di waktu tertentu. Waktu teman dari Malang datang ke Jakarta iseng-iseng saya ajak ke planetarium, ternyata planerariumnya masih beroperasi dan sama sekali tidak mati suri! Berikut jadwalnya:

Selasa - Kamis : 09.30 - 10.30, 11.00 - 12.00, 13.30 - 14.30, dan 16.30 - 17.30
Jum'at : 9.30 - 10.30, 13.30 - 14.30 dan 16.30 - 17.30
Sabtu - Minggu : 10.00 - 11.00, 11.30 - 12.30, 13.00 - 14.00, dan 14.30 - 15.30
Libur Nasional : Tutup
Senin : TUTUP untuk pemeliharaan

Harga tiketnya juga murah banget, Rp 7.000 untuk dewasa dan Rp 3.500 untuk anak-anak. Planetarium cukup ramai oleh orang tua yang mengajak anak-anaknya. Pilihan wisata edukatif yang murah muriah. Bagian dalam planetarium tempat pertunjukan berlangsung didesain seperti bioskop dengan kursi-kursi nyaman yang dapat diset dalam posisi miring nyaris tiduran. Pendingin ruangan bekerja maksimal memberi oase dari panas terik Jakarta di luar. Pertunjukan dimulai dan lampu digelapkan dan pengunjung dengan bodohnya mengeluarkan gadget serta kamera untuk memotret bintang yang mulai bermunculan di langit kubah. Ah, inilah penyebab utama bintang menghilang dari langit Jakarta.

Kubah planterium. 

Di luar semua gangguan tersebut, pertunjukan yang berlangsung selama satu jam cukup membuat terkesima akan keindahan benda langit dan rasi bintang. Tidak hanya anak kecil, orang dewasa pun akan terpesona oleh keagungan Tuhan dalam melukis langit-Nya. 

7. Car Free Day
Rasanya sekarang car free day sudah jamak dilakukan di banyak kota di Indonesia. Tetap saja, saya merekomendasikan untuk mencoba car free day di Jakarta. Bayangkan, jalan protokol Jakarta, dari Sudirman hingga Thamrin, yang biasanya padat kendaraan dan selalu macet itu menjadi kosong. Hanya ada warga Jakarta yang lari pagi, jalan santai, atau bersepeda dengan busway yang sesekali lewat. Rasanya Jakarta legaaa banget. Udara yang biasanya penuh polusi lumayan terasa segar. Jakarta yang lebih kejam dari ibu tiri itu sedikit melunak saat minggu pagi tiba.

Bebas sepedaan di jalan protokol

Tidak hanya berolahraga, car free day juga sering dijadikan ajang untuk promosi produk makanan atau minuman (lumayan dapet free sample), stasiun radio siaran langsung dari depan menara BCA (lumayan liat performance artis yang diundang live), sampai beragam off air event yang jamak digelar.

Postingan saya tentang car free day Jakarta dapat dilihat disini dan disini.

8. Pasar Santa
Pasar yang satu ini lagi nge-hits banget di kalangan anak-anak Jakarta. Lucu bukan, anak gaul Jakarta yang nge-hits abis mainnya ke pasar. Tentu ada magnet tersendiri yang membuat mereka mau datang ke pasar sehingga Pasar Santa ramai diperbincangkan di social media.

Awalnya Pasar Santa tidak berbeda dengan pasar tradisional pada umumnya. Kini pasar tersebut bertransformasi menjadi tempat 'agata' (anak gaul Jakarta) berkumpul. Yang menghidupkan pasar ini adalah gerai kopi A Bunch of Caffeine Dealer (ABCD). Awalnya pemilik kedai membutuhkan tempat untuk berlatih meramu kopi bersama rekan-rekannya. Harga sewa yang murah menjadi alasan utama mereka menyewa tempat di Pasar Santa. Menilik dari harga sewanya yang murah, pengusaha muda lainnya ikut mencoba peruntungan dengan membuka kedai di Pasar Santa. Hasilnya, Pasar Santa bertransformasi menjadi tempat individu kreatif menyalurkan passion-nya dan tempat nongkrong kaum urban Jakarta.

Yang mencuri perhatian dari Pasar Santa, selain lokasi uniknya yang berada di pasar, adalah kreatifitas desain yang digunakan dalam setiap kedai. Menyenangkan untuk menyusuri lorong-lorong pasar dan menemui desain yang unik dan berbeda.

Masakan Meksiko. 

Ngantriiii... 

Beyond Cendol and Duren Bar. Antriannya bikin ngelus kaki. 

Jika berminat mengunjungi Pasar Santa, ada baiknya memperhatikan hal berikut:
- Kebanyakan pemilik kios adalah pekerja kantoran yang menjadikan kios di Pasar Santa sebagai usaha sampingan sehingga kebanyakan hanya membuka kiosnya di hari Jumat malam, Sabtu. dan Minggu.
- Pasar Santa sengaja tidak memasang AC untuk menciptakan suasana pasar yang sebenarnya. Gunakan pakaian yang nyaman dan menyerap keringat. Bawa ikat atau jepit rambut untuk mengurangi hawa gerah. Lebih baik datang menjelang sore saat matahari sudah tidak terlalu terik.
- Jumlah pengunjung yang ramai membuat antrian di berbagai kios, terutama kios favorit, menjadi sangat panjang. Gunakan sepatu atau sendal yang nyaman.
- Ada baiknya datang beramai-ramai dengan teman lain. Selain bisa gantian antri, juga bisa mencicipi lebih banyak makanan di Pasar Santa. Caranya gampang saja, satu porsi menu dimakan beramai-ramai :)
- Bawa uang tunai untuk memudahkan transaksi pembayaran.

9. Main Ke Pusat Kebudayaan
Di Jakarta tidak sedikit kedutaan luar negeri yang membuka pusat kebudayaan. Sebut saja Erasmus Huis sebagai pusat kebudayaan Belanda, Goethe Huis sebagai pusat kebudayaan Jerman, dan Atamerica yang menjadi pusat kebudayaan America. Pusat kebudayaan ini memiliki agenda acara mingguan dan bulanan yang menarik untuk diikuti. Misalnya acara nonton bareng,  pameran fotografi, sampai mini concert. Agenda acara dapat dicek di website masing-masing pusat kebudayaan.

Selain agenda acara, venue pusat kebudayaan ini tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Erasmus Huis misalnya, bertempat di belakang kedutaan Belanda dan berkonsep taman terbuka minimalis yang nyaman. Atamerica dilengkapi teknologi canggih berupa Google Earth Simulator berukuran super besar.

Sekian list favorit pilihan saya untuk menjamu teman dari luar kota. Kalau ada masukan tempat lain yang seru dan unik, silahkan tulis di kolom komentar ya. 

Kamis, 01 Januari 2015

Berpindah

Tahun 2014 kemarin keluarga saya mengambil satu keputusan besar: pindah rumah. Sebenarnya sudah lama kami ingin pindah rumah tapi kendala demi kendala selalu datang dan menghambat rencana besar tersebut. Saya dan mama adalah dua orang yang sudah masuk dalam kategori 'desperately' ingin pindah rumah. Daerah rumah lama kami memang sudah tidak nyaman lagi untuk menjadi tempat tinggal. Lahan industri telah mengekspansi lahan hunian, truk-truk besar semakin sering lewat, dan macet panjang ikut menjadi rutinitas harian. Saya yang jenuh dengan suasana tersebut malah sempat mengambil satu keputusan ekstrim: pindah ke rumah nenek di Bogor dan hanya pulang ke rumah saat akhir pekan.

Di tahun 2013 papa pensiun dari pekerjaannya. Sebagian uang pensiunnya beliau gunakan untuk membeli rumah di daerah Cibinong. Rumah baru ini berada di kawasan hunian yang mayoritas adalah perumahan. Akses kereta, jalan tol, pusat perbelanjaan dapat dicapai dengan mudah dari tempat tersebut. Benar-benar sebuah rumah di lokasi impian, berbeda 180 derajat dengan kondisi lingkungan rumah kami yang dulu. Masalahnya adalah, adik dan papa saya tidak mau pindah dari rumah lama sebelum rumah lama terjual. 

Keluarga saya pun terpecah. Saya tetap tinggal di Bogor dan hanya pulang saat akhir pekan, mama membagi waktunya dalam seminggu: empat hari di rumah lama, tiga hari di rumah baru, papa yang mendapat pekerjaan baru setelah pensiun tinggal di Karawang selama hari kerja dan hanya pulang saat hari libur, sedangkan adik saya tetap tinggal di rumah lama. Keadaan ini berjalan beberapa waktu hingga akhirnya saya dan mama saling memberi tenggat pada diri masing-masing: setelah lebaran Idul Fitri tahun 2014, kami akan pindah dan menetap di rumah baru. 

Di luar dugaan, pekerjaan baru papa hanya bertahan selama satu tahun dan beliau memutuskan pensiun total. Maka penghuni rumah baru pun bertambah satu orang lagi sementara adik saya yang keras kepala tetap kekeuh tinggal di rumah lama. Dia tidak mau pindah sebelum rumah lama terjual! Hati mama terbelah dua, anaknya yang satu masih tinggal di rumah lama dan yang satu lagi tinggal di rumah baru. Maka mama pun berkunjung ke rumah lama sesering yang dia bisa. Sering mama bercerita kesedihan hatinya melihat kondisi rumah dan adik saya yang tidak terurus. Bagaimanapun, mengurus dua rumah di dua lokasi berbeda yang berjauhan adalah sebuah pekerjaan berat. Hingga akhirnya mama sakit dan nyaris dirawat di rumah sakit. 

Kondisi mama yang sakit dan kami sekeluarga tahu persis apa penyebabnya membuat kami merancang ulang rencana yang telah dibuat. Rumah lama harus segera dijual dan kami sekeluarga berkumpul di rumah baru. Proses penjualan rumah tidak dapat dibilang mudah, bahkan cederung alot dan menguras emosi. Harga jualnya pun jatuh bebas di pasaran dan kami hanya mendapat setengah harga dari penawaran awal. Sedih, sakit hati, marah, semuanya campur jadi satu. Tapi keputusan kami sudah bulat. Setelah beberapa bulan bolak-balik mengurus ini-itu, rumah lama kami pun resmi terjual. 

Dan sampailah kami ke proses tersebut: pindahan. Awalnya barang-barang besar kemudian barang yang kecil-kecil. Lama-kelamaan, tanpa kami sadari, rumah lama kami menjadi kosong dan hampa. Pernah satu kali mama mengirim sms, mengatakan betapa sedihnya dia melepas rumah lama. Bagaimana tidak, rumah itu telah beliau tinggali semenjak beliau menikah lalu melahirkan anak pertama, anak kedua, melihat anak-anaknya tumbuh besar, masuk sekolah, lulus, kuliah hingga bekerja. Rumah itu telah menopang kehidupan kami nyaris 30 tahun lamanya. Semua cerita, suka, duka, tawa, tangis, canda, terekam di dalamnya. Rumah itu telah menjadi saksi kami bertumbuh menjadi sebuah keluarga. 

Saat saya membaca curahan perasaan beliau, hati saya sama sekali tidak tergerak. "Halah, mama lagi-lagi lebai dalam mengungkapkan perasaannya. As usual," ungkap saya dalam hati. 

Saya memang tidak terlibat banyak dalam proses pindahan karena hanya membantu saat akhir pekan. Minggu lalu, di penghujung tahun 2014, saya mampir ke rumah lama dan membantu pindahan. Rumah lama kami telihat dingin. Teralis jendela sudah dilepas, beberapa kaca sudah tercabut dari rangka jendela, rumpun melati tumbuh liar tak terurus, halaman kotor oleh daun yang rontok dari pohon belimbing besar di depan rumah. Pohon daun sirih yang menjadi kebanggaan mama mati karena pagar tempatnya tumbuh telah tercerabut. Saat saya membuka kunci rumah, saya hanya mendapati satu ruang kosong yang luas. Kosong. Hampa. Tanpa perabot apapun. Sementara papa mulai bekerja melepas untaian kabel di dapur, tanpa sadar saya bersandar di salah satu dinding dan mengelusnya perlahan. Dingin. Seakan rumah tersebut marah kepada kami. "Maaf...." bisik saya.

Setelah seluruh proses pindahan dan administrasi selesai, rumah itu akan dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Pohon belimbing di halaman akan ditebang. Semua kenangan disana akan menguap dan hanya tinggal di dalam memori. Lagi-lagi saya marah dan sedih pada keadaan. Bagaimana bisa, rumah yang telah kami tempati selama ini harus dihancurkan dengan harga jual yang sangat rendah. 

Saya paham perasaan mama. 

Namun saya pun menganggap itu semua adalah 'harga' yang harus dibayar untuk rumah impian kami. Rumah yang selalu kami angankan dan inginkan. Sungguh sebuah harga yang teramat mahal. 

Berpindah saya sadari adalah salah satu bagian yang paling sulit dalam fase hidup manusia. Pindah dari SD ke SMP, dari SMP ke SMU, dari SMU ke Perguruan Tinggi, dari Perguruan Tinggi ke lapangan pekerjaan, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari rumah lama ke rumah baru, dari teman lama ke teman baru. Karena dalam prosesnya, kita telah membuat jejak kepingan hati dan serpihan kenangan yang akan hilang dan tertinggal. Tapi bukankah kita harus terus melangkah maju jika yang 'lama' memang sudah dianggap tidak nyaman dan mengorbankan semua yang pernah kita miliki dengannya untuk menyongsong satu lembar kehidupan yang baru? 

Selamat tahun baru 2015. 

In memory of 'rumah lama'