Minggu, 30 November 2014

Wisata Kuliner di Malang

Di tahun 2014 ini terhitung tiga kali saya datang ke Malang. Bisa dibilang saya benar-benar jatuh cinta pada kota kecil itu sehingga selalu dan selalu ingin datang kembali kesana. Menurut saya, Malang adalah perpaduan antara Yogyakarta dan Bandung dalam versi yang lebih sepi. Seperti Yogyakarta karena Malang juga merupakan kota pelajar. Tak terhitung banyaknya perguruan tinggi, universitas, sekolah tinggi, dan semacamnya memadati kota ini. Seperti Bandung karena Malang juga merupakan surga wisata kuliner. Beragam kuliner khas Jawa Timur dapat ditemui disini, warung kopi untuk duduk-duduk santai banyak, makanan yang unik dan baru kali pertama saya temui juga ada. Serunya lagi, tidak perlu keluar uang banyak untuk wisata kuliner di Malang. Seharian wisata kuliner di Malang setara dengan biaya sekali ngafe di Jakarta. Luar biasa bukan?

Dari tiga kali kunjungan ke Malang saya mendapat banyak pengalaman baru akan kuliner Jawa Timur. Sebenarnya di Jakarta juga dapat ditemui beberapa masakan khas Jawa Timur namun saya baru sempat merasakannya di Malang, jadi berasa seru aja merasakan masakan khas Jawa Timur di salah satu daerah asalnya. Selain kuliner khas Jawa Timur, saya juga sempat mampir ke beberapa kedai kopi yang nge-hits di kalangan anak Malang, juga mampir ke beberapa tempat makan yang direkomendasikan food blogger. Untuk merangkum pengalaman wisata kuliner saya di Malang, saya akan membagi dua ceritanya. Yang pertama adalah One Day Culinary Trip on Malang. satunya lagi adalah Miscellaneous yang berisi beberapa makanan yang sempat saya cicipi di Malang juga kafe yang enak buat duduk santai. Nama makanan dan nama tempat akan saya bold.

One Day Culinary Trip on Malang

Saya sengaja meluangkan satu hari khusus untuk berwisata kuliner di Malang dan kebanyakan pilihan makanan, minuman, dan tempat makan direkomendasikan oleh beberapa teman yang tinggal di Malang. Saya hanya pasrah diajak kesana-kesini dan mencicipi beragam makanan dan minuman. Percayalah, wisata kuliner di Malang memberi pengalaman wisata yang menyenangkan tidak hanya di perut tapi juga di hati :)

Menu sarapan sebagai pembuka hari saya buka dengan menu nasi jagung. Iya, nasi jagung yang selama ini saya kenal dari lagu anak-anak itu ternyata bisa saya cicipi di Malang. Pertama kali saya makan nasi jagung ini saat menginap di rumah mbak Vicky, rada ajaib dan bengong juga saat melihatnya. Pipilan jagung sudah dihancurkan sehingga warna kuning jagung kasar bercampur dengan warna putih nasi. Nasi jagung dimakan dengan lauk ikan asin, sayur, bakwan jagung, tempe dan sambal pedas yang terbungkus dalam satu kertas nasi. Penampilannya tidak berbeda jauh dengan nasi bungkus pada umumnya, tapi rasanya enak bangeeett. Setiap mampir ke Malang pasti saya ngotot pengen sarapan ini. Harga seporsi nasi jagung ini antara 5 - 10 ribu, saya lupa berapa harga persisnya.

Karena nasi jagung adalah sarapan berkarbohidrat ganda, sampai siang saya masih belum lapar juga. Erlin, mantan teman kantor saya, yang bertugas menjadi guide lokal siang itu mengajak saya dan yang lainnya pergi ke supermarket Lai Lai di daerah Jl. Semeru untuk makan es krim. Di dalam supermarket Lai Lai ada Illy Cafe yang cukup ramai, sangking ramainya hingga kami harus masuk daftar antri. Selama mengantri saya berkeliling dulu di dalam Supermarket Lai-lai. Supermarket ini terbilang cukup besar dan lengkap. Perhatian saya tertarik pada beragam variasi kue-kue kecil dan jajanan khas pasar yang dijual. Variasinya sangat banyak dan beragam sampai saya sampai bingung mau beli yang mana. Berbagai oleh-oleh khas kota lain pun dijual disini, yang paling ekstrim menurut saya sih kue Bingke khas Pontianak yang diklaim asli dari Pontianak. Saya juga sempat mampir ke toko Pia Cap Mangkok yang terletak tak jauh dari supermarket Lai Lai untuk membeli oleh-oleh.

Setelah cukup lelah dan kepanasan berkeliling sana-sini kami kembali ke Illy Cafe dan sudah diperbolehkan masuk oleh pelayannya. Illy Cafe menjual makanan bertema western dan beragam racikan kopi. Melirik pesanan meja sebelah, lasagna yang mereka pesan terlihat sangat menggoda. Namun sesuai dengan misi awal saya dan teman-teman hanya memesan es krim. Harga seporsi es krim crunch choco, caramel nut, strawberry triple, atau banana chop hanya Rp 11.500. Illy Cafe akan memberikan satu snack gratis untuk setiap pemesanan tiga menu. Jadi lumayan banget, pesan tiga es krim dapet gratisan jamur crispy. Air putih gratis juga diberikan untuk setiap porsi es krim yang dipesan. Kafenya pengertian banget ya, setelah makan es krim kan bawaannya haus. Kafe ini cukup recommend untuk dikunjungi saat berkunjung ke Malang. Lokasinya strategis, harga terjangkau, menu makanan dan minumannya bervariasi, dan tempatnya cozy untuk mengobrol sambil duduk santai. Sayang nggak bisa lama-lama di Illy Cafe, kasihan sama pengunjung lain yang antri.

Es krim Illy Cafe

Dari Illy Cafe, Erlin mengajak kami ke daerah Dempo untuk mencicipi es moka durian yang terkenal. Siang itu Malang memang lagi panas-panasnya sehingga saya tidak menolak untuk makan es dua kali berturut-turut. Es Dempo terletak di belakang SMAK St. Albertus dan merupakan kawasan penjual makanan. Kalau perut sudah mulai lapar, selain minum es juga bisa makan mie ayam pangsitnya yang tidak kalah terkenal. Es moka durian yang saya pesan datang dalam mangkuk berisikan serutan es kasar yang menggunung. Di dasar mangkuk terlihat beberapa daging buah durian yang disiram siruh moka berwarna kecoklatan. Rasa moka dan durian berpadu apik. Manis, dingin dan beraroma dalam setiap seruputan. Harga es durian dijual Rp 12.000 sedangkan es moka durian seharga Rp 14.000.


Es moka durian Dempo

Kenyang minum es membuat saya malas makan makanan berat. Kali ini saya diajak mencicipi kuliner khas Jawa Timur yang saya agak sangsi memakannya. Kupang lontong, Raditya Dika menceritakan pengalaman traumatisnya memakan masakan ini di buku Manusia Setengah Salmon. Secara tidak langsung saya jadi ikut terpengaruh dan skeptis saat melihat ratusan kerang berwarna coklat kehitaman dan berukuran sangat-sangat-sangat mini memenuhi piring. Sate kerang sebagai side dish malah lebih dulu habis dimakan sementara kupang lontongnya sendiri belum tersentuh. Bau amis samar tercium saat sesendok penuh kupang mendekati mulut. Sambil menutup mata dan menahan napas saya mencoba memasukkan sesendok kupang dan mulai mengunyah ragu. Duh, acara wisata kulinernya kenapa jadi semacam tantangan di Fear Factor begini sih. Rasanya amis, blenyek, sedikit asam memenuhi mulut. But I'm still fine. Maksudnya saya baik-baik saja dengan cita rasa kupang ini tapi cuma sanggup makan tiga sendok saja. Satu porsi kupang lontong yang dimakan berempat itu akhirnya tidak habis, Sebagian beralasan kenyang, sebagian lainnya (saya termasuk dalam bagian ini) tidak familiar dengan cita rasa kupang yang asing.

Kupang, bukan nama daerah 

Sate kerang sebagai side dish

Sebelum pulang ke rumah Erlin kami mampir lagi ke satu warung makan terakhir untuk mencicipi salah satu makanan khas Malang yang cukup mudah ditemui, apalagi kalau bukan tahu petis. Iya, tahu petis. Tahu goreng dengan bumbu petis yang khas. Tahu gorengnya mungkin biasa, tapi saus petis berwarna kehitaman inilah yang membuat rasanya menjadi berbeda.

Tahu petis

Malamnya saya dijemput Mifta dan Jarot, mereka adalah travel buddy saya saat trip ke kawah Ijen dan Ranu Kumbolo. Keduanya adalah manusia malam yang baru bisa menemani saya jalan-jalan saat matahari terbenam. Tujuan kuliner utama malam itu adalah tahu telur. Entahlah, setiap ke Malang saya selalu merasa wajib memakan santapan ini. Rasanya yang unik dan khas membuat saya selalu kangen dengan cita rasa tahu telur khas Malang. Sebelum melanjutkan wisata kuliner saya menyempatkan diri mampir ke rumah mbak Vicky di daerah Sigura-gura. Mbak yang satu ini memang super duper baik hati dan sebisa mungkin saya mengunjunginya jika sedang berada di Malang. Niatnya hanya berkunjung sebentar, namun saat ditanya akan kemana tujuan saya malam itu mbak Vicky malah menahan kami di rumahnya dan memanggil tukang tahu telur keliling. "Ini tahu telur terenak di Malang," janjinya. Saat menyantap tahu telurnya Mifta dan Jarot yang sudah beberapa tahun tinggal di Malang dan ratusan kali makan tahu telur setuju dengan ucapan mbak Vicky. Itu adalah salah satu tahu telur terenak yang pernah mereka makan.

Tahu telur

Selesai makan dan pamit dengan mbak Vicky kami pergi ke daerah Soekarno Hatta untuk mencicipi makanan yang terlalu mainstream menurut saya. Sejak kunjungan pertama saya ke Malang, Mifta selalu kekeuh mengajak saya mencicipi mie setan yang lagi nge-hits banget di Malang, sementara saya ogah-ogahan karena menganggap mie setan terlalu (sekali lagi saya bilang) mainstream. Untuk ukuran tempat yang nge-hits, Mie Setan Kober memang eksis banget di kalangan anak-anak Malang. Antrian di depan kasirnya mengular panjang, selain itu kami harus keluar masuk ruangan untuk mencari tempat duduk. Menu di Mie Setan Kober antara lain mie setan itu sendiri dari level 1 - 5, mie iblis ukuran S, M, dan L, dan mie angel untuk mie yang tidak memakai cabai sama sekali. Untuk minumannya lagi-lagi dinamai dengan unsur hantu Indonesia: es tuyul, es genderuwo, es kuntilanak, es sundel bolong. Saya cuma bengong saat ditanya mau pesan apa, di menu hanya tertera nama-nama hantu tanpa keterangan ingredients yang digunakan. Jadi untuk amannya kami berempat memesan mie setan level 1 (menggunakan 12 cabai) dan mie iblis ukuran S (menggunakan 5 cabai), dan berbagai es hantu berbeda untuk setiap orang.

 Daftar menu di Kober Bar

Mie Setan berkonsep open kitchen sehingga pengunjung dapat melihat kesibukan yang terjadi di dapur. Dengan kecekatan para kru dapur meracik dan menghidangkan mie, ternyata masih membutuhkan waktu cukup lama untuk pesanan kami diantarkan mengingat banyaknya pengunjung. Saat pesanan kami sampai terlihat perbedaan antara mie setan dan mie iblis. Mie setan dan mie iblis disajikan dengan taburan ayam, pangsit kering, pangsit basah, dan selembar daging ham, hanya saja mie iblis terlihat sedikit kecoklatan karena menggunakan kecap. Rasanya? Jangan ditanya. Saya kesulitan berhenti sejak suapan pertama. Tidak seperti mie setan di Jakarta yang hanya menggunakan mie instan dan cabai hijau sebagai bahan utama, mie setan dan mie iblis di Malang menggunakan mie buatan sendiri yang terasa sangat enak dan kenyal.  Untuk menetralisir pedas untungnya es hantu yang dipesan memasukkan potongan buah di dalamnya. Nyeeesss banget rasanya. Satu hal yang melintas di kepala saat saya makan mie setan, kenapa nggak dari dulu-dulu saya mampir kesini. Nyeseeelll :((

Mie Iblis dan Mie Setan

Cappuccino nyempil diantara es hantu

Dari Mie Setan, sesuai janjinya malam itu Mifta mengajak saya ke Batu. Saya sempat protes ke Mifta karena setiap kali saya ke Malang dia selalu menolak menemani saya ke Batu. Alasannya klasik banget: dingin. Karena ini kunjungan terakhir saya ke Malang dan saya belum tahu kapan lagi akan kembali ke kota ini, akhirnya dia mau mengantar saya ke Batu. Hawa dingin mulai terasa saat kami melewati kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan terasa menggigit seiring semakin cepatnya motor dipacu melewati jalanan yang terus menanjak. Kami tidak berhenti di alun-alun Batu yang legendaris dengan bianglala dan beragam ornamen buah dan binatang yang menyala saat gelap itu, tapi terus menanjak menyusuri jalan besar menuju Payung.

Kerlip lampu kota Batu dilihat dari Payung

Lampu jalan menjadi penerangan utama seiring semakin lengangnya jalan yang kami lewati. Lalu tiba-tiba saja di kanan saya telihat kerlip pemandangan kota Batu di bawah sana. Motor masih melaju menuju tempat yang lebih tinggi sementara saya tidak dapat menahan diri berteriak kesenangan melihat pemandangan indah di bawah sana. Kami berhenti di salah satu view point Payung dan mampir ke salah satu warung yang banyak berderet disana. Hidangan standar dari warung semacam ini adalah jagung bakar, mie rebus, mie goreng, kopi, teh, dan beragam minuman hangat lainnya. Kami memesan mie rebus dan teh hangat yang terasa berkali-kali lebih enak saat dimakan dengan latar pemandangan kota Batu kala malam di bawah sana.

Saat dingin terasa semakin menggigit kami kembali ke alun-alun Malang. Walau malam sudah semakin larut daerah ini masih ramai pengunjung. Terdapat banyak penjual makanan di daerah alun-alun Batu dan pengunjung nampak menyemut di depan kedai-kedai tersebut. Kami langsung menuju satu kedai legendaris Pos Ketan Legenda yang terkenal karena ketan susunya. Pilihan variasi ketan susu ini cukup beragam, saya memesan ketan susu coklat keju yang menjadi menu favorit. Untuk minuman pendampingnya tersedia berbagai pilihan minuman hangat, mulai dari teh, kopi, sampai STMJ.
Pengunjung di Pos Ketan Legenda menjelang tengah malam

Daftar menu Pos Ketan Legenda

Daftar menu Pos Ketan Legenda

Sambil menunggu saya mengamati foto-foto artis yang banyak berjejer di dalam kedai berukuran mungil tersebut. Kata Mifta, Yuni Shara sering berkunjung kesini saat pulang kampung ke Malang. Oh, saya baru tahu kalau Yuni Shara adalah orang Malang. Pesanan kami kemudian datang dalam piring-piring kecil. Parutan keju memenuhi bagian atas ketan susu pesanan saya. Dengan sendok kecil saya menyendok ketan beserta keju, coklat dan susu. Lengket, manis, gurih, enak. Pengen nambah yang banyak rasanya!!!

Paling kiri: ketan susu nangka. Sisanya: ketan susu keju meises

Lewat jam 12 malam petualangan kuliner saya selesai. Perut kenyang, hati senang, dompet adem. Cuma celana jins aja yang jerit-jerit. Sambil wisata kuliner saya juga jadi sempat mampir ke tempat-tempat baru di Malang, jadi sekalian jalan-jalan sekaligus menambah pembendaharaan tempat wisata saya di Malang. Dan dalam perjalanan pulang tidak lupa Mifta menunjukkan rumah Yuni Shara yang terletak di pinggir jalan dan masih berada di daerah Batu.

Miscellaneous

Daftar tempat makan yang enak dan kafe yang asik buat duduk-duduk santai di Malang (berdasarkan pengalaman pribadi):

1. Otoy
Otoy ini nama rumah makan persis di depan kampus UMM (lupa kampus berapa, pokoknya kampus UMM yang ada mesjid super besar di depannya). Saat pertama kali melihat harga menu Otoy, saya langsung bengong. Bengong-sebengong-bengongnya. Lalu dengan polosnya nanya ke teman, "ini harganya belum sama nasi, ya?" Dan saya diketawain. Itulah kali pertama saya berkenalan dengan "harga mahasiswa Malang." Rata-rata makanan disini enak. Tempatnya strategis untuk jadi meet point dengan anak-anak UMM. Mau duduk lama dan pesan macam-macam juga nggak akan bikin kantong jebol. Yang lucu, rawon pertama yang saya makan dalam hidup saya ya di Otoy ini. Jadi agak-agak bersejarah gitu, hehehe :))

Daftar menu Otoy yang nggak masuk akal murahnya

First Rawon, ehehehehehee...

2. Coffee Time
Masih di daerah UMM yang sama, saya sempat ngopi-ngopi disini. Tempatnya cukup nge-hits di kalangan anak-anak UMM, sering jadi tempat meet up, ngobrol, ngerjain tugas, dan lain sebagainya. Harga kopinya murah bingits dan enak, rata-rata dibandrol di bawah Rp 20.000 kalau nggak salah. Semua wilayah di Coffee Time merupakan smoking area. Walau tempatnya enak buat duduk-duduk lama, asap rokok dari para pengunjungnya cukup mengganggu.

3. KL Express
Terletak di daerah Villa Bukit Tidar, saya cukup terpana juga melihat rumah-rumah besar serupa mansion saat menuju KL Express. Desain KL Express yang terkesan besar dan mewah cukup mencuri perhatian. Terdapat indoor and outdoor area, order area, dan live music area. Saat saya kesana kebetulan sedang ada pertunjukan live music yang melayani beberapa request dari pengunjung. Jadi pas duduk-duduk di balkon bisa sekalian lihat pemandangan kerlip lampu dari perumahan mewah yang sebelumnya dilewati dan nyanyi-nyanyi santai.

KL Express berkonsep cafe restaurant, jadi kalau mau santai-santai ala kafe disini bisa, kalau mau makan agak berat juga bisa. Menu makanan beratnya kebanyakan didominasi Chinese Fodd seperti dimsum. Pas saya kesana lagi nggak mau makan berat, jadi milih minuman yang pas sama suasana malam itu aja. Mungkin karena lokasinya yang berada di daerah perumahan mewah, harga menu KL Express cukup mahal untuk ukuran Malang.

4. Bakso Bakar Pahlawan Trip
Lagi-lagi saya hanya skeptis saat diajak mencicipi bakso bakar. Makanan yang lagi nge-hits di Malang ini berada di Jl. Pahlawan Trip yang notabene menjadi salah satu daerah wisata kuliner Malang. Tempatnya lumayan ramai, seakan menegaskan kepopuleran bakso bakar pada masyakarat Malang. Saya hanya memesan seporsi bakso bakar tanpa mie karena masih kenyang. Seporsi bakso bakar berisi lima bakso yang berwarna hitam kecoklatan karena melewati proses pembakaran. Rasanya, umh ya seperti bakso yang dibakar pada umumnya. Nothing special for me. Mungkin tempat ini jadi nge-hits di Malang karena menawarkan konsep baru dalam menikmati olahan bakso.

5. Nasi Bhuk
Saat ke Malang untuk kedua kalinya saya dijemput mbak Vicky di stasiun. Dari stasiun, mbak Vicky langsung mengajak saya ke daerah Jl. Kawi Atas, niatnya mau cari sarapan sebelum jalan-jalan di Jl. Ijen yang menjadi lokasi car free day-nya Malang. Saya cuma pasrah mau diajak sarapan apa, terserah mbak Vicky aja, dan akhirnya kami memasuki kedai Nasi Bhuk yang cukup ramai. Menurut mbak Vicky, nasi bhuk ini adalah makanan khas Madura, tetapi jika kita datang ke Madura nasi ini tidak ada di sana. Disebut nasi bhuk karena penjualnya adalah ibu-ibu.

Sesuai dengan namanya, masakan inti dari nasi bhuk ini adalah nasi. Satu piring nasi disajikan dengan lauk pauk standar berupa sayur rebung atau sayur nangka (pilih salah satu), serundeng kelapa, kecambah, sambal yang pedasnya pol, dan lauk sesuai pilihan (ayam, empal, paru, dan berbagai jeroan lainnya). Selain nasi bhuk, biasanya kedai Nasi Bhuk juga menjual nasi rawon, nasi campur, dan nasi soto madura. Saat memesan saya mengawasi ibu yang menuangkan nasi dalam piring dan memintanya mengurangi setengah dari porsi yang telah dituangkan, setelah itu dengan lincah sang ibu menuangkan segala lauk pauk ke dalam piring saya. Saat melihat tumpukan nasi dan lauk pauk yang melimpah rasanya saya tidak bisa menghabiskannya, namun setelah suapan pertama saya tidak bisa berhenti. Rasa nasi bhuk seperti masakan rumahan, yang membuat saya terus menyuap tak bisa berhenti adalah rasa sambalnya yang pedas. Selain lauk pauk yang saya sebutkan sebelumnya, ternyata nasi bhuk juga memasukkan beberapa potongan kelapa yang digoreng hingga kecoklatan. Semumur hidup baru kali itu saya makan kelapa yang diolah seperti itu. Rasanya unik dan enak banget.

Selain di Jl. Kawi Atas, kedai Nasi Bhuk dapat ditemui dengan mudah di Malang.

5. Es Krim Oen
Saat mengetik kata kunci 'Wisata Kuliner Malang' di mesin pencarian Google, nama Toko Oen akan muncul dalam halaman utama. Karena masuk dalam top list wisata kuliner Malang, saya pun mengunjungi toko ini. Toko Oen terkenal akan sejarahnya yang sudah berdiri sejak tahun 1930-an, bangunannya masih bernuansa Belanda tempo dulu dengan jendela besar, tirai ala victorian, dan kursi-kursi rotan memenuhi ruangan. Beberapa foto lawas Malang tempo dulu menghiasi dindingnya. Nuansa yang dihadirkan Toko Oen secara tidak langsung mengingatkan saya akan toko es krim Ragusa yang berada di Jakarta. Baik Toko Oen maupun Ragusa berkonsep sama dan mengandalkan menu es krim sebagai jualan utamanya.

Interior Toko Oen

Hal lain yang mencuri perhatian di Toko Oen adalah pegawainya yang mengenakan seragam putih-putih dengan peci di kepalanya, mirip dengan penampilan pejuang kemerdekaan tempo dulu. Bahkan buku menu pun menggunakan konsep tempo dulu. Satu scoop es krim di Toko Oen berkisar antara Rp 15.000 - Rp 20.000. Saya memesan Glace de Grand Marnier seharga Rp. 40.000, penampilan es krim ini berbeda jauh dengan fotonya di buku menu. Porsi es krimnya tergolong kecil dengan rasa yang tidak terlalu manis dan cepat lumer.

Menu Toko Oen

Pelayan Toko Oen

Glace de Grand Marnier

Menurut saya pribadi, Toko Oen, seperti halnya Ragusa, hanya menjual tempat dan memori masa dulu, tapi tidak untuk sajiannya (khususnya es krim karena saya hanya mencoba es krim). Overrated I must say. Pun harganya terbilang cukup mahal untuk ukuran Malang.

Notes: semua harga makanan dan minuman di Toko Oen belum termasuk pajak 10%

6. Depot Hok Lay
Saya mengetahui tempat ini dari blog Inije yang memang mengkhususkan diri sebagai Food Blogger. "Hok Lay" Lumpia Semarang Pangsit Cwiemie, seperti tertulis di jendela depan depot kedai ini memang menyasar lumpia Semarang dan pangsit cwiemie sebagai jualan utamanya. Interior depot masih mempertahankan desain tempo dulunya yang menguatkan fakta bahwa depot ini memang sudah berdiri sejak tahun 1956.

Depot Hok Lay

Interior dalam Depot Hok Lay

Satu porsi lumpia Semarang seharga Rp. 12.000 yang saya pesan berisikan dua buah lumpia berukuran cukup besar dengan saus tauco dan daun bawang. Lumpia disajikan hangat sehingga kulitnya terasa masih renyah. Rasa lumpianya sendiri enak dan mengenyangkan. Pesanan lainnya adalah nasi panca warna (Rp. 12.000), resep awal nasi ini sejatinya adalah mie ayam. Namun mie dalam nasi panca warna diganti dengan nasi membuat citarasa nasi ini menjadi unik. Sebagai camilan, saya memesan pangsit goreng (Rp. 14.000) yang garing dicocol dengan saus sambal tomat encer.

Lumpia Semarang

Nasi Panca Warna. Es Puding Manalagi, Pangsit Goreng

Untuk minuman saya memesan fosco (Rp. 8000) seperti yang direkomendasikan dalam blog Inijie. Rasa fosco ini sesuai dengan yang Inijie deskripsikan dalam blognya: rasa coklat dan susu full cream berpadu apik dalam botol coca-cola bekas sebagai wadahnya. Selesai regukan, terasa asin di lidah sebagai sensasi rasa penutup. Selain fosco, saya juga mencoba es puding manalagi (Rp. 9000). Es serut kasar disiram sirup dan susu dengan puding besar di tepian mangkuk. Pudingnya yang tidak terlalu manis terbantu rasa segar dari campuran es, sirup, dan susu. 

Fosco dalam botol Coca-cola bekas

Jangan kaget jika tiba-tiba jajan cukup banyak di Depot Hok Lay ini. Menunya yang unik dan jarang ditemui membuat penasaran untuk mencoba dan terus mencoba. 

7. The Amsterdam
Kembali ke Jl. Pahlawan Trip, kali ini saya memilih resto cafe The Amsterdam yang menjadi favorit anak Malang untuk duduk-duduk santai menghabiskan waktu. Interior The Amsterdam memang nyaman untuk berlama-lama ngobrol santai dengan teman, dan sesuai namanya desain yang digunakan disini berusaha menyesuaikan dengan suasana Amsterdam. Terdapat indoor dan outdoor area yang dipisahkan oleh jendela-jendela besar. Langit-langit ruangan didesain menggunakan rangka kayu dan kaca jendela yang dipasang apik bertumpukan dan berdempetan. Dinding ruangan dihias lukisan mural kereta api dan beberapa frame foto bertemakan Amsterdam. Di satu sudut terlihat space yang dikhususkan untuk live music. Satu hal minus dari tempat ini, karena letaknya persis di sebelah jalan raya besar yang sibuk banyak kendaraan lalu lalang dan suaranya terdengar sampai ke dalam ruangan. Untuk menu, karena The Amsterdam berkonsep resto cafe, terdapat cukup banyak varian makanan dan minuman yang dapat dipesan. Untuk makanan kebanyakan bertema western, seperti steak, pizza, burger, pasta, sampai nasi goreng. Sedangkan untuk minumannya tersedia berbagai racikan kopi dan teh, juga bir.

Cappuccino The Amsterdam

Saya datang ke The Amsterdam memang untuk ngobrol-ngobrol santai sambil ngopi-ngopi lucuk. Jadi cuma pesan cappuccino yang harganya nggak sampai Rp. 15.000. Dengan konsep resto cafe yang cukup mewah, harga di The Amsterdam masih dapat ditolerir kantong mahasiswa. 

8. Simpang Luwe
Saya nggak sengaja mampir ke resto cafe ini untuk menemui seorang teman. Dengar-dengar, Simpang Luwe juga cukup terkenal di kalangan anak-anak Malang. Penampilan Simpang Luwe memang cukup catchy dengan posisi persis di pinggir jalan besar. Resto cafe yang didominasi material kayu dan bata ekspos untuk desainnya ini memiliki dua tingkat dan menawarkan indoor maupun outdoor area baik di lantai atas maupun lantai bawah. Biasanya tempat ini ramai digunakan untuk acara nobar bola. Overall, tempat ini memang cukup cozy sebagai lokasi meet up. Masalahnya adalah harga di Simpang Luwe yang tidak masuk akal untuk ukuran Malang. Harga di buku menu tak beda dengan harga-harga di resto cafe berkonsep sama di Jakarta. 

Hasil ngobrol-ngobrol dengan suami mbak Vicky, Simpang Luwe memang berpotensi untuk mengacaukan pasaran harga cafe resto berkonsep sama yang banyak bertebaran di Malang. Harganya benar-benar tidak masuk akal untuk pasaran harga Malang. 

9. Bakso President
Destinasi wisata kuliner lainnya yang selalu hadir di laman utama Google. Belajar dari pengalaman di Toko Oen, saya tidak menaruh harapan besar untuk Bakso President. Tempat ini menjadi terkenal tidak hanya karena baksonya, tetapi juga karena lokasinya yang persis berada di pinggir rel kereta. Masuk ke dalam kedai bakso ini saya dibuat bingung dengan banyaknya variasi pilihan bakso yang tersedia. Mulai dari bakso urat, bakso telur, bakso goreng udang, sampai menu paket seperti bakso campur super, bakso campur komplit, bakso campur spesial. Selain itu terdapat ati ampela dan jeroan sebagai side dish tambahan untuk dicampurkan dengan bakso. Karena bingung, saya memilih menu yang paling komplit saja: bakso campur spesial (Rp. 17.500) ditambah dengan jeroan paru (Rp. 1.500).

Bakso President

Bakso campur spesial plus jeroan paru

Rasa skeptis akan ketenaran Bakso President langsung lenyap di suapan pertama. Kuah baksonya bening dan rasa kaldunya terasa gurih namun tidak berlebihan, baksonya sendiri enak, kenyal dan bikin nagih. Bakso Malang terenak yang pernah saya makan. Tidak berlebihan jika Bakso President memang masuk dalam top list wisata kuliner di Malang.

Penutup

Wisata kuliner di Malang itu memang nggak ada matinya, dan yang paling penting, nggak bikin kantong jebol. 

Notes: semua harga yang saya cantumkan dalam tulisan ini adalah harga sebelum kenaikan BBM bulan November 2014.
Notes lagi: beberapa tempat maupun makanan tidak disertai foto pendukung karena penulis keburu laper saat makanannya datang.

Kamis, 20 November 2014

Unexpected Carita

Waktu teman-teman kantor memutuskan outing tahun ini ke pantai Carita, saya pasrah saja. Walau sama sekali tidak berminat dengan pantai sekelas Anyer maupun Carita, paling tidak tahun ini pilihan teman-teman kantor sudah beralih dari 'gunung' ke 'pantai.' Untuk saya yang anak pantai sejati, ini adalah berkah!

Adalah hal yang wajar jika pantai wisata seperti Carita dan Anyer menjadi salah satu pilihan utama penduduk Jakarta dan sekitarnya untuk menghabiskan waktu bermain di pantai. Dengan jarak tempuh hanya kurang lebih empat jam dari Jakarta membuat dua tempat wisata ini menjadi ramai. Saya sebenarnya paling malas datang ke pantai wisata yang terlalu komersil dan ramai, belum lagi kondisi pantai Carita sendiri sudah tidak begitu cantik karena mendapat terlalu banyak 'sentuhan tangan' pengunjung, pengelola, maupun masyarakatnya sendiri. Namun lagi-lagi saya pasrah. Paling tidak saya bisa melepaskan kerinduan pada laut setelah beberapa trip sebelumnya yang selalu ke gunung. Dan saya mengeset ekspektasi serendah mungkin karena yakin benar pantai Carita tidak akan mampu mengejutkan saya. 

Dalam perjalanan menuju pantai Carita, bis melewati pantai Anyer terlebih dahulu. Seperti perkiraan saya, warna air lautnya sama sekali tidak biru, cenderung hijau sedikit kecoklatan. Namun terlihat barisan karang tersembul dekat tepian pantai memecah ombak yang datang. Karang-karang ini mampu membuat fotogenik suasana pantai yang terlihat biasa saja. Hm, not bad.

Semakin memasuki kawasan pantai Anyer barisan hotel, villa, guest house dan semacamnya memenuhi bibir pantai. Menutup pandangan saya dari laut yang membentang di baliknya. Tuh, betul kan, daerah Anyer terlalu penuh dan komersil. Pemandangan jadi berselang-seling, sebentar pantai, banyak hotel, lalu sebentar pantai, kemudian banyak hotel, begitu terus hingga bus sampai ke Villa Mutiara Carita tempat rombongan saya menginap. Selesai check in dan memasukkan ransel saya langsung menuju bibir pantai. Penasaran dengan pemandangan laut dari tempat ini. Dan apa yang saya lihat cukup mengejutkan hingga mampu membuat saya tersenyum lebar. 

Tidak hanya terdapat karang dan batu besar untuk dijadikan objek foreground foto, tetapi juga ada sebuah dermaga tua yang tidak difungsikan lagi. Mendadak pantai Carita menjadi beberapa derajat lebih fotogenik dari lensa kamera. Air pantai siang itu sedang surut sehingga memungkinkan saya untuk turun dan mengeksplorasi bibir pantai lebih luas lagi. Dan lagi-lagi saya dikejutkan dengan warna air laut yang jernih bening tanpa sampah. Untuk ukuran pantai wisata yang terlalu komersil dan ramai, ini merupakan sebuah prestasi! 






Sekembalinya saya dari pantai menuju villa, beberapa ibu-ibu mendekati dan mewarkan jualannya. Mulai dari pakaian, sendal, ikan asin, sampai jasa lulur dan pijat pun ada. Semua saya tolak dengan halus. Sampai di villa ternyata beberapa ibu-ibu lain sudah nangkring di halaman villa yang kami sewa dan bersemangat berjualan. Nah, inilah alasan lain saya malas berlibur di pantai wisata. Selain ramai pengunjung juga terlalu banyak penduduk sekitar yang berjualan. 

Aktivitas yang ditawarkan di pantai Carita tidak banyak. Pilihannya adalah snorkeling atau banana boat. Saya pilih snorkeling, walau tidak ada terumbu karang yang dapat dilihat tapi aktivitas berenang di laut tetap menyenangkan. Terjadi hal menyebalkan saat rombongan saya hendak snorkel, tiba-tiba saja harga yang disepakati di awal berubah menjadi lebih mahal. Ketua rombongan saya sampai gondok karena hal ini sudah terjadi berulang kali. Mulai dari fasilitas villa yang berubah-ubah dan biaya tambahan yang mendadak ada. Oh well, resiko liburan di pantai wisata *sigh* 

 Ceritanya mau under water selfie, tapi takut soft lense kebawa ombak :))



Sorenya saya siap hunting sunset. Lagi-lagi saya terkejut mendapati sunset di pantai Carita. Langit cerah tak berawan merona, membiaskan warna kemerahan pada permukaan air laut. Salah satu sunset terbaik yang pernah saya lihat. Cantik!





Jika sudah mendapatkan sunset apa bisa melihat sunrise sekaligus di pantai Carita? Ternyata bisa. Dengan berjalan ke arah berlawanan dari tempat sunset kemarin, garis pantai menikung dan mengantarkan saya pada warna kekuningan matahari yang baru naik. Laut berubah warna menjadi keemasan, nelayan melemparkan kail memancing, beberapa perahu terlihat mulai berlayar. Lagi-lagi saya tidak menyangka menemukan pemandangan ini di sebuah pantai wisata komersil. 





Saya belajar satu hal dari trip ini. Lebih baik berekspektasi serendah mungkin daripada berharap banyak pada satu tempat yang akan disambangi. Hal-hal kecil yang didapat saat saya berekspektasi rendah cenderung mendapat respon positif dibanding saat saya berekspektasi tinggi. Saat berekspektasi terlalu tinggi saya kurang menghargai hal-hal kecil yang menyenangkan ketika melakukan sebuah perjalanan. Selain itu saya lebih santai menghadapi masalah-masalah yang timbul saat berekspektasi rendah, paling saya hanya membatin 'emang kayak begitu' saat mendapat hal menyebalkan. Sementara saat berekspektasi tinggi saya akan ngedumel 'kok gitu sih' atau 'mustinya nggak begini' saat menemukan kondisi di lapangan tidak sesuai dengan keinginan. 

Dan diluar dari hal-hal menyebalkan yang timbul dalam trip saya ke pantai Carita, pantai ini memberikan beberapa frame terbaiknya untuk saya. 

Selasa, 04 November 2014

Karma DSLR

Alasan saya nggak suka kamera DSLR:
- Berat
- Ukurannya besar
- Ribet
- Nggak suka ngatur settingan kamera lewat view finder (jendela kecil kamera tempat ngintip sebelum motret)
Makanya saya lebih memilih kamera mirrorless yang dari segi ukuran lebih compact dibanding DSLR namun dari segi produksi foto nggak kalah dibanding DSLR.

Bagaimana jika saya, pemakai mirrorless sejati, tiba-tiba harus menggunakan DSLR untuk jalan-jalan, dan jalan-jalannya ke gunung? Ini terjadi saat saya mau berangkat trip Ranu Kumbolo - Bromo. Mirrorless kesayangan saya itu tiba-tiba rusak setelah saya ajak jalan-jalan ke kawah Ijen. Mungkin kemasukan debu halus saat saya mendaki kawah Ijen, mungkin karena saya terlalu gragas saat membuka kunci lensa sehingga sensornya putus, atau mungkin mirrorless saya lelah dan butuh istirahat di service center.

Setelah panik meminjam kamera kesana-sini dan tidak yakin ada orang yang cukup berani meminjamkan kameranya pada orang seceroboh saya, seorang Kakak Kelas Jaman Kuliah bersedia meminjamkan DSLR-nya. Heh, DSLR ya? Terbayanglah saya naik gunung manggul ransel ditambah satu tas kamera berisi DSLR. Semacam ransel saya kurang berat, masih harus ditambah pula bawa DSLR yang berat itu.

Saya makin shock saat Kakak Kelas Jaman Kuliah membawa DSLR yang akan dipinjamkan. Dulu saya pernah memakai Canon EOS 550D dan menurut saya kamera itu besar, berat, dan ribet. Banget! Sedangkan DSLR yang dipinjamkan ini, Canon EOS 60D, ukurannya lebih besar dan berat dibandingkan Canon EOS 550D saya dulu. Belum lagi lensa Tamron AF 15-50mm yang dipasang pada bodi kamera membuat DSLR pinjaman ini bertambah besar dan berat. Duh, mau motret kok ribet amat ya.

Satu hal yang membuat saya merasa terintimidasi oleh DSLR pinjaman ini adalah kode EOS 60D yang menempel pada bodi kamera. Sebuah kamera semi-pro dengan harga yang sanggup membuat tabungan saya menangis histeris dengan kemampuan produksi foto yang amat sangat mumpuni. Dengan segala kecanggihan fitur yang Canon tanamkan ke dalam kamera ini, masa iya saya stuck menggunakan menu iAuto? Saya yang gaptek banget dan udah lama nggak pegang DSLR menyempatkan diri untuk broswing penggunaan Canon EOS 60D dan kursus singkat pada Kakak Kelas Jaman Kuliah. Walau jauh dari memadai, paling tidak saya tahu bagaimana cara mengatur settingan kamera dan pengoperasian berbagai tombol ajaib yang melekat pada kamera.

Untuk saya yang udah lama nggak pegang DSLR dan mainannya mirorrless, memotret dari view finder itu susah banget! Mirrorless tidak memiliki view finder, jadi penggunanya tinggal mengatur settingan sekaligus memotret melalui LCD kamera (live view). Sementara DSLR menawarkan dua opsi: view finder dan live view. Kekurangan memotret menggunakan live view di DSLR adalah sulitnya mengunci titik fokus (atau mungkin karena saya yang kelewat gaptek), jadi mau tidak mau saya harus mengandalkan view finder. Berhubung saya benci banget ngatur settingan kamera lewat view finder, jadi saya siasati mengatur settingan di live view dulu setelah itu baru mengunci titik fokus dan memotret melalui view finder. Ribet ye? Banget. Makanya saya cinta mirrorless *teteup*. Masalah ternyata tidak berhenti sampai disitu. Mengunci titik fokus di view finder juga menimbulkan kesulitan tersendiri. Dengan mata mengintip di view finder saya harus meraba-raba bodi kamera mencari tombol-tombol yang diperlukan untuk mengunci titik fokus. Ini ribetnya jadi berasa pangkat sejuta deh :(

Dengan segala keribetan yang akan ditimbulkan oleh DSLR ini, berangkatlah saya ke Ranu Kumbolo. Tas kamera saya selempangkan di bahu karena ransel sudah tidak bisa menampung barang lagi. Awal perjalanan saya masih semangat mendaki, namun lama-kelamaan tali tas kamera yang berat mulai terasa mengiris bahu. Gini deh, jadi anak kota yang jarang naik gunung. Manggul ransel sama tas kamera yang lebih berat dari biasanya langsung berasa dunia mau kiamat. Jangankan mengeluarkan kamera dari tas untuk memotret pemandangan yang dilewati, jalan saya aja udah miring-miring nggak jelas. Medan perjalanan juga tidak bisa dibilang mudah. Walau tanjakan yang dilewati mayoritas tanjakan landai, tapi kalau mendaki tanjakan landai selama empat jam juga kan capek. Belum lagi kadang tiba-tiba tanjakan dan turunan curam menyapa, tambah menderitalah saya merayap sambil menjaga agar kamera tidak jatuh, terbentur atau terguncang. Pokoknya ini nggak lucu banget kalau saya udah cape-cape manggul DSLR ngerayap naik gunung lalu nggak dapat foto bagus dari kamera ini.

Nyempetin motret sunset kemudian ketinggalan rombongan -__- 

Setelah mendaki selama hampir empat jam, saya dan rombongan sampai ke Ranu Kumbolo. Malam sudah jatuh dan gugusan bintang memenuhi langit di atas sana. Terakhir kali saya melihat bintang sebanyak, secantik, dan sedekat ini saat saya ke kawah Ijen. Saat itu saya mencoba memotret bintang dengan kamera mirrorless, dan hasilnya gagal total. Kali ini, dengan DSLR semi pro yang sudah membuat bahu terasa kebas saya akan kembali mencoba memotret langit. Malam semakin pekat saat tenda selesai berdiri dan kami selesai makan malam seadanya. Saatnya saya mempraktekkan ilmu memotret konstelasi bintang hasil googling. Tripod siap, settingan kamera siap, dan saya tinggal berdoa saat menekan tombol shutter. Kamera mengeluarkan bunyi klik pelan saat selesai memotret. Begitu saya melihat hasilnya rasanya semua perjuangan dan keribetan membawa DSLR ini terbayar sudah.

Magical milky way

Paginya, saat hunting foto di sekitaran Ranu Kumbolo, saya sama sekali tidak merasa direpotkan oleh pengaturan setting kamera melalui live view maupun view finder. Awalnya memang agak kaku menekan tombol untuk mencari titik fokus, namun setelah jari saya mengenal bodi kamera dan tombol-tombol yang diperlukan, saya malah lebih menikmati mengeset titik fokus melalui jendela view finder. Saya sendiri kaget menyadari mudahnya saya beradaptasi menggunakan DSLR padahal dulu saya selalu merasa diintimidasi olehnya. Mungkin karena selama tiga tahun terakhir menggunakan mirrorless membuat basic pengetahuan saya tentang kamera dan fotografi menjadi lebih terasah.

Sunrise di Ranu Kumbolo






Clear blue sky

Ranu Kumbolo as seen from top of tanjakan cinta


Puncak Semeru di balik gunung itu


Going nowhere

Setelah memotret milky way dan pemandangan alam Ranu Kumbolo, target selanjutnya adalah memotret sunrise dari viewpoint Penanjakan. Hal yang sama sekali tidak saya antisipasi adalah membludaknya pengunjung yang ingin melihat dan mengabadikan sunrise dari tempat ini. Dari jam empat pagi pengunjung sudah memadati dan menempati tempat-tempat strategis untuk memotret maupun sedekar menikmati sunrise. Beruntung teman serombongan saya sudah pernah ke Penanjakan dan tahu betul tempat terbaik untuk memotret sunrise. Dengan badan kecilnya dia menyelip diantara para turis bule dengan kamera DSLR yang siap membidik ke arah terbitnya matahari. Setelah mengamankan spot tersebut dia memanggil saya yang masih sibuk memasang kamera ke tripod.

Satu hal yang tidak saya prediksi sebelumnya saat akan memotret sunrise di Pananjakan. Selain harus berebut spot foto dengan ratusan pengunjung lain, pagar pembatas yang didirikan tidak memberi keleluasaan untuk menempatkan tripod. Hampir seluruh pengunjung yang menguasai bibir pagar memanjat pagar dan berdiri disana untuk mendapat pemandangan yang lebih luas dan tidak terbatas. Sementara saya kebingungan bagaimana cara mendirikan tripod di celah pagar yang tidak seberapa luas tersebut. Masa iya motret sunrise tanpa tripod. Dengan teknik slow speed untuk menangkap cahaya lebih banyak, mustahil saya bisa menahan kamera selama 30 detik tanpa bergerak.

Jadilah saya nekat. Di celah pagar sempit tersebut saya memasang tripod dengan lebar bukaan tidak sampai 30 cm. Kalau kamera pinjaman ini sampai tersenggol pengunjung lain yang lagi nongkrong di pagar, tamatlah riwayatnya terjun bebas ke jurang. Maka setiap menekan shutter dan kamera memotret dalam slow speed, saya hanya berdoa. Berdoa agar kamera tidak goyang, apalagi jatuh. Berdoa agar pengunjung lain tidak ceroboh menyenggol kamera saya. Berdoa agar foto yang dihasilkan tidak mengecewakan.

Yang menyebalkan dari acara hunting sunrise ini adalah seluruh pengunjungnya gragas memotret. Terutama turis bule! Mereka heboh banget memotret ke penjuru arah, seperti tidak mau melewatkan momen sunrise sedetik pun! Masalahnya, cara memotret mereka yang gragas itu merusak hasil foto saya. Di beberapa frame foto yang susah payah saya hasilkan terlihat kilatan blitz karena bule di samping saya memotret menggunakan blitz. Di beberapa frame foto lainnya malah terdapat bayangan samar lensa panjang kamera karena bule di samping saya memotret dengan terlalu gragas hingga lensa kameranya memasuki area foto saya.

Sunrise

Gunung Bromo, gunung Batok, dan gunung Semeru dilihat dari satu titik

Di akhir trip, entah bagaimana asal mulanya, saya merasa jatuh cinta dengan DSLR. Melihat hasil produksi fotonya yang luar biasa memuaskan, cara pengoperasiannya yang walau sedikit lebih repot namun tetap menyenangkan, membuat saya mentolerir segala keribetan yang kerap menyertai DSLR.

Mungkin ini karma, tapi kini ku jatuh cintaaaa....