Minggu, 08 November 2015

Japan Trip: An Intro

Oktober adalah bulan yang saya pilih untuk menyambangi Jepang untuk kali pertama. Alasannya sederhana, suhu Jepang sudah relatif bersabahat, tanpa badai yang acapkali melanda saat terjadi pergantian musim, ditambah harapan warna-warni musim gugur akan mulai bermunculan. Sayangnya perhitungan saya sedikit meleset, musim gugur baru akan benar-benar tiba di akhir Oktober dan awal November, sedangkan jadwal perjalanan saya adalah awal Oktober. Oh well, seperti kalimat andalan saya, “you can’t have everything you want,” paling tidak saya masih mendapat suhu yang relatif mild untuk melakukan perjalanan *menghibur hati* 

Untuk perjalanan ini saya memulai dari kota terbesar kedua di Jepang, Osaka, dan akan mengakhiri perjalanan di Tokyo. Open-jaw ticket, kebanyakan traveler menyebutnya. Dengan demikian saya tidak perlu menghabiskan waktu kembali ke Osaka untuk menempuh perjalanan pulang ke Jakarta nanti. Hemat waktu, uang, dan tenaga tentunya.  

Kebanyakan persiapan perjalanan di Jepang sudah saya siapkan dari Indonesia. Membuat itinerary dan estimasi biaya harian, juga mem-booking penginapan, tiket bus, dan tiket wisata secara online maupun lewat agen travel. Dengan persiapan seperti ini setibanya saya di Jepang nanti saya bisa langsung jalan mengikuti itinerary yang sudah dibuat, tidak perlu repot buka-buka buku panduan perjalanan lagi. Sedikit drama yang terjadi sebelum keberangkatan adalah kurs Dollar Amerika yang terus meroket, yang tentu saja berpengaruh juga pada nilai tukar Yen. Dengan kurs 1 Yen = 123 Rupiah, estimasi biaya yang saya buat jadi membengkak melebihi budget awal *nangis di pojokan*

Pengajuan visa saya lakukan satu bulan sebelum keberangkatan, yang mengejutkan adalah panjangnya antrian apply visa di Konsulat Jenderal Jepang di Jakarta. Animo masyarakat untuk traveling ke Jepang sepertinya sedang meningkat pesat. Untuk pengajuan visa Jepang, harap perhatikan domisili wilayah masing-masing karena pengajuan visa Jepang dibagi ke dalam beberapa wilayah yuridiksi berbeda. Misal, teman saya bekerja di Jakarta namun KTP-nya masih beralamat di Padang, maka dia harus mengurus visa di Konsulat Jenderal Jepang di Medan karena Padang masuk dalam wilayah yuridiksi Konsulat Jenderal Jepang di Medan. 

Menurut saya pribadi persyaratan visa Jepang tidak seribet visa Schengen, paling tidak saya merasa lebih PD saat pengajuan. Saya mengajukan visa kunjungan sementara untuk tujuan wisata dengan biaya sendiri. Dokumen yang diperlukan adalah:
1. Paspor
2. Formulir permohonan visa [download (PDF)] dan Pasfoto terbaru (ukuran 4,5 X 4,5 cm, diambil 6 bulan terakhir dan tanpa latar, bukan hasil editing, dan jelas/tidak buram)
3. Foto kopi KTP atau Surat Keterangan Domisili
4. Fotokopi Kartu Mahasiswa atau Surat Keterangan Belajar (hanya bila masih mahasiswa). Jika sudah bekerja dapat diganti dengan surat keterangan kerja.
5. Bukti pemesanan tiket (dokumen yang dapat membuktikan tanggal masuk-keluar Jepang)
6. Jadwal Perjalanan [download (DOC)] (rinci semua kegiatan sejak masuk hingga keluar Jepang)
7. Fotokopi dokumen yang bisa menunjukkan hubungan dengan pemohon, seperti kartu keluarga, akta lahir, dan lain sebagainya jika pemohon lebih dari satu
8. Dokumen yang berkenaan dengan biaya perjalanan. Bila pihak Pemohon yang bertanggung jawab atas biaya diperlukan fotokopi bukti keuangan, seperti rekening Koran atau buku tabungan tiga bulan terakhir (bila penanggung jawab biaya bukan pemohon seperti ayah/ibu, maka harus melampirkan dokumen yang dapat membuktikan hubungan dengan penanggung jawab biaya). Saran saya untuk bukti keuangan ini, paling tidak selama tiga bulan terakhir cash flow tabungan terbilang normal, tidak ada dana besar yang tiba-tiba masuk karena akan membuat curiga. Untuk nominal tabungan minimal yang mengendap, saya selalu melakukan perhitungan seperti ini: (Biaya hidup harian di Jepang X Lama tinggal di Jepang + Harga tiket pesawat) + 10% dari jumlah total perhitungan awal. 

Dokumen diatas harus disusun sesuai urutan dari nomor 1 – 8 sebelum diserahkan di loket. Biaya visa sebesar Rp 330.000 dibayar saat mengambil visa, visa dapat diambil dalam tiga hari kerja. Saat menyerahkan dokumen, petugas sama sekali tidak mewawancarai ataupun memeriksa dokumen saya. Dia hanya mengecek kelengkapan dokumen, memberi stempel lalu memberi saya tanda terima. Beberapan jam setelahnya saya mendapat telepon dari Konsulat Jenderal Jepang yang mengatakan dokumen saya tidak lengkap dan diharuskan kembali. Saya kembali ke Konsulat Jenderal Jepang sambil mengingat-ingat, rasanya semua dokumen sudah saya isi dan lengkapi. Di Konsulat Jenderal Jepang, ternyata saya belum memberi tanda contreng pada beberapa pernyataan di formulir pengajuan visa. Hhhh, hal kecil yang membuat saya jadi bolak-balik dan membuang waktu. Memang, saat pengajuan visa semua dokumen harus dicek dan diteliti kembali untuk menghindari buang-buang waktu dan tenaga seperti ini. 

Saya menggunakan Air Asia untuk penerbangan menuju Jepang dengan transit selama tiga jam di Kuala Lumpur. Harus diakui, saya cukup terkejut saat sampai di bandara KLIA 2. Sebuah bandara yang besar dan megah! Sunggup saya tak habis pikir bagaimana Tony Fernandes begitu serius menggarap Air Asia dan membangung KLIA 2 sebagai markas utamanya. Tiga jam di KLIA 2 saya habiskan untuk bekeliling singkat bandara dan menemukan spot-spot menyenangkan untuk menghabiskan waktu: movie room, kid zone, bahkan ada beberapa spot yang dikhususkan untuk tidur.

 Movie room

 Jadwal keberangkatan yang cukup padat

 Bisa santai-santai, tiduran, atau baby sitting disini




Penerbangan Kuala Lumpur – Kansai Osaka memakan waktu enam jam. Mengingat ini adalah penerbangan berbudget rendah, jangan harap mendapat fasilitas bantal, selimut, dan in-flight entertainment. Semua memang tersedia, namun dengan biaya tambahan. Jadi, siapkan bantal leher, selimut tipis/ sarung bali/ jaket untuk menghalau dingin, dan penuhi perangkat elektronik dengan film atau buku kesayangan. Make yourself as comfortable as you can. Walau demikian semua persiapan itu bagi saya akhirnya sia-sia. Tidak ada yang mampu membunuh rasa jenuh dan bosan selama berada di dalam pesawat. 

Enam jam mati gaya di pesawat sungguh bukan pengalaman menyenangkan. Saya buru-buru keluar pesawat dan menuju imigrasi setibanya di Kansai Airport. Proses imigrasi berjalan cepat dan efisien. Tidak ada pertanyaan aneh-aneh dan paspor saya mendapat cap dengan mulus. Melihat ke sekeliling, dengan orang-orang asing, bahasa asing, dan bentuk tulisan yang tidak familiar, am I already in Japan? Rasanya masih sulit untuk percaya bahwa saya sudah berada di Jepang. Sedikit gemetar saya membuka itinerary untuk mencari tempat salat, ada tiga prayer room di Kansai Airport: Gate 16 dan Gate 26 yang berada di area keberangkatan internasional, yang terakhir berada di lantai 3 persis di belakang UNIQLO. Ketiga prayer room ini berada di terminal 1. Masih jet lag dengan kondisi bandara, saya memutuskan ke prayer room yang berada di lantai tiga dengan asumsi akan lebih mudah ditemukan. Saat menuju lantai tiga, saya melihat di lantai dua bandara sudah banyak orang yang menempati bangku bandara untuk tempat bermalam. 

 Arah prayer room

 Bagian dalam prayer room. Hanya berisi sajadah sebagai perangkat salat

Tempat wudhu

Menjelang pukul 11 malam mayoritas semua toko di Kansai Airport sudah tutup. Suasana sepi dan sedikit gelap saat saya mencari prayer room. Letak prayer room sedikit terpencil, walau demikian ukurannya cukup luas dan nyaman. Selesai salat saya kembali ke lantai dua untuk mencari bangku kosong sebagai tempat bermalam. Sialnya, seluruh bangku di lantai dua sudah penuh terisi. Bermalam di Kansai Airport memang menjadi pilihan favorit kebanyakan orang. Saran saya jika berencana bermalam di Kansai Airport, secepat mungkin selesaikan urusan imigrasi dan bagasi, setelah itu segera cari tempat duduk yang nyaman untuk bermalam. Jika ingin ke toilet atau salat, titipkan tempat duduk kepada ‘tetangga sebelah,’ jangan lupa simpan ransel yang kira-kira aman untuk ditinggal di atas kursi agar kursi tidak terlihat kosong. 

Tidak memiliki pilihan lain akhirnya saya kembali ke prayer room untuk bermalam disana. Untungnya prayer room wanita dan pria dipisah, jadi masih nyaman untuk merebahkan diri di atas karpet. Beberapa orang terlihat sudah mengambil posisi untuk tidur. Dengan bermodalkan sajadah sebagai alas tambahan dan mukena sebagai lapisan tambahan penghalau dingin, saya melewatkan malam pertama di Jepang. Ah, what an intro to start my journey in Japan. 

Minggu, 01 November 2015

Blogging Because Sharing is Caring

Setelah sekian lama hiatus (dan tidak bisa memilih kalimat pembuka yang cukup baik), saya akan mengawali postingan ini dengan sebuah pertanyaan? Untuk apa kalian nge-blog? Pertanyaan yang cukup berat dan mendasar yang bahkan para blogger pun enggan untuk menjawabnya. Namun nyatanya pertanyaan ini mampu membangunkan saya dari tidur panjang. 

Saya pernah menyebut blogging sebagai passion. Hal yang bahkan tidak dibayar pun saya mau melakukannya. Hal yang saya bahagia melakukannya. Tapi ternyata kata sakti bernama passion juga dapat dipatahkan oleh dalih kesibukan. Tambahkan pula kata malas maka sehebat apapun sebuah passion, dia akan mati dengan mudahnya. 

Nyaris sepuluh bulan saya total hiatus. Bulan-bulan sebelumnya pun hanya sedikit sekali postingan yang saya muat dalam laman ini. Seorang teman pernah berkomentar, “Cha, jarang nge-blog tapi travel jalan terus.” Iya, saya memang melakukan banyak perjalanan, yang niatnya akan saya tuliskan di blog seperti biasa, namun niat itu hanya mengendap lalu akhirnya terlupakan. 

Sebut saya idealis, namun beberapa tahun belakangan ini saya ingin membuat catatan perjalanan yang lebih mengarah pada travelogue, bukan sekedar panduan perjalanan yang semata membagikan itinerary, rincian biaya, berbagai tips ‘how to…’ Saya ingin melakukan pendekatan personal, yang ternyata lebih menguras pikiran saat menuangkannya dalam bentuk tulisan sehingga saya tidak pernah puas dengan hasilnya. Saya berpikir terlalu rumit, terlalu mengejar kesempurnaan, terlalu ingin terlihat berbeda dengan travel blogger lain. Dan ujungnya malah tidak ada postingan sama sekali…

Saya pernah malu sekali saat seorang travel blogger mengirim email, “Cha, aku cari-cari tulisan kamu tentang Lombok di blog kok belum ada ya? Bisa minta link-nya? Aku mau ke Lombok akhir bulan ini.” Malu sekaligus sedih, karena saya hanya sekedar share foto-foto Lombok dalam social media dan blog tanpa ada tulisan sedikitpun. Padahal ternyata, tulisan itu akan dapat membantu blogger lainnya. Pada akhirnya, saya meminta maaf dan mengirimkan itinerary serta beberapa pengalaman serta tips di Lombok lewat email. 

Dari kejadian itu seharusnya saya sadar, beberapa travel blogger yang mengetahui record perjalanan saya dari social media ternyata masih mengandalkan saya dalam mencari informasi. Seharusnya ini melecut saya untuk kembali menulis dan berbagi, namun nyatanya saya masih tetap tenggelam dalam hiatus panjang. 

Salah satu kejadian yang cukup menampar saya terjadi di Osaka, Jepang beberapa waktu yang lalu. Salah seorang roommate saya ternyata orang Indonesia yang juga solo traveling. Kami berbicara banyak tentang rencana selama di Jepang dan dia mengatakan betapa terbantunya dia saat menyusun itinerary dari tulisan para blogger. Kata saya, “pasti kamu baca blognya mbak Vicky ya,” karena tulisan si mbak ini memang super detail dan saya pun banyak terbantu olehnya. Ucapan saya di-iya-kan oleh dia, dan dibalas oleh pertanyaan, “kenal mbak Vicky darimana?” Dari blog, tentu saja. Dengan mudah dia menyimpulkan, “oh, travel blogger juga ya? Nama blognya apa? Nanti aku mampir ya.”

Saya tertegun sebelum menjawab, “Merry go Round, tapi udah lama hiatus…”

Malu. Sedih. Merasa menyia-nyiakan sekian pengalaman yang seharusnya bisa saya bagi pada orang lain. 

Beranjak ke Kyoto, di tempat saya menginap ternyata banyak sekali orang Indonesia. Usut punya usut, tempat saya menginap mendapat banyak review positif dari travel blogger Indonesia sehingga mereka memutuskan untuk menginap disana. Beberapa nama travel blogger yang disebutkan pun tidak asing di telinga saya. 

Terakhir, dalam pesawat pulang dari Tokyo menuju Kuala Lumpur. Penumpang sebelah saya, seorang ibu-ibu yang duduk terpisah dari rombongannya senang sekali bertukar cerita selama di Jepang. “Kami jalan sendiri, nggak pakai tur jadi lebih bebas. Itinerary-nya dari hasil baca-baca blog orang-orang yang pernah ke Jepang. Kamu suka travel begini juga pasti nge-blog juga ya?” tembaknya langsung. 

Lagi-lagi saya merasa tertampar. “Iya, nge-blog, tapi udah lama nggak nulis,” aku saya.

“Wah, nulis dong, itu ngebantu orang-orang awam seperti saya loh.” Kemudian dia meminta alamat blog saya dan saya pun berjanji akan menulis lagi. 

Kembali lagi pada pertanyaan saya di atas. Beberapa orang nge-blog karena passion, idealisme, uang, imbalan, kuis, lomba, event, sebagai buzzer, materi bukunya kelak, pamer, narsis, bentuk eksistensi diri, dan beribu motif lain yang dapat dijadikan alasan. Apapun maksud mereka menulis di blog, toh pada akhirnya tulisan itu akan menemukan ‘fungsinya’ sendiri. Saat saya akan membeli make up, tak jarang saya membaca review dari pada beauty blogger yang mengerti benar produk yang mereka bahas. Ketika saya ingin mencoba kuliner di suatu daerah, saya merujuk pada tulisan para food blogger. Dan saat akan melakukan perjalanan, saya membaca pengalaman travel blogger. Tanpa disadari, tulisan yang dibuat para blogger ini sebenarnya sangat membantu manusia awam seperti saya. 

Jadi, berhentilah berpikir terlalu rumit,berhenti mengejar kesempurnaan, berhenti berusaha terlihat berbeda dengan travel blogger lain. Kembali pada motif dasar: menulis untuk berbagi, karena sharing is caring. Menulis, membagi cerita kepada dunia, apapun latar belakang yang mendasarinya. Sharing is caring. Kalian tidak akan pernah tau bagaimana tulisan yang ter-publish di laman internet akan membantu orang lain. Sharing is caring, karena itu saya kembali menulis. 

Selasa, 24 Februari 2015

Regret?

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seseorang dari masa lalu. Seseorang yang pernah menyatakan perasaannya pada saya, namun saya tolak karena saya tidak merasa nyaman pacaran dengan orang yang bekerja di kantor yang sama. Dia... berubah. Auranya terasa berubah. Terlihat lebih matang, lebih dewasa, badannya terlihat lebih berisi. Mau tidak mau saya membayangkan bagaimana rasanya dipeluk oleh dada bidang tersebut. Ah, mengapa lelaki yang sudah menikah cenderung terlihat menarik dan lebih yummy, sih? Kalau saja dulu saya tidak menolak perasaannya, dada bidang itu pasti sekarang jadi milik pribadi saya. Kalau saja dulu saya membalas perasaannya, mungkin saya sudah menikah dengannya. 

Bertemu dengan seseorang dari masa lalu cenderung memacu otak saya untuk memutar berbagai memori. Berbagai kenangan diputar tanpa saya mampu mencegahnya. Kali ini, otak saya dengan teganya memilih untuk mengingatkan saya pada sederet kisah kasih yang gagal dengan mengenaskan. Dimulai dengan mantan pacar saat kuliah dulu. Iya, mantan pacar yang sering banget saya bahas setiap bulan Mei, yang saya drama banget selama proses move on dari dia. Andai saja dulu saya lebih dewasa, andai saja saya dulu tidak seegois itu, mungkin hubungan kami masih bisa bertahan. Mungkin hubungan kami bisa sampai tahap pernikahan. Mungkin....

Tapi perasaan melankolis dan drama saya dipatahkan oleh pikiran logis. Kalau saya masih bersama dengan mantan saya itu, saya tidak akan pernah tumbuh dewasa. Jalan pikiran saya tidak akan pernah berkembang. Saya akan tetap bersifat kanak-kanak yang seluruh keinginannya harus dipenuhi saat itu juga. Ya, itulah saya jaman kuliah dulu, si egois yang kekanak-kanakan. Jalan saya untuk bertumbuh dewasa adalah dengan merasakan sakit hati, yang menusuk dan meninggalkan luka dalam. *oke, mulai drama lagi*. Lalu saya mencuri pandang lagi pada seseorang dari masa lalu yang kebetulan mampir ke kantor saya. Yang dada bidangnya masih membuat saya meneteskan air liur, Kalau dulu saya memilih bersama dia mungkin sekarang saya sudah menikah dengannya. Tapi saya tidak akan sempat bertemu dengan A...

Bertemu dengan A entah harus saya sebut sebagai bencana atau anugerah. Atau mungkin keduanya. Tapi saya tahu, tanpa A hadir dalam hidup saya, saya tidak akan pernah berani untuk bermimpi. Saya hanya akan menjalani kehidupan yang monoton. Tanpa mimpi dan cita-cita. Jika A tidak pernah hadir dalam hidup saya, saya belum tentu berani pergi mengelana seorang diri ke Eropa, nekat menulis buku, bertemu dengan begitu banyak orang-orang baru.

Lalu saya ingat dengan Teddy. Lelaki yang memberi satu cerita yang mampu saya tuangkan dalam travelogue. Sebuah perkenalan singkat, perjalanan singkat, pertemanan singkat, namun tidak pernah saya sesali. 

Satu hal yang saya sadari dari 'putar ulang memori' ini, bahwa setiap keputusan akan membawa kita kepada cerita yang berbeda. Kepada hidup yang berbeda. Setiap orang yang hadir dalam hidup kita akan membawa kita pada percabangan pilihan, mana yang kita pilih akan menentukan jalan hidup kita selanjutnya. Dan apakah saya menyesal dengan segala pilihan yang saya buat sampai detik ini, sampai waktu kembali menghitung mundur usia saya, jawabannya adalah tidak. 

Have I ever regret my decision in life? 
Never!

Apa yang membuat seseorang dikatakan dewasa? Menurut saya ketika seseorang mampu memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya dalam hidup, maka dia dapat dikatakan dewasa. 


Happy birthday, me.

Minggu, 22 Februari 2015

When You Take A Picture Of Me

When I take a picture of you


When you take a picture of me


ITU FOKUSNYA KEMANAAAA??????

Suka ngalamin kejadian seperti itu nggak? Waktu kita motret teman perjalanan hasilnya kece badai. Giliran teman yang motret kita, hasilnya malah nggak jelas. Fokusnya kemana, blurnya sebelah mana, komposisinya nggak pas, dan lain sebagainya. Saya sih udah kenyang banget sama pengalaman seperti itu, apalagi waktu pakai DSLR dengan lensa bukaan besar. Fokus melenceng sedikit saja, hancur sudah hasil foto. 

Marah-marah sama teman yang memotret jelas nggak akan membantu, yang ada malah pundung nggak jelas selama sisa perjalanan. Which I tell ya, itu nggak enak banget. Mau jalan-jalan senang-senang tapi kok malah ngomel nggak penting. Nah, daripada ngomel panjang lebar, atau diem-dieman dan berpotensi hubungan pertemanan bubar jalan setelah acara jalan-jalan selesai, lebih baik mempraktekkan cara berikut:

- Selalu, selalu, dan selalu cek hasil foto jepretan teman kamu 
Dulu saya paling males ngecek hasil foto, alesannya takut baterai kamera cepat habis kalau kebanyakan ngecek foto. Padahal ngecek hasil foto itu penting untuk melihat kekurangan dan kesalahan foto. Dari situ kita bisa memperbaikinya, misal atur ulang komposisi foto, ubah titik fokus, ganti white balance, dan lain sebagainya. Jangan sampai nyesel setelah liburan selesai, waktu liat hasil foto di komputer, dan kebanyakan hasil foto jepretan teman gagal semua. Kalau urusan takut baterai kamera habis sih, pastiin aja setiap malam baterai kamera di-charge samapi full. Kalau kamu ukurannya narsistik tingkat akut, mungkin perlu pertimbangkan bawa baterai sekalian memory card cadangan. 

- Ajari basic dasar fotografi ke teman perjalanan
Mungkin kamu sudah mengerti basic ilmu fotografi untuk menghasilkan foto yang cling dan catchy, tapi belum tentu teman perjalanan kamu memahami hal tersebut. Sebelum memotret, atau kalau perlu sebelum perjalanan dimulai, ajarkan sedikit tentang basic fotografi. Nggak usah yang ribet-ribet, takutnya teman perjalanan kamu malah ruwet dan males bantuin motret kamu, ajari aja rule of third dengan cara membuat garis imaginer di layar kamera (prinsip rule of third adalah membagi layar kamera menggunakan masing-masing tiga garis vertikal dan tiga garis horizontal sehingga layar kamera memiliki sembilan kotak sama besar, objek foto ditempatkan pada titik dimana garis vertikal dan horizontal tersebut saling bersinggungan). Ajari juga teknik framing untuk membingkai foto menggunakan benda alam atau material yang sudah ada. 
Yang paling penting, ajari teman mengenali titik fokus kamera. Pada kamera DSLR biasanya titik fokus berwarna merah sedangkan pada kamera mirrorless titik fokus berupa kotak berwarna hijau. Pastikan teman menempatkan titik fokus ini pada objek foto, alias kamu!

- Beri contoh dengan memotret teman terlebih dahulu
Ini cara yang paling sering saya terapkan. Saya mengarahkan teman dahulu, mencari komposisi foto yang baik, mengatur settingan kamera (aperture, shutter speed, ISO), dan mengatur titik fokus. Jepret, perlihatkan ke teman, dan minta dia memotret kamu sesuai dengan komposisi tersebut. Dan ingatkan teman untuk menempatkan titik fokus pada diri kamu. Ini penting karena jika titik fokus melenceng, malah badan kamu yang dibuat blur oleh kamera. 

- Beri pengertian
Ini tips tambahan sih, tapi tidak ada salahnya dilakukan untuk menghindari 'gesekan' dalam perjalanan. Contohnya saya suka motret dan cukup perfeksionis, beri pengertian pada teman kalau saya akan menghabiskan waktu sedikit lebih lama untuk memotret. Kalau teman perjalanan saya jiwa narsistiknya tidak tertolong lagi, dimana setiap jepretan foto harus ada wajah dia nongol di dalamnya, saya katakan kalau saya ingin memotret landskap yang terbebas dari gaya narsis si teman. Simpel sih, tapi penting banget untuk menghindari acara diem-dieman kayak orang pacaran lagi marahan. 

Dari tips-tips di atas, ini hasil foto teman saya: 


Not bad, kan :)

Sabtu, 07 Februari 2015

Bandara, Pesawat, dan Cinta Papa

Bandara Soekarno Hatta awal 2010

Banyak orang memulai pengalaman pertama mereka menggunakan pesawat saat masih kecil. Saya ingat, banyak teman SD bercerita pengalaman mudik mereka menggunakan pesawat. Saya juga ingat banyak cerita pendek di majalah Bobo yang menceritakan pengalaman teman-teman pembaca saat menggunakan pesawat. "Saat aku terbang, rumah-rumah dan mobil-mobil makin lama terlihat semakin mengecil seperti semut," demikian mereka mendeskripsikan pengalaman tersebut.

Sementara saya, baru memulai pengalaman tersebut saat ini. Menggunakan budget airlines dengan tagline terkenal mereka Now Everyone Can Fly. Yah, kalau bukan karena budget airlines yang memberi harga luar biasa murah, mungkin saya tidak akan pernah merasakan pengalaman terbang dan melanglang jauh ke negeri seberang. 

Kabin pesawat bergetar halus saat pesawat meninggalkan apron. Dari jendela saya melihat gedung bandara Soekarno Hatta yang tidak jauh berbeda dengan ingatan saya berpuluh tahun silam. Ya, walau ini adalah kali pertama saya menggunakan pesawat, namun bandara bukanlah tempat yang asing bagi saya. Lalu begitu saja. Seiring dengan makin cepatnya pesawat dipacu di runway, semakin berhambur pula kenangan demi kenangan masa kecil dalam memori. Menghadirkan perasaan campur aduk yang tidak dapat terdefinisikan kata-kata. Meluap hingga tenggorokan terasa sesak dan mata ikut panas. Saya ingat Papa. 

Dulu. Dahulu sekali ketika saya masih SD, papa sering membawa saya dan Adik ke bandara. Dengan berganti angkutan umum, Papa mengajak kami ke bandara. Bukan untuk terbang, tapi untuk melihat pesawat datang dan pergi. Saat itu lantai dua Bandara Soekarno Hatta dibuka untuk umum dan kami dapat duduk-duduk disana menikmati pertunjukan pesawat langsung di depan mata. Desingan keras pesawat terdengar saat lepas landas dan terbang ke langit luas, lalu berganti dengan decitan rem saat pesawat lain mendarat. Hanya pemandangan sederhana seperti itu, namun saya dan Adik luar biasa senang melihatnya. Tak pernah bosan. Kami berlarian kesana kemari untuk mendapat tempat terbaik melihat pesawat yang datang dan pergi, tak jarang kami melambaikan tangan kepada pesawat yang pergi walau tak ada satu orang pun yang kami kenal dalam pesawat tersebut, kadang saya bertanya dalam hati, kemana pesawat tersebut pergi. 

Saat itu terbang menggunakan pesawat adalah hal mewah dan mahal. Tidak semua orang dapat mencobanya. Namun tidak pernah terbit rasa iri saat teman-teman masa kecil bercerita pengalaman terbang mereka. Mungkin karena sering melihat pesawat take off dan landing saya jadi tersugesti untuk dapat merasakan sensasi terbang. Malah saya bisa membalas cerita mereka dengan pengalaman saya saat jalan-jalan ke bandara. Melihat orang-orang yang sibuk hilir mudik kesana-kemari membawa koper besar, melihat adegan perpisahan dan sambutan kedatangan, makan donat franchise asing yang selalu Papa belikan saat kami berada di sana, dan tentu saja yang menjadi atraksi utama di bandara: melihat pesawat besar datang dan pergi. 

Sesungguhnya bandara bukan tempat ideal untuk mengajak anak-anak rekreasi. Mungkin hanya Papa seorang yang menjadikan kegiatan ini sebagai acara rekreasi keluarga. Mungkin hanya kami yang datang ke bandara bukan untuk naik pesawat. 

'Aku lagi terbang, Pa,' bisik saya dalam hati. Berharap kalimat tersebut sampai ke Papa. Berpuluh tahun berlalu dari masa kecil saya, dan kini, saat ini, saya terbang. 

Sesungguhnya bandara bukan tempat ideal sebagai tempat bermain. Namun Papa berulang kali mengajak anak-anaknya kesana. Dia menatap kami berlarian dan melambai pada pesawat yang pergi. Dalam hatinya dia berucap, 'suatu hari nanti, pergilah, terbanglah, lihatlah dunia yang luas ini dengan mata kalian.' 

Dan saat itu, di dalam kabin pesawat, saya merasa sedang mendekap salah satu impian Papa.


Boarding Room Bandara Halim Perdanakusuma Maret 2014

Tak hanya Bandara Soekarno Hatta, Papa juga suka mengajak anak-anaknya pergi ke Bandara Halim Perdanakusuma. Itu baru saya ingat saat sedang menunggu di boarding room Bandara Halim Perdanakusuma. Saya mengulum senyum, lagi-lagi teringat Papa saat sedang berada di bandara. 

Berbeda dengan Bandara Soekarno Hatta, acara jalan-jalan ke Bandara Halim Perdanakusuma ini jauh lebih menyenangkan karena kami dapat melihat atraksi pesawat tempur yang menjadi bagian dari acara ulang tahun TNI AU. Suara pesawat yang mendesing terdengar berkali-kali lebih kencang. Pesawat tempur terbang begitu rendah hingga saya berjongkok takut terkena pesawat. Belasan hingga puluhan pesawat tempur kemudian terbang membentuk beragam formasi, mengeluarkan warna-warni asap di udara, begitu meriah hingga seluruh penonton bertepuk-tangan riuh. 

Senyum saya kemudian berganti menjadi gelengan kepala mengingat kebiasaan Papa membawa anak-anaknya ke bandara ini. Betapa tidak, jarak Bogor dengan kedua bandara yang berada di Jakarta ini tidaklah dekat. Dulu Papa tidak menggunakan bus Damri, beliau mengajak anak-anaknya naik turun angkutan umum demi dapat sampai ke bandara dan melihat pesawat. Satu waktu malah kami sekeluarga terlambat sampai ke Bandara Halim Perdanakusuma dan melihat atraksi pesawat tempur dari dalam bus padat penumpang. Tetap saja hal tersebut tidak mengurangi rasa antusias saya dan Adik, berdua kami menempelkan wajah di jendela bus demi dapat melihat atraksi pesawat tempur tersebut. 

Di bandara saya selalu merasa hati saya menjadi hangat oleh begitu banyak kenangan masa kecil. Saya merasakan cinta yang begitu besar dari Papa. Seorang yang bermimpi dan bercita-cita besar untuk anak-anaknya. Seorang yang menginginkan anak-anaknya mengembangkan sayap dan terbang sejauh yang mereka bisa. 

Dan kali ini, saya ke bandara bukan untuk melihat pesawat datang dan pergi. Saya ikut pergi dengan pesawat tersebut. Saya pergi untuk melihat dunia.


Tentang Papa

Kali pertama Papa terbang adalah saat beliau pergi naik haji. Sebuah pengalaman pertama yang tentunya akan sangat membekas di benak beliau. Papa akan dengan senang hati bercerita pengalamannya saat terbang. 

"Duh, capek teh," jawab beliau heboh. "Sembilan jam kaki Papa ditekuk di pesawat. Mana jarak antar kursinya sempit banget lagi." 

Saya melirik perut buncit Papa yang mungkin menjadi penyebab jarak antar kursi menjadi demikian sempit. 

"Papa baru tau. Ada ya pesawat sekelas metromini begitu. Kayaknya jumlah kursinya sengaja dibuat melebihi jumlah kursi normal biar bisa mengangkut banyak penumpang."

Saya hanya bisa menggelengkan kepala mendengarnya. Daya imajinasi Papa ini memang luar biasa hebat! Kemudian Papa berganti tanya pada saya, "kamu ke Eropa dulu berapa jam di pesawat?"

Saya mengingat sebentar, "Jakarta - Doha delapan jam, lanjut lagi Doha - Stockholm enam jam."

"Oh, nggak jauh beda ya sama Papa," ucapnya sombong.

Papa memang tidak mau kalah jika membandingkan pengalaman terbangnya kepada siapa pun. 

Pengalaman kedua Papa menggunakan pesawat adalah saat beliau pulang kampung ke Bengkulu. Hal di luar kebiasaan karena Papa lebih sering menggunakan mobil untuk pulang kampung. Selain itu jarak dari bandara ke kampung Papa masih berjarak lima jam perjalanan. Ini akan menjadi perjalanan Papa secara mandiri menggunakan pesawat. Tanpa ada yang menemani. 

Berbusa-busa saya menjelaskan proses dan apa saja yang harus Papa lakukan di bandara dan pesawat. "Inget ya Pa, turun di terminal 1C. Di dalem cari antrian maskapai ini yang menuju Bengkulu, tas yang ini masuk bagasi, tas yang ini masuk kabin. Papa udah aku daftarin web check in, dapet duduknya di dekat jendela darurat. Kursinya lebih luas kalau di daerah itu."

Yang dibalas Papa dengan nada congkak, "ah, kalau cuma duduk sempit selama satu jam penerbangan sih nggak masalah. Kalau sembilan jam penerbangan itu baru masalah." 

Saat hari keberangkatan, Papa mengirimkan satu pesan singkat dari boarding room.

'Iya teh, jalan-jalan. Ingat waktu teteh masih kecil kita naik bis mau nonton pesawat." 


Dan Papa pun ternyata merasakan apa yang selalu saya rasakan ketika berada di bandara. 

Minggu, 25 Januari 2015

You Can't Have Everything You Want

"Best time to visit (nama kota atau negara yang akan dikunjungi)" adalah keyword utama saya di mesin pencarian Google sebelum memutuskan membeli tiket pesawat. Timing memang memegang peranan utama ketika saya merencanakan sebuah perjalanan. 

Saya belajar dari pengalaman. Dulu, waktu saya menjadi seorang pejalan amatir, dengan percaya diri saya mengemas celana pendek, kaus, dan beberapa mini dress saat akan berangkat ke Macau. Tidak terbersit sedikitpun untuk mengecek cuaca di Macau di awal Desember sebelum berangkat. Hasilnya? Hujan rintik, angin kencang, dan suhu drop di bawah angka 20 derajat celcius menyambut begitu saya keluar pesawat. Mamam tuh dingin. Selama tiga hari liburan. Mana sama sekali nggak bawa baju hangat lagi. 

Semenjak kejadian 'liburan-sampai-hampir-mati-kedinginan-di-Macau' saya jadi riwil dengan masalah timing ketika akan berangkat ke Skandinavia. Tanya punya tanya, cuaca di Skandinavia itu moody minta ampun. Bahkan teman saya yang tinggal di Oslo bilang salju masih sesekali turun saat musim semi dan suhu bisa anjlok di bawah 10 derajat celcius. Yah, cuaca memang tidak bisa diakali, tapi waktu perjalanan bisa disiasati. Jadilah saya berangkat ke Skandinavia di awal bulan Juni. Masa ketika musim semi berakhir dan musim panas baru dimulai. Tapi itu pun saya tidak berharap banyak dengan matahari musim panas Skandinavia. Musim panas di Skandinavia termasuk musim panas abal-abal. Bagaimana bisa suhu 23 derajat celcius dikatakan panas untuk seseorang yang datang dari negara tropis. Pengennya sih menyambangi Skandinavia saat puncak musim panas dimana suhu menjadi lebih bersahabat dan sederet festival menunggu giliran tampil. Yang terpaksa menjadi angan-angan belaka saat mengingat membludaknya turis dari berbagai pelosok diikuti dengan naiknya harga penginapan ketika musim panas mencapai puncaknya. 

Tahun 2015 ini saya kembali dibayangi pertanyaan yang sama: best time to visit Japan. Pilihan saya jatuh pada musim gugur yang menjadi waktu terbaik kedua setelah musim semi. Walau tidak dapat melihat keindahan bunga sakura saat musim semi, musim gugur menawarkan warna-warni alam yang tidak kalah cantik. Masalahnya adalah, kemungkinan terjadinya topan yang mengawali datangnya musim gugur. Oktober akhirnya menjadi waktu pilihan dengan pertimbangan angin topan sudah mereda dan suhu belum terlalu dingin. Namun ternyata saya melewatkan satu poin penting disini. Warna-warni musim gugur baru akan mulai tampak di awal November! Mati-matian saya googling warna musim gugur di bulan Oktober dan yang terlihat hanya warna hijau blas. Tanpa ada warna kuning atau merah pepohonan khas musim gugur. Fix salah pilih waktu, sodara-sodara...

Togetsukyo Bridge in autumn 
Photo courtesy: Japan-guide.com

Sedih sih. Yang membuat musim gugur di Jepang itu menarik kan, warna-warni musim gugurnya. Dan bisa dipastikan warna-warni tersebut belum akan nampak saat saya kesana. Tapi saya ingat satu petuah bijak: you can't have everything you want. Mau lihat warna-warni musim gugur tapi nggak kuat dingin, ya nggak bisa. Saya harus memilih, dan untuk hal ini saya lebih memilih cuaca hangat. Mau jalan-jalan ke Eropa murah tapi nggak mau unyel-unyelan? Ya berangkat sewaktu musim semi baru berakhir dengan konsekuensi cuaca masih lumayan dingin. Kalau mau dapat semua ya harus siap-siap keluar budget lebih. As simple as that. You just can't have everything you want, darling.


Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi yang diadakan di blog pergidulu.

Minggu, 11 Januari 2015

Satu Senja di Anyer

Entah kesambet hantu darimana, Exort tiba-tiba menghubungi saya hari Jumat pagi. Pesannya singkat saja, "Ros, Sabtu ada acara nggak?" Pesan singkat tersebut berlanjut menjadi sebuah percakapan, dan percakapan berlanjut menjadi sebuah ajakan super mendadak: ke Anyer Sabtu sore karena Exort sedang free nggak ada kerjaan. 

Iya, Exort adalah salah satu teman blogger saya semenjak saya masih awal banget nge-blog. Dan semenjak perkenalan pertama saya sudah tahu persis kalau manusia ini sibuknya bukan main. Jadi agak ajaib kalau Exort tiba-tiba mengajak saya jalan-jalan duluan. Lebih ajaib lagi karena dia juga sudah mengajak Mila, yang seringkali mengalami on-off-friendship dengan Exort, untuk bergabung bersama. 

Jadilah Sabtu siang itu kami bertiga meluncur menuju Anyer hanya demi melihat sunset. Sungguh rencana yang absurb, Jakarta - Anyer tidaklah dekat, paling tidak menghabiskan waktu 6 jam untuk pulang-pergi kesana. Hanya demi sebuah sunset. Saya cuma kasian sama Mila yang nyetir pulang-pergi sendirian karena saya dan Exort nggak bisa nyetir. 

Lokasi pertama yang kami tuju adalah sebuah mercusuar di Anyer. Disana Exort mulai sibuk motret, Mila melipir ngopi sambil baca buku, saya cuma jalan-jalan santai nemenin Exort motret. Sama sekali nggak tertarik ikutan motret, padahal saya bawa kamera lengkap dengan tripod-nya. Bosan dengan mercusuar, kami melipir lagi mencari pantai yang cukup nyaman untuk melihat sunset. Ah ya, yang menyebalkan dari Anyer adalah harga parkir kendaraannya yang sangat mahal. Sekali masuk dan parkir biayanya antara Rp 25.000 - Rp 50.000

Mercusuar

Nyebur... Jangan... Nyebur... Jangan...

Di lokasi yang kedua ini terdapat sebuah resort tepi pantai yang tampaknya sudah tidak laku dan tidak disewakan lagi. Pantainya sendiri lumayan untuk duduk-duduk santai menikmati suasana. Exort lagi-lagi sibuk memotret dan Mila asik memainkan ukulelenya. Saya bengong memikirkan malam minggu yang dihabiskan dengan dua manusia absurb ini. 

Setelah puas memotret pemandangan, yang memang menjadi kesukaan Exort, dia memotret saya dan Mila. Dari foto-foto yang awalnya manis dan ceria, menjadi foto ajaib dengan berbagai pose aneh. 

Foto tepi pantai

Pose loncat-loncat

Kata Mila, caption untuk foto ini adalah: menanti jodoh datang dari balik gunung Krakatau :)))

Pose ala model kalender

Pose yoga

Pose melankolis memandang sunset

Pose berantem

Tiba-tiba kayang

Jujur, saya juga heran, kok mau-maunya saya pose seperti itu. But that was fun :)

Dan seperti yang selalu saya katakan jika kopdaran dengan Mila dan atau Exort, selalu menyenangkan menghabiskan waktu yang berakhir dengan kejadian absurb seperti ini bersama mereka. 

Exort akhirnya muncul di akhir foto :)

All photos credit belongs to Exort.

Minggu, 04 Januari 2015

Kemana di Jakarta?

Setiap ada teman jauh dari luar kota bertandang ke Jakarta, saya selalu bertanya kepada mereka: "mau kemana di Jakarta?" Tamu yang ditanya pun jawabannya standar, mau main ke Dufan atau belanja keliling mall sampai tabungan dan kartu kredit pendarahan. Tapi, sebagai teman yang baik dan merasa berkewajiban menemani mereka jalan-jalan, saya tidak ingin waktu yang mereka habiskan di Jakarta hanya terbuang percuma di Dufan dan mall. Saya ingin memperlihatkan tempat-tempat menarik di Jakarta yang belum pernah mereka sambangi sebelumnya. Bahkan kalau bisa, tempat-tempat unik di Jakarta yang tidak ada di daerah lain.

Berikut adalah beberapa pilihan saya, mungkin dapat dijadikan ide ketika menjamu teman-teman dari luar kota yang kebetulan mampir ke Jakarta. 

1. Wisata Kota Tua
Jelajah Kota Tua akan terdengar terlalu mainstream, namun tidak dapat dipungkiri tempat wisata ini tetap menjadi favorit, bahkan untuk warga Jabodetabek sekalipun. Apa yang menyenangkan dari Kota Tua? Tentu saja ambiance-nya yang seakan 'melemparkan' pengunjungnya ke masa-masa sebelum kemerdekaan. Ambil museum Fatahillah sebagai awal, berlanjut ke museum Bank Mandiri, museum Bank Indonesia, museum Wayang, museum Seni Rupa dan Keramik. Kelima museum ini masih berada dalam satu kawasan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Bukan tipe museum person? Tempat-tempat tersebut tetap menyenangkan untuk dikunjungi karena menempati bangunan lama. Untuk teman yang hobinya difoto, tempat ini adalah lokasi yang sangat cocok.

Refleksi di salah satu jendela museum Bank Mandiri

Pengunjung museum Bank Mandiri

Bosan dengan museum, di halaman museum Fatahillah bertebaran tukang jajanan kaki lima. Beberapa diantaranya menjual makanan tempo dulu yang sudah sulit ditemui sekarang. Sebutlah es lilin yang menjadi camilan favorit saya saat SD. Selain itu terdapat penyewaan sepeda ontel lengkap dengan topi lebar ala Victorian untuk mengelilingi kawasan Kota Tua.  

Jika berkunjung ke Kota Tua, bersiaplah dengan cuaca panas yang cukup terik. Selain itu kunjungan wisata di Kota Tua cenderung tinggi, ditambah lagi beberapa sekolah tak jarang melakukan study tour yang semakin membuat padat pengunjung.

Postingan saya tentang museum Kota Tua Jakarta dapat dilihat disini.

2. Monas
Saya adalah salah satu warga Jabodetabek yang belum pernah naik ke puncak Monas. Saya juga belum pernah bertandang lagi ke Monas setelah masa kanak-kanak lewat, padahal rute bus TransJakarta yang saya tumpangi selalu melewati tugu legendaris yang menjadi trademark Jakarta ini. Setelah sekian lama tidak menyambangi Monas, akhirnya saya menjejakkan kaki kembali ke tempat itu karena JIFFest open air cinema diputar disana. Setelah menonton JIFFest dan iseng mengelilingi Monas, ternyata ada event lain yang sedang berlangsung. Kalau tidak salah ajang lomba Folk Dance International yang diikuti berbagai negara. Lumayan banget, bisa nonton tari tradisional dari negara antah berantah yang jauh dari Indonesia. 

Monas juga sangat ramai! Beragam tukang jualan kaki lima tumplek-blek disana. Yang mencuri perhatian saya justru seniman jalanan yang berdandan seperti hantu dan hanya diam di jalanan yang ramai, pengunjung yang ingin berfoto dan atau berinteraksi dengan hantu ini harus membayar ke dalam tempat sampah yang terletak di depan sang hantu. Gaya seniman jalanan masa kini yang mengingatkan akan kunjungan saya saat menyusuri beberapa jalan terkenal di Eropa.

Monas malam hari.

Saat malam hari tugu Monas akan disinari lampu yang akan berubah warna. Membuat tugu tersebut terlihat semakin megah sekaligus anggun. Saat itulah saya menyadari, Monas terlihat sangat cantik juga menarik. Wisata kota murah meriah yang menyenangkan. Dan siapa tahu, saat mengajak teman main ke Monas akan ada event menarik lainnya yang sedang berlangsung disana. 

3. Istana Merdeka
Setiap melihat upacara kemerdekaan Istana Merdeka di TV, saya selalu penasaran ingin masuk ke dalamnya. Saya memasukkan Istana Merdeka ke dalam list ini karena ternyata Istana Merdeka membuka kunjungan untuk masyarakat umum. Setiap hari Sabtu dan Minggu masyarakat umum dapat bertandang ke Istana Merdeka tanpa harus mengajukan surat ijin kunjungan sebelumnya. Untuk bertandang ke Istana Merdeka, pengunjung masuk melalui gerbang Sekretariat Negara (dari halte busway Harmoni jalan sedikit ke arah Monas). 

Persyaratan utama pengunjung Istana Merdeka adalah membawa kartu identitas asli dan berpakaian sopan (tidak diperkenankan memakai celana jeans, celana pendek, rok di atas lutut, dan sendal). Semua barang bawaan HARUS dititipkan, jadi tidak perlu repot membawa kamera DSLR profesional berukuran besar. Satu-satunya foto kenang-kenangan saat mengunjungi Istana Merdeka adalah foto bersama di pelataran Istana Merdeka, setelah kunjungan selesai foto dapat dicetak dengan harga Rp 10.000 per lembar.

Foto ala menteri yang baru dilantik. Saya ada dimana?

Tur akan membawa pengunjung memasuki Istana Merdeka dan melongok ruangan-ruangan tempat menjamu tamu kenegaraan dari negara tetangga, tempat rapat, sampai ruangan besar tempat Presiden menyampaikan pidato kenegaraan yang disiarkan di TV lokal. Saat saya kesana, ruangan besar memanjang di tengah istana dipenuhi oleh foto-foto jepretan karya Ibu Ani Yudhoyono.

Notes: 
- Saat saya mengunjungi Istana Negara jumlah kunjungan sedang membludak dan sangat padat. Satu guide mengawal sedikitnya 50 orang. Ada baiknya sabar menunggu sampai tidak terlalu padat agar penjelasan guide tentang sejarah Istana Merdeka dan Istana Negara terdengar jelas, juga agar foto bersama di pelararan Istana Merdeka tidak terlampau padat.  
- Disarankan memakai batik saat mengunjugi Istana Merdeka

Persyaratan pengunjung istana

Alur mengunjungi Istana Merdeka dapat dilihat disini. 

4. Mencoba Moda Transportasi Umum
Karena dalam kesehariaannya saya adalah komuter yang bolak-balik Bogor - Jakarta untuk bekerja, saya ingin teman-teman luar kota juga merasakan sensasi berkomuter menggunakan transportasi umum. Teman-teman yang menginap di Bogor berkesempatan mencoba kereta Commuter Line. Sekarang wajah perkeretaapian Jabodetabek sudah sangat berbeda. Tidak ada lagi kereta ekonomi, tidak ada penumpang yang bergelantungan di atap kereta, tidak ada penjual asongan di dalam kereta. Semua kereta sekarang ber-AC dengan sistem tiket elektronik. 

Setelah mencoba CommuterLine, lanjut menggunakan busway. Sistem pembayaran tiket busway juga sekarang sudah menggunakan 'uang elektronik' dengan media kartu, seperti Flazz BCA, E Money Mandiri, Brizzi BRI, dan lainnya. 

Menggunakan transportasi umum bagi saya adalah salah satu cara untuk mengenalkan seseorang pada sebuah kota melalui perspektif masyarakat lokal. 

5. Teknologi 4DX
Indonesia akhirnya memiliki bioskop dengan teknologi 4DX. Kelebihan menonton 4DX adalah kursi yang sedang diduduki ikut bergerak sesuai dengan adegan film yang sedang diputar, kurang lebih sensasinya sama seperti wahana teater simulator di Dufan. Tidak hanya itu, semua panca indra ikut dilibatkan selama pemutaran film, mulai dari wangi-wangian yang ikut tercium, angin yang berhembus, cipratan air, sampai pukulan-pukulan yang diterima oleh tokoh yang sedang bertarung. Bahkan asap dan sinar yang mencekam turut menyertai pemutaran film. Semua inovasi ini membuat penonton seolah ikut 'masuk' ke dalam film. 

4DX. I'm in the movie.

4DX dapat dinikmati di bioskop jaringan Blitzmegaplex. Untuk saat ini, bioskop yang memutar tayangan 4DX adalah Blitzmegaplex Grand Indonesia (Jakarta), Blitzmegaplex Mall of Indonesia (Jakarta), Blitzmegaplex Central Park (Jakarta), dan Blitzmegaplex Paris Van Java (Bandung).

6. Planetarium

Planetarium TIM. 

Jakarta punya planetarium. Ini cukup mengobati rasa kangen warga Jakarta yang sudah tidak dapat melihat bintang karena polusi cahaya yang sudah terlampau parah. Terletak di Taman Ismail Marzuki, Cikini, planetarium ini termasuk yang tertua di Indonesia. Sudah lama saya penasaran dengan planetarium di TIM karena seperti mati suri. Beritanya pun simpang siur, ada yang mengatakan sudah tutup, ada lagi yang mengatakan hanya buka di waktu tertentu. Waktu teman dari Malang datang ke Jakarta iseng-iseng saya ajak ke planetarium, ternyata planerariumnya masih beroperasi dan sama sekali tidak mati suri! Berikut jadwalnya:

Selasa - Kamis : 09.30 - 10.30, 11.00 - 12.00, 13.30 - 14.30, dan 16.30 - 17.30
Jum'at : 9.30 - 10.30, 13.30 - 14.30 dan 16.30 - 17.30
Sabtu - Minggu : 10.00 - 11.00, 11.30 - 12.30, 13.00 - 14.00, dan 14.30 - 15.30
Libur Nasional : Tutup
Senin : TUTUP untuk pemeliharaan

Harga tiketnya juga murah banget, Rp 7.000 untuk dewasa dan Rp 3.500 untuk anak-anak. Planetarium cukup ramai oleh orang tua yang mengajak anak-anaknya. Pilihan wisata edukatif yang murah muriah. Bagian dalam planetarium tempat pertunjukan berlangsung didesain seperti bioskop dengan kursi-kursi nyaman yang dapat diset dalam posisi miring nyaris tiduran. Pendingin ruangan bekerja maksimal memberi oase dari panas terik Jakarta di luar. Pertunjukan dimulai dan lampu digelapkan dan pengunjung dengan bodohnya mengeluarkan gadget serta kamera untuk memotret bintang yang mulai bermunculan di langit kubah. Ah, inilah penyebab utama bintang menghilang dari langit Jakarta.

Kubah planterium. 

Di luar semua gangguan tersebut, pertunjukan yang berlangsung selama satu jam cukup membuat terkesima akan keindahan benda langit dan rasi bintang. Tidak hanya anak kecil, orang dewasa pun akan terpesona oleh keagungan Tuhan dalam melukis langit-Nya. 

7. Car Free Day
Rasanya sekarang car free day sudah jamak dilakukan di banyak kota di Indonesia. Tetap saja, saya merekomendasikan untuk mencoba car free day di Jakarta. Bayangkan, jalan protokol Jakarta, dari Sudirman hingga Thamrin, yang biasanya padat kendaraan dan selalu macet itu menjadi kosong. Hanya ada warga Jakarta yang lari pagi, jalan santai, atau bersepeda dengan busway yang sesekali lewat. Rasanya Jakarta legaaa banget. Udara yang biasanya penuh polusi lumayan terasa segar. Jakarta yang lebih kejam dari ibu tiri itu sedikit melunak saat minggu pagi tiba.

Bebas sepedaan di jalan protokol

Tidak hanya berolahraga, car free day juga sering dijadikan ajang untuk promosi produk makanan atau minuman (lumayan dapet free sample), stasiun radio siaran langsung dari depan menara BCA (lumayan liat performance artis yang diundang live), sampai beragam off air event yang jamak digelar.

Postingan saya tentang car free day Jakarta dapat dilihat disini dan disini.

8. Pasar Santa
Pasar yang satu ini lagi nge-hits banget di kalangan anak-anak Jakarta. Lucu bukan, anak gaul Jakarta yang nge-hits abis mainnya ke pasar. Tentu ada magnet tersendiri yang membuat mereka mau datang ke pasar sehingga Pasar Santa ramai diperbincangkan di social media.

Awalnya Pasar Santa tidak berbeda dengan pasar tradisional pada umumnya. Kini pasar tersebut bertransformasi menjadi tempat 'agata' (anak gaul Jakarta) berkumpul. Yang menghidupkan pasar ini adalah gerai kopi A Bunch of Caffeine Dealer (ABCD). Awalnya pemilik kedai membutuhkan tempat untuk berlatih meramu kopi bersama rekan-rekannya. Harga sewa yang murah menjadi alasan utama mereka menyewa tempat di Pasar Santa. Menilik dari harga sewanya yang murah, pengusaha muda lainnya ikut mencoba peruntungan dengan membuka kedai di Pasar Santa. Hasilnya, Pasar Santa bertransformasi menjadi tempat individu kreatif menyalurkan passion-nya dan tempat nongkrong kaum urban Jakarta.

Yang mencuri perhatian dari Pasar Santa, selain lokasi uniknya yang berada di pasar, adalah kreatifitas desain yang digunakan dalam setiap kedai. Menyenangkan untuk menyusuri lorong-lorong pasar dan menemui desain yang unik dan berbeda.

Masakan Meksiko. 

Ngantriiii... 

Beyond Cendol and Duren Bar. Antriannya bikin ngelus kaki. 

Jika berminat mengunjungi Pasar Santa, ada baiknya memperhatikan hal berikut:
- Kebanyakan pemilik kios adalah pekerja kantoran yang menjadikan kios di Pasar Santa sebagai usaha sampingan sehingga kebanyakan hanya membuka kiosnya di hari Jumat malam, Sabtu. dan Minggu.
- Pasar Santa sengaja tidak memasang AC untuk menciptakan suasana pasar yang sebenarnya. Gunakan pakaian yang nyaman dan menyerap keringat. Bawa ikat atau jepit rambut untuk mengurangi hawa gerah. Lebih baik datang menjelang sore saat matahari sudah tidak terlalu terik.
- Jumlah pengunjung yang ramai membuat antrian di berbagai kios, terutama kios favorit, menjadi sangat panjang. Gunakan sepatu atau sendal yang nyaman.
- Ada baiknya datang beramai-ramai dengan teman lain. Selain bisa gantian antri, juga bisa mencicipi lebih banyak makanan di Pasar Santa. Caranya gampang saja, satu porsi menu dimakan beramai-ramai :)
- Bawa uang tunai untuk memudahkan transaksi pembayaran.

9. Main Ke Pusat Kebudayaan
Di Jakarta tidak sedikit kedutaan luar negeri yang membuka pusat kebudayaan. Sebut saja Erasmus Huis sebagai pusat kebudayaan Belanda, Goethe Huis sebagai pusat kebudayaan Jerman, dan Atamerica yang menjadi pusat kebudayaan America. Pusat kebudayaan ini memiliki agenda acara mingguan dan bulanan yang menarik untuk diikuti. Misalnya acara nonton bareng,  pameran fotografi, sampai mini concert. Agenda acara dapat dicek di website masing-masing pusat kebudayaan.

Selain agenda acara, venue pusat kebudayaan ini tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Erasmus Huis misalnya, bertempat di belakang kedutaan Belanda dan berkonsep taman terbuka minimalis yang nyaman. Atamerica dilengkapi teknologi canggih berupa Google Earth Simulator berukuran super besar.

Sekian list favorit pilihan saya untuk menjamu teman dari luar kota. Kalau ada masukan tempat lain yang seru dan unik, silahkan tulis di kolom komentar ya. 

Kamis, 01 Januari 2015

Berpindah

Tahun 2014 kemarin keluarga saya mengambil satu keputusan besar: pindah rumah. Sebenarnya sudah lama kami ingin pindah rumah tapi kendala demi kendala selalu datang dan menghambat rencana besar tersebut. Saya dan mama adalah dua orang yang sudah masuk dalam kategori 'desperately' ingin pindah rumah. Daerah rumah lama kami memang sudah tidak nyaman lagi untuk menjadi tempat tinggal. Lahan industri telah mengekspansi lahan hunian, truk-truk besar semakin sering lewat, dan macet panjang ikut menjadi rutinitas harian. Saya yang jenuh dengan suasana tersebut malah sempat mengambil satu keputusan ekstrim: pindah ke rumah nenek di Bogor dan hanya pulang ke rumah saat akhir pekan.

Di tahun 2013 papa pensiun dari pekerjaannya. Sebagian uang pensiunnya beliau gunakan untuk membeli rumah di daerah Cibinong. Rumah baru ini berada di kawasan hunian yang mayoritas adalah perumahan. Akses kereta, jalan tol, pusat perbelanjaan dapat dicapai dengan mudah dari tempat tersebut. Benar-benar sebuah rumah di lokasi impian, berbeda 180 derajat dengan kondisi lingkungan rumah kami yang dulu. Masalahnya adalah, adik dan papa saya tidak mau pindah dari rumah lama sebelum rumah lama terjual. 

Keluarga saya pun terpecah. Saya tetap tinggal di Bogor dan hanya pulang saat akhir pekan, mama membagi waktunya dalam seminggu: empat hari di rumah lama, tiga hari di rumah baru, papa yang mendapat pekerjaan baru setelah pensiun tinggal di Karawang selama hari kerja dan hanya pulang saat hari libur, sedangkan adik saya tetap tinggal di rumah lama. Keadaan ini berjalan beberapa waktu hingga akhirnya saya dan mama saling memberi tenggat pada diri masing-masing: setelah lebaran Idul Fitri tahun 2014, kami akan pindah dan menetap di rumah baru. 

Di luar dugaan, pekerjaan baru papa hanya bertahan selama satu tahun dan beliau memutuskan pensiun total. Maka penghuni rumah baru pun bertambah satu orang lagi sementara adik saya yang keras kepala tetap kekeuh tinggal di rumah lama. Dia tidak mau pindah sebelum rumah lama terjual! Hati mama terbelah dua, anaknya yang satu masih tinggal di rumah lama dan yang satu lagi tinggal di rumah baru. Maka mama pun berkunjung ke rumah lama sesering yang dia bisa. Sering mama bercerita kesedihan hatinya melihat kondisi rumah dan adik saya yang tidak terurus. Bagaimanapun, mengurus dua rumah di dua lokasi berbeda yang berjauhan adalah sebuah pekerjaan berat. Hingga akhirnya mama sakit dan nyaris dirawat di rumah sakit. 

Kondisi mama yang sakit dan kami sekeluarga tahu persis apa penyebabnya membuat kami merancang ulang rencana yang telah dibuat. Rumah lama harus segera dijual dan kami sekeluarga berkumpul di rumah baru. Proses penjualan rumah tidak dapat dibilang mudah, bahkan cederung alot dan menguras emosi. Harga jualnya pun jatuh bebas di pasaran dan kami hanya mendapat setengah harga dari penawaran awal. Sedih, sakit hati, marah, semuanya campur jadi satu. Tapi keputusan kami sudah bulat. Setelah beberapa bulan bolak-balik mengurus ini-itu, rumah lama kami pun resmi terjual. 

Dan sampailah kami ke proses tersebut: pindahan. Awalnya barang-barang besar kemudian barang yang kecil-kecil. Lama-kelamaan, tanpa kami sadari, rumah lama kami menjadi kosong dan hampa. Pernah satu kali mama mengirim sms, mengatakan betapa sedihnya dia melepas rumah lama. Bagaimana tidak, rumah itu telah beliau tinggali semenjak beliau menikah lalu melahirkan anak pertama, anak kedua, melihat anak-anaknya tumbuh besar, masuk sekolah, lulus, kuliah hingga bekerja. Rumah itu telah menopang kehidupan kami nyaris 30 tahun lamanya. Semua cerita, suka, duka, tawa, tangis, canda, terekam di dalamnya. Rumah itu telah menjadi saksi kami bertumbuh menjadi sebuah keluarga. 

Saat saya membaca curahan perasaan beliau, hati saya sama sekali tidak tergerak. "Halah, mama lagi-lagi lebai dalam mengungkapkan perasaannya. As usual," ungkap saya dalam hati. 

Saya memang tidak terlibat banyak dalam proses pindahan karena hanya membantu saat akhir pekan. Minggu lalu, di penghujung tahun 2014, saya mampir ke rumah lama dan membantu pindahan. Rumah lama kami telihat dingin. Teralis jendela sudah dilepas, beberapa kaca sudah tercabut dari rangka jendela, rumpun melati tumbuh liar tak terurus, halaman kotor oleh daun yang rontok dari pohon belimbing besar di depan rumah. Pohon daun sirih yang menjadi kebanggaan mama mati karena pagar tempatnya tumbuh telah tercerabut. Saat saya membuka kunci rumah, saya hanya mendapati satu ruang kosong yang luas. Kosong. Hampa. Tanpa perabot apapun. Sementara papa mulai bekerja melepas untaian kabel di dapur, tanpa sadar saya bersandar di salah satu dinding dan mengelusnya perlahan. Dingin. Seakan rumah tersebut marah kepada kami. "Maaf...." bisik saya.

Setelah seluruh proses pindahan dan administrasi selesai, rumah itu akan dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Pohon belimbing di halaman akan ditebang. Semua kenangan disana akan menguap dan hanya tinggal di dalam memori. Lagi-lagi saya marah dan sedih pada keadaan. Bagaimana bisa, rumah yang telah kami tempati selama ini harus dihancurkan dengan harga jual yang sangat rendah. 

Saya paham perasaan mama. 

Namun saya pun menganggap itu semua adalah 'harga' yang harus dibayar untuk rumah impian kami. Rumah yang selalu kami angankan dan inginkan. Sungguh sebuah harga yang teramat mahal. 

Berpindah saya sadari adalah salah satu bagian yang paling sulit dalam fase hidup manusia. Pindah dari SD ke SMP, dari SMP ke SMU, dari SMU ke Perguruan Tinggi, dari Perguruan Tinggi ke lapangan pekerjaan, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari rumah lama ke rumah baru, dari teman lama ke teman baru. Karena dalam prosesnya, kita telah membuat jejak kepingan hati dan serpihan kenangan yang akan hilang dan tertinggal. Tapi bukankah kita harus terus melangkah maju jika yang 'lama' memang sudah dianggap tidak nyaman dan mengorbankan semua yang pernah kita miliki dengannya untuk menyongsong satu lembar kehidupan yang baru? 

Selamat tahun baru 2015. 

In memory of 'rumah lama'