Rabu, 14 Desember 2011

Round Merry, round!


Alarm Hp berbunyi lagi, sudah untuk keempat kalinya saya memilih mode snooze ketimbang mematikan alarm dan mulai beranjak dari hangatnya pelukan selimut. Selang beberapa menit lagi alarm tersebut akan berbunyi kembali disertai dengan teriakan mama dari dapur dengan kata-kata ancaman "Udah siang teh". Yeah hiperbolis abis, jelas-jelas azan subuh baru selesai berkumandang. Sambil meringkuk malas saya mengingat-ingat, hari apa ini? Ah, masih hari Rabu. Akhir pekan masih lama sekali. Hari ini pengen telat masuk kantor aja rasanya, atau sekalian bolos nggak masuk kerja, saya masih pengen tidur, tidur yang panjang dan lama, untuk mengistirahatkan badan dan jiwa ini. Saya cape!

*****

Jam 7 pagi. Tidak ada semangat ataupun keceriaan pagi hari yang dapat membangkitkan mood sebelum menghadapi pekerjaan kantor. Dengan bosan saya mengganti-ganti frekuensi radio untuk mencari lagu yang dapat mengubah peruntungan perasaan saya di pagi ini, sampai akhirnya saya menyerah setelah hampir seluruh frekuensi saya jelajahi tanpa menemukan satu pun siaran radio yang cukup menyenangkan. "Doh, kenapa semuanya muter 'playlist' sih? Setiap hari pasti lagu yang sama yang diputer, kayak nggak ada lagu lain untuk diputer aja", dengan putus asa saya mematikan radio dan memutar playlist pribadi. Tanpa senyum di wajah dan langkah malas-malasan saya menyusuri jembatan Semanggi menuju halte Bendungan Hilir untuk berganti busway ke arah Kota. 

Halte Bendungan Hilir penuh! "As usual", keluh saya dalam hati. Setelah beberapa lama menunggu dan sampai ke antrian depan datang sebuah busway kosong datang. Alhamdulillah, Tuhan masih baik sama saya hari ini walau sepanjang pagi tadi saya terus-terusan manyun. Sebuah senyum di bibir akhirnya terkembang saat saya dipersilakan masuk oleh petugas busway, senyum pertama di pagi ini. Sayang senyum tersebut tidak bertahan lama saat saya mendengar petugas tersebut berkata "Hanya sampai halte Harmoni". Crap!

Ah, biarkanlah saya menikmati sekelumit pagi ini di atas busway yang lengang minim penumpang. Mungkin suasana yang tidak terlalu ramai dapat membawa sedikit kedamaian untuk hati saya yang sedang jenuh. Di beberapa halte selanjutnya tidak banyak penumpang yang naik, kebanyakan penumpang itu enggan berganti busway lagi di halte Harmoni yang penuh sesak dan lebih memilih untuk menunggu bus selanjutnya yang menuju Kota. Playlist di ponsel dengan setia masih memutarkan lagu-lagu dari Owl City, bahkan Owl City sekalipun tidak bisa diharapkan untuk bisa menghibur saya pagi ini. 

Memasuki kawasan Sudirman yang dipadati bangunan pencakar langit yang berdiri berdesakan, Adam Young menyanyikan lagu Stawberry Avalanche,

"This is a world of dreams and revery
Where I felt the stars explode around me
A grass blade flashed with a gleam as it slashed open a moonbeam
And I stared back breathlessly
As mountains of fruit tumbled out I barely had the chance to shout
A strawberry avalanche crash over me"

entah karena irama lagu yang fun atau liriknya yang penuh imajinasi, sebuah senyum kembali terulas di wajah saya. Senyum kedua di pagi ini. Di atas busway yang masih melaju dan diantara suara Adam Young yang masih bernyanyi akhirnya saya bertanya kepada diri sendiri, "Gue kenapa sih?". 

"Gue kenapa sih?". Kenapa akhir-akhir ini saya tidak bisa bersyukur dengan apa yang dimiliki, kenapa saya dengan mudahnya marah tersulut emosi dan dengan senang hati mengeluarkan kemarahan tersebut dalam bentuk omelan yang bisa berlangsung panjang non-stop tanpa jeda, kenapa semua terlihat salah dari mata saya, kenapa hidup saya mendadak jadi monoton, kemana hilangnya passion hidup yang selama ini selalu saya agung-agungkan, hingga pertanyaan utama itu pun hadir di kepala, "Kenapa akhir-akhir ini gue merasa nggak bahagia dan ngerasa nggak berguna?"

*****

Ada sesuatu yang salah dalam hidup saya. Ada sesuatu yang hilang dari hidup saya. Saya lelah secara mental dan fisik. Saya terlalu kelelahan sehingga tidak mampu menulis lagi, beberapa draft tulisan menumpuk tanpa pernah mampu diselesaikan dan dipublikasikan. Saya tidak bisa berpikir dengan baik, saya merasa semua tulisan saya tidak pernah cukup baik dan saya terus menerus mengedit kalimatnya sehingga tulisan tersebut tidak pernah rampung. Saya tidak mampu lagi menulis sepulang bekerja, walau tenaga masih tersisa untuk menulis namun semua itu akan berakhir dengan saya bengong di depan layar komputer. Bukan, ini bukan masalah saya tidak bisa menulis lagi, tapi saya telah kehilangan gairah untuk menulis. Seperti juga saya mulai kehilangan gairah untuk banyak hal lainnya. Saya benar-benar lelah secara mental dan fisik. 

Sementara otak terus berkecamuk dengan banyak pikiran yang tak tentu arah, Adam Young selesai menyanyikan Stawberry Avalanche. Buru-buru saya memutar kembali lagu tersebut, saya masih membutuhkan banyak suntikan semangat pagi ini. Saya memang lelah secara mental dan fisik. Namun lebih daripada itu saya pun sadar bahwa hidup saya sekarang kering, hampa, dan kosong. Akhir-akhir ini saya sering bertanya pada diri sendiri juga kepada Tuhan, apa makna dari hidup saya? Apa arti dari hidup saya? Apa yang harus saya lakukan dalam hidup ini? Saya kehilangan arah dan petunjuk, saya tidak tahu harus melakukan apa. Gairah dalam hidup ini seperti menguap dengan mudahnya, seperti tidak ada lagi passion yang ingin saya kejar atau lakukan. 

Matahari pagi dengan senang hati membagikan cahayanya kepada penduduk Jakarta pagi ini. Seberkas cahaya masuk lewat jendela busway, kilaunya menyilaukan mata dan refleks kelopak mata saya terpejam untuk mengurangi kekuatan sinarnya. Cahaya yang tertangkap mata berubah menjadi warna oranye kemerahan. Saya tersenyum lagi, senyum ketiga di pagi ini. Matahari seperti sedang bermain petak umpet dengan saya, dia bersembunyi saat busway melewati jejeran gedung pencakar langit namun kembali menembakkan cahaya lembutnya saat dia menemukan celah diantara gedung tersebut. "Bukankah kebahagiaan bisa timbul dari hal yang paling sederhana?", hati kecil saya bertanya dan senyum ini dapat terkembang sedikit lebih lama. "Kenapa harus memikirkan hal-hal rumit untuk bisa bahagia? Tidak perlu melakukan hal-hal besar, tidak perlu menjadi yang 'ter' untuk segala hal, tidak perlu membandingkan hidup sendiri dengan hidup orang lain, tidak perlu terlalu 'kepo' mengejar banyak hal dalam hidup ini", kata-kata ini berlompatan di dalam kepala seolah saya sedang menegur diri sendiri. Saat melewati bunderan HI, saya dan matahari bertatap muka, kali ini saya tidak menutup mata, tapi saya memandangnya dan tersenyum "Selamat pagi matahari, thanks for brightening my day". 

*****

Mungkin roda kehidupan saya sedang berada di bawah. Mungkin saya sedang berada dalam titik jenuh. Jika memang saya lelah secara mental dan fisik biarkan tubuh dan raga ini rehat sebentar, mungkin hanya hal sesederhana itu yang dibutuhkan. Jika saatnya tiba, saya akan bersemangat kembali mengejar banyak hal dalam hidup ini. Bermimpi ini itu, berusaha mewujudkannya, dan mendapatkan kembali passion dalam hidup ini. Busway yang saya tumpangi sudah masuk ke halte Monas, lebih baik saya turun dan berganti bus disini. Adam Young selesai menyanyikan Stawberry Avalanche untuk yang kesekian kalinya, untuk kali ini saya tidak memaksanya menyanyikan lagu yang sama, biarkan dia maju menyanyikan lagu yang lain. Senyum di wajah terus terkembang, seakan saya baru mendapat pencerahan dalam perjalanan singkat Bendungan Hilir - Monas. Mungkin roda kehidupan saya sedang berada di bawah, tidak apa, saya akan menjalaninya seperti saat roda kehidupan saya ada di atas. "Round Merry, round!" sorak saya dalam hati dan mengayunkan langkah dengan lebih ringan. Hidup ini sederhana bukan :)

Selasa, 29 November 2011

It's Been Two Years...



Happy birthday Merry go Round

Tetaplah bersinar dan berkarya




.....



Walau A tidak bersamamu lagi


*Ditulis dengan perasaan campur aduk*

Minggu, 20 November 2011

Pacar Baru Saya :)

Jadi begini, setelah DSLR baru saya yang umurnya belum genap dua bulan itu dimaling orang yang tidak bertanggung jawab hidup saya jadi nelangsa... Saya kan manusia biasa yang narsis dan doyan foto-foto. Mau langsung beli kamera profesional baru kok rasanya mahal banget ya, apalagi uang tabungan saya udah habis terkuras sama si DSLR. Mau beli kamera digital aja tapi rasanya nanggung banget, saya pengen punya kamera profesional yang memungkinkan saya untuk dapat memproduksi foto dengan lebih baik lagi. Mau keukeuh pake kamera digital yang lama dengan alasan nabung-dulu-supaya-bisa-beli kamera-profesional, ini sih jelas nggak mungkin banget. Sebenernya Papa udah ngasih ijin untuk beli kamera baru, dia tau banget kalau kamera digital saya yang lama udah nggak bisa diandelin lagi untuk dipake motret. Nanti kalau harga kamera incaran saya masih kemahalan papa janji untuk ngasih dana talangan. Tapi saya berasa berat untuk dapet kucuran dana dari papa. Masa sih udah gede, udah kerja, saya masih ngerepotin orang tua untuk keperluan pribadi diri sendiri. 

Foto pake Canon 500D sebelum raib digondol maling :(

Nah, waktu dateng ke launching Kompas TV saya tetep setia bawa si merah (kamera digital saya yang udah berkali-kali jatoh tapi juga berkali-kali nemenin saya traveling) untuk mengabadikan momen yang ada. Tapi si merah seakan protes, dia ngambek dan membuat semua foto blur setiap tangan saya goyang saat mengambil gambar, fungsi image stabilizer-nya bener-bener udah mati sepertinya. Duh, masa iya saya musti niat bawa tripod demi bisa ngambil foto pake si merah. Sementara orang di sekitar saya sibuk jeprat-jepret dengan kamera andalan masing-masing, saya hanya memandang dengan pandangan mengiba. Saya bener-bener kehilangan momen karena si merah mogok kerja. Sepulangnya dari acara tersebut saya curhat ke mama. Terus saya nangis. Saya keseeell banget. Kenapa sih rumah saya musti kemalingan? Kenapa sih kamera baru saya musti raib? Kurang ajar banget sih tuh maling! Saya yang cape kerja malah tuh maling yang nikmatin hasil jerih payah saya. Akhirnya saya ngeluarin semua unek-unek yang saya pendam selama ini, kekesalan yang tersimpan karena saat kejadian saya berusaha meredamnya agar mama tidak menyalahkan dirinya sendiri. Sekarang giliran mama yang membesarkan hati saya, dia membuat saya ingat bahwa tidak ada gunanya menyalahkan masa lalu, mau saya marah dan nangis kaya gimana juga toh kamera itu nggak akan balik kan. 

"Kamera itu kebutuhan sekunder yang sudah menjadi kebutuhan primer kamu", petuah papa ini membuat saya nggak berpikir lama lagi untuk segera memiliki kamera baru. Sambil hitung-hitung sisa tabungan saya browsing lagi jenis dan merk kamera yang cukup dengan budget saya yang super terbatas. Seperti kebayakan newbie di dunia kamera profesional, pasti pilihan saya jatuh ke DSLR entry level untuk merk Canon atau Nikon. Tapi mengingat pengalaman saya selama dua bulan sempat menggunakan DSLR Canon 500D, saya kok agak malas untuk punya DSLR lagi. Kamera DSLR itu jelas ukurannya besar, saya harus menggunakan tas dengan ukuran cukup besar atau niat membawa si DSLR dalam tas yang berbeda. Ukuran yang besar juga berbanding lurus dengan berat yang lumayan membuat tangan dan leher pegal saat menggunakan DSLR dalam jangka waktu yang cukup lama. Keribetan utama yang timbul saat menggunakan DSLR adalah saya harus mengukur aperture, shutter speed, ISO dan lain sebagainya sambil membidik objek lewat view finder kamera. Doh, mikir sambil ngintip lewat lubang kamera yang bodinya gede dan beratnya nggak ringan. Mau motret aja kok ribet amat ya. 

Saya memang generasi anak jaman sekarang banget mungkin, maunya serba yang gampang, praktis, instan, dan nggak ribet. Toh teknologi itu memang diciptakan untuk memudahkan hidup manusia kan? Jadilah saya mulai melirik opsi kamera lain, pilihannya jatuh ke mirrorless camera yang sempat jadi birthday wishes tahun ini. Kenapa mirrorless camera? Karena kamera jenis ini dapat memproduksi foto setara dengan jepretan kamera DSLR namun dengan ukuran kamera yang jauh lebih kecil karena tidak menggunakan view finder di dalam sistemnya. Walau birthday wishes saya adalah mirrorless camera produksi Sony, tapi saya malah jatuh hati saat melihat berbagai foto hasil jepretan mirrorless camera produksi Olympus. Sebuah forum di fotografer.net sukses meracuni saya sehingga saya memutuskan untuk memiliki sebuah EPL-1 hanya dalam waktu 2 hari saja. Dan keputusan saya ternyata tepat banget, mirrorless camera memang lebih cocok untuk saya: kecil, smart, nggak ribet, praktis, dan memungkinkan saya untuk memproduksi berbagai foto dengan cara yang lebih kreatif. Cocok banget buat saya yang males mikir dan males mengedit foto mentah.

Sekarang saya sering ditemenin sama si EPL-1 kemanapun saya pergi. Saya juga nggak jiper lagi sama orang-orang yang bawa DSLR segede bagong, "Yey kamera gue lebih kecil tapi nggak kalah smart sama kamera lo". Hasil foto saya jadi lebih ciamik, lebih keren, walau saya lebih sering menggunakan menu iAtuto (menu pinter nggak pake mikir). Si EPL-1 emang smart banget, tapi semua kemampuan dia belum saya eksplorasi. Saya tuh emang gaptek banget sama teknologi, walau buku manual kamera dan berbagai literatur udah dibaca tetep aja saya masih bingung sama tiga kata sakti di jagat fotografi: ISO, shutter, aperture. Saya ngerti dengan maksud dari ketiga kata itu, tapi saya bingung dengan pengaplikasiannya. Banyak yang bilang fotografi adalah praktek bukan teori, tapi bagaimana saya bisa memproduksi foto yang cukup baik tanpa memahami istilah-istilah dasarnya. Nah, untuk menjawab pertanyaan ini Olympus nggak pelit bagi-bagi ilmu. Saat saya beli si EPL-1 otomatis saya dapet kelas training bareng Darwis Triadi. Ihiiiyy, lumayan dapet ilmu dari Dewa Fotografi. 

Tularin ilmu fotografinya dong Om...

Di kelas training ini rasanya fotografi jadi hal yang mudah. Tinggal mainin tiga unsur utama ISO, shutter, aperture, jadi deh foto yang keren. Di tangan Darwis Triadi rasanya semua foto jadi sempurna, saat Darwis Triadi ngomong rasanya fotografi adalah hal yang mudah, tapi saat saya praktek memfoto beberapa model yang disediakan saat training lagi-lagi saya bingung. Doh, kok hasil fotonya kurang tajem? Kok fotonya gelap? Kok warnanya nggak keluar? Tapi paling nggak saya jadi lebih mengenali kelebihan-kelebihan si EPL-1 dan makin jatuh cinta dibuatnya. Kalau ada orang yang langsung pinter dan menghasilkan foto yang baik dari pengalaman pertama, mungkin saya harus mengulang-ulang pengalaman itu untuk dapat menghasilkan foto yang berkualitas. Tidak apa-apa, hidup adalah pelajaran kan? Mungkin saya harus belajar lebih keras dan giat dibanding yang lain untuk dapat mengerti dunia fotografi, tapi itu juga artinya saya akan lebih mengeksplorasi fungsi-fungsi terpendam si EPL-1 kan? 

Beberapa hasil foto saya pas training kemarin saya share disini, jangan diketawain ya, namanya juga newbie :p (ps: foto-fotonya nggak saya edit lagi, cuma ditambahin watermark aja).





Kenal banyak kelebihan si EPL-1 pasti jadi tau kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya. Saya nelangsa banget ngeliat beberapa fungsi yang dimiliki EPL-2 maupun generasi mirrorless camera Olympus terbaru dan tidak terdapat di dalam EPL-1. Rasanya jadi pengen mengkhianati si EPL-1 dan langsung cepet-cepet beli EP-3 yang merupakan seri teranyar dari Olympus. Tapi teknologi itu kan selalu berkembang, saya nggak akan pernah bisa terus-terusan mengikuti perkembangannya. Baru beli EP-3 nanti beberapa bulan kemudian keluar seri terbaru lagi, kalau terus begitu kapan berhentinya, kapan belajarnya? Jadi, untuk sekarang saya puas-puasin mengekplorasi si EPL-1, toh belum tentu semua kelebihannya bisa saya gunakan mengingat saya teramat-sangat-gaptek. Bisa-bisa malah saya yang nanti dikhianati oleh EPL-1 *amit-amit*.

Jadi kenalin nih, ini pacar baru saya. Saya lagi cinta-cintanya sama dia :)


Saya dan pacar baru :)
(photo courtesy of Denny Irawan, taken with Nikon D3100)


PS: Template blog saya ganti nih, template yang lama tiba-tiba nggak berfungsi. Saya sih masih kurang sreg dan masih berharap template yang lama bisa diperbaiki. Menurut kalian gimana?

Minggu, 06 November 2011

Burung Hantu Kota: Owl City

You would not believe your eyes
If ten million fireflies
Lit up the world as I fell asleep
Cuz they fill the open air
And leave teardrops everywhere
You think me rude, but I would just stand and stare (Fireflies, Owl City)

Saya jatuh cinta seketika saat mendengar lirik lagu tersebut. Fireflies seakan memaparkan kehidupan sejati Adam Young, lelaki jenius di balik band Owl City dengan musik yang bertema technopop, dimana dia selalu mengalami insomnia di setiap malam-malamnya. 

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
Cuz everything is never as it seems (Fireflies, Owl City)

Sebelumnya jenis musik yang menyertakan electronic instrument di dalamnya seringkali terdengar ajaib di telinga saya, namun Fireflies terasa berbeda. Penempatan instrumen-instrumen electronic dilakukan dengan pas di tiap bait-bait Fireflies membuat lagu terasa enak didengar dan terus terngiang-ngiang sampai lagu selesai diputar, membawa pendengarnya ikut terbawa ke dalam dunia khayalan Adam Young yang dipenuhi dengan kunang-kunang dan ikut menari bersama iramanya. It so dreamy! 

Dari sini saya terus-terusan ngedengerin lagu Fireflies dan ngerekomendasiin lagu ini ke temen-temen saya, sayangnya saat saya memutar lagu-lagu lain dari Owl City kok rasanya agak-agak ngebosenin. Technopop yang kental digunakan di setiap lagu-lagunya terasa tidak berbeda jauh antara satu lagu dan lainnya, jadi berasa monoton dan kurang variasi. Ah yasudahlah, mungkin yang nge-hits dari Owl City cuma Fireflies nya, tapi ternyata saya salah sodara-sodara!

Saat Owl City merilis single kedua dari album Ocean Eyes saya langsung lumer! Vanilla Twilight yang dibawakan terasa berbeda dengan musik Owl City sebelumnya, disini emosi Adam Young lebih terasa mengalir ke dalam lagunya, sebuah karya sederhana yang dibawakan dengan apik diiringi dengan nada technopop yang terdengar manis di telinga. Jika sebelumnya Fireflies membawa pendengar ke dunia mimpi maka lewat Vanilla Twilight Adam Young membuai pendengarnya lewat lirik lagu cinta sederhana yang sarat dengan sentuhan instrumen electronic. Lagu cinta belum pernah terdengar begitu semarak, manis, sekaligus lembut dan emosional sampai saya mendengarkan Vanilla Twilight. 

I'll watch the night turn light-blue
But it's not the same without you
Because it takes two to whisper quietly

The silence isn't so bad
'Til I look at my hands and feel sad
'Cause the spaces between my fingers
Are right where yours fit perfectly (Vanilla Twilight, Owl City)

Satu fakta lain dari Owl City yang mengejutkan saya, Adam Young ternyata bekerja sendirian di balik nama Owl City. Adam Young lah yang mengerjakan semua lirik dan lagu Owl City, mulai dari menulis lagu dan menyanyikannya, memainkan keyboard, piano, gitar, bass, drum, synthesizers (alat musik penghasil suara-suara electronic instrument), dan meramu semua itu menjadi sebuah lagu yang ciamik dan berbeda dengan band kebanyakan. Ini baru namanya multitasking! Hal lain yang saya suka dari Owl City adalah lagu-lagunya tidak melulu bercerita tentang cinta atau one night stand seperti yang sering dibawakan oleh band-band asal Amerika sana, Adam Young lebih sering bercerita tentang keindahan dan keajaiban alam, dunia mimpi, dan menggunakan perumpaan-perumpaan yang berhubungan dengan alam saat menyampaikan lagu cinta. Lihat saja judul-judul lagunya seperti Rainbow Veins, Alligator Sky, Deer In The Headlights, Dreams Don't Turn to Dust, Honey and The Bee, The Bird and The Worm. 

Mas Adam Young :) 
Picture taken from here

Dan di saat Jakarta dilanda dengan serbuan artis luar negeri yang mampir untuk manggung di kota ini, saya berjanji jika suatu saat nanti Owl City datang ke Jakarta saya pasti akan hadir untuk menonton langsung. Saya pikir palingan Owl City masih taun depan dateng ke Jakartanya, hits yang dikeluarkan Adam Young kan masih sedikit. Ternyata Java Musikindo cukup berani mengundang Owl City yang masih terbilang baru dikenal publik Indonesia untuk manggung di Jakarta bulan Oktober kemarin. Yey I'm gonna meet Owl City soon. 

Tiket presale untuk Owl City dijual beberapa hari sebelum keberangkatan saya ke Skandinavia. Walaupun kere berat karena uang tabungan habis untuk persiapan berangkat tapi saya tetep keukeh nyisihin uang demi bisa lihat Owl City Live. Tapi bencana kemalingan benar-benar membuat saya harus menyusun ulang skala prioritas dan menempatkan Owl City ke posisi bawah. Sedih sih, sedih banget malahan, kapan lagi coba Owl City manggung di Jakarta. Pas denger berita tiket Owl City langsung Sold Out saat presale mimpi saya buat nonton langsung Owl City beneran kandas! Pedih banget. Pengen ngerelain, tapi ga rela, pengen nekat nonton tapi nggak ada tiket. Ngenes abis!

Beberapa bulan setelah kepulangan saya dari Skandinavia tidak sengaja saya membaca tweet Om Adrie Subono yang berbunyi "Masih punya 45 tiket Owl City tapi bingung gimana cara jualnya" langsung saya jawab dengan kepo "Jual ke saya ajaaaa..". Nggak lama Om Adrie langsung meminta nomor telpon saya dan beberapa menit kemudian saya tersambung dengan Om Adrie Subono langsung. Dia meminta saya untuk menghubungi sekretarisnya yang akan mengurus penjualan tiket Owl City sisa ini. Dalam hanya hitungan menit saya langsung membooking tiket Owl City, nggak peduli dengan uang tabungan yang semakin menipis dan terancam minus. Disini saya salut dengan manajemen Java Musikindo dan Om Adrie Subono yang dekat dengan para followers dan publik, mereka nggak segan menjemput bola dan menjawab rentetan pertanyaan penting nggak penting seputar konser yang akan diadakan. 

Menjelang hari H saya mulai sering ngedengerin lagu-lagu Owl City demi bisa hapal semua lirik lagunya, tapi ternyata hampir semua lirik lagunya puanjang buangett. Gile si Adam Young kalo bikin lagu imajinasinya liar amat ya, lirik lagunya mirip seperti cerpen, panjang dan menuturkan sebuah cerita. Hari Jumat sore beberapa jam sebelum konser digelar Jakarta diguyur hujan super duper deras. Semua jalan macet, saya stuck di Plaza Senayan dan nggak bisa pergi ke Tennis Indoor karena hujannya terlampau deras. Padahal waktu sudah mepet ke jam 8 malam, untunglah Om Adrie Subono maklum dengan keadaan ini dan mengabarkan konser ditunda beberapa menit via twitter. Akhirnya jam 8 malam lewat 20 menit saya berhasil masuk ke Tennis Indoor dengan sepatu basah kuyup dan badan kedinginan. Tennis Indoor sudah dipenuhi penonton, total 5000 orang memadati konser Owl City malam itu. Tidak lama setelah saya masuk Breanne Düren tampil membuka acara, huff untunglah saya tidak ketinggalan sedikitpun konser Owl City malam ini. 

Sepertinya bukan hanya saya yang asing dengan Breanne Düren, hampir semua penonton dan publik Indonesia belum familiar dengan penyanyi ini. Sejatinya Breanne Düren adalah pemain keyboard dan backing vokal di Owl City, Breanne juga menemani Adam Young bernyanyi di beberapa lagu andalan Owl City seperti Honey and The Bee, The Saltwater Room, dan Air Traffic. Suara Breanne yang terdengar terlalu imut dan terlampau dibuat-buat di ketiga lagu ini memang sedikit annoying, namun sepertinya itu hanyalah pengaruh dari electronic instrument yang digunakan. Buktinya Breanne yang tampil solo malam itu memainkan keyboard sambil menyanyi dapat mengeluarkan suara aslinya yang terdengar lebih soft dan manis dibanding saat dia berduet dengan Adam Young. Breanne Düren sendiri telah meluncurkan beberapa single menggunakan namanya sendiri, berusaha keluar dari bayang-bayang Owl City. Penonton kebanyakan diam saat Breanne bernyanyi, jelas karena mereka tidak tahu menahu dengan lagu yang dimainkan. Breanne kelihatan lumayan stress dan frustasi dengan respon yang dia dapat, tapi tetap berusaha menikmati crowd yang ada. 

Setelah menyanyikan sekitar 5 lagu, Breanne undur diri dan panggung kembali gelap. Tepat pukul 9 malam band pengiring Owl City mulai memasuki panggung, penonton mulai riuh menanti kedatangan Adam Young, lelaki bertangan dingin yang telah menciptakan Owl City. Adam Young memang memegang peranan sentral dalam mendirikan Owl City, namun dalam setiap konsernya dia selalu membawa band pengiring. Nggak mungkin kan doi bolak balik kesana-sini mainin macem-macem alat musik sambil nyanyi, emangnya dia sirkus. Jadi setelah Breanne Düren masuk kembali dan menempati posisi keyboard (sekaligus backing vokal yang suaranya agak ganggu), disusul dengan beberapa orang lain yang siap memainkan drum, gitar, biola dan cello, akhirnya Adam Young muncul dan langsung memainkan drum untuk memanaskan suasana. Horeee, akhirnya saya bisa nonton Owl City Live!

Welcome to Jakarta Owl City

Nggak lama setelah main drum, Adam langsung membuka konser malam itu dengan lagu The Real World dari album terbaru Owl City yang juga menjadi judul dari konser malam ini "All Things Bright and Beautiful". Adam sepertinya belum mau ngeluarin tenaga penuh untuk ngebuka konser, padahal penonton udah jerit-jerit pake tenaga maksimal. Dengan santai Adam nyanyi bait lagu The Real World "Reality is a lovely place, But I wouldn't wanna live there", yep lirik lagunya Owl City banget yang dreamy dan mengagungkan dunia khayalan. Selesai nyantai dengan The Real World Adam sedikit menghentak lewat lagu Cave In. Buset, ini kan salah satu lagu yang susah payah saya hapalin tapi nggak hapal-hapal. Akhirnya saya cuma sibuk teriak-teriak pas bagian reff, itu pun cuma nyebut-nyebut "Cave In..." yang diulang terus di beberapa bagian lagu. Doh, susah ya kalo nonton konser tapi nggak hapal lagunya. 

Rehat sejenak Adam Young menyapa semua pengunjung di Tennis Indoor, keliatan banget excitednya Adam saat ngeliat crowd yang penuh dan khusus dateng demi Owl City. Bahkan Adam hampir speechless ngeliat penonton yang antusias banget menyambut lagu-lagu selanjutnya, Hello Seattle (yang liriknya juga puanjaang bangeett) disambut hangat penonton. Lagu Angels, Swimming In Miami, dan Umbrella Beach yang menyusul bener-bener baru pertama kali saya denger di konser ini (jenis fans yang kurang banyak mengkonsumsi lagu band idolanya). Dalam beberapa rehat sebelum menyambung dengan lagu selanjutnya Adam banyak berkomunikasi dengan penonton, selain itu suara-suara jangkrik dan burung turut diperdengarkan di jeda tersebut "I brought crickets from Minnesota" kata Adam menyebut kota kelahirannya. 


"Question Jakarta, do you have fireflies", seru Adam setelah menyanyikan Lonely Lullaby. Sontak seisi Tennis Indoor riuh menyambut kata-kata Adam. Lagu Fireflies dibawakan dengan aransemen yang berbeda dan menghasilkan musik yang lebih menghentak, seluruh penonton mengeluarkan suara dan tenaganya untuk menyanyikan lagu ini. Berturut-turut setelah Fireflies lagu Dreams Don't Turn to Dust yang sarat dengan melodi biola dan cello dimainkan, lagu Kamikaze dan Meteor Shower semakin menambah semarak malam itu. Semua kru dalam band pendukung Owl City bermain sepenuh hati, Adam Young menikmati pertunjukannya dan berterimakasih kepada penonton akan antuasisme mereka. Saya sebagai penonton yang nggak hapal banyak lagu-lagu Owl City berdiri takjub di tengah crowd, terhempaskan oleh siraman lampu-lampu menyilaukan dan suara-suara kencang yang dimainkan apik menghasilkan harmoni keras namun menyenangkan, "this is amazing" seru saya dalam hati dan lanjut teriak-teriak nyanyi bersama ribuan orang lainnya. Yeah, hal menyenangkan dari menonton konser adalah melihat bagaimana seorang artis sangat menghargai penggemarnya selain tentu saja bernyanyi bareng artis tersebut dan merasakan lagu favorit dimainkan dengan cara yang sama sekali berbeda. 

Lagu The Yatch Club yang nyandu banget untuk terus diputar berulang-ulang jadi penutup konser malam itu. What? Udahan? Kelar? Belum puaaass... We want more... We want more.. We want more... Dan Adam cs keluar lagi dan ngebawain lagu How I Became the Sea. Adam nggak henti-hentinya ngucapin terimakasih plus merekam crowd malam itu dengan ponselnya, Breanne Düren juga nggak mau kalah dan memotret crowd dengan kamera digital. Sepertinya memang ada tradisi di setiap konser Owl City para personelnya mengabadikan crowd di setiap kota atau negara yang mereka kunjungi. Lagu If My Heart Was a House menutup konser malam itu, semua personel memberikan penghormatan kepada seluruh penonton yang datang. Total 21 lagu dibawakan dalam waktu 1,5 jam oleh Owl City. Memuaskan, tapi tidak terasa klimaksnya. Lagu-lagu terkenal dari Owl City seperti Vanilla Twilight, The Saltwater Room, Honey and The Bee, Rainbow Veins, tidak dibawakan malam itu. Membuat konser seperti kehilangan nyawa utamanya dan membuat saya masih ingin berteriak "I want more!!!".

Rasanya campur aduk saat pulang konser, puas, tapi masih berasa ada yang kurang. Aaargh sebel Vanilla Twilight nggak diputer. Namun malam itu si burung hantu berhasil membius penduduk kota Jakarta yang insomnia di Tennis Indoor Senayan. Owl City, kota burung hantu atau burung hantu kota? Saya lebih suka menyebutnya burung hantu kota, burung hantu yang siap menemani semua orang yang insomnia dengan lagu-lagunya yang unik dan bertema tentang keajaiban dan keindahan alam. Saat berhasil tidur nanti pasti saya mimpi indah setelah dibuai lewat lagu Owl City. 


If My Heart Was A House - Owl City

You're the sky that I fell through, and
I remember the view whenever I'm holding you 
The sun hung from a string
Looking down on the world as it warmed over everything

CHills run down my spine 
As our fingers entwine 
And your sides harmonize with mine 
Unmistakably, I can still feel your heart beat fast when you dance with me 

We got older and I should have known 
[do you feel alive?]
That I'd feel colder when I walk alone 
[oh but you'll survive]
So I may as well ditch my dismay
[bombs away]
[bombs awayyy]

Circle me and the needle moves gracefully 
Back and forth 
If my heart was a compass, you'd be North 
Risk it all cause I'll catch you if you fall 
Wherever you go 
If my heart was a house, you'd be home

It makes me smile because you said it best
I would clearly feel blessed if the sun rose up from the west 
Flower bomb perfume
All my clothes smell like you cause your favorite shade is navy blue 

I walk slowly when I'm on my own 
[do you feel alive?]
Yeah but frankly I still feel alone
[oh, but you'll survive]
So I may as well ditch my dismay
[bombs awayyy]
[bombs awayyy]

Circle me and the needle moves gracefully
Back and forth
If my heart was a compass, you'd be North 
Risk it all cause I'll catch you if you fall 
Wherever you go 
If my heart was a house, you'd be home

If my heart was a house, you'd be home

Rabu, 26 Oktober 2011

Jadi Komuter Itu…

Kemarin, di atas bus pulang yang penuh sesak saya bertemu dengan seorang teman SMU yang baru sebulan terakhir bekerja di Jakarta dan bolak-balik rumah-kantor setiap harinya (baca: jadi komuter). Kami banyak mengobrol, mulai dari pekerjaan hingga keluhan tentang kondisi jalan yang selalu macet dan minimnya jumlah bus pulang. “Yah, nasib komuter” ucap saya sambil menarik napas. Semrawutnya jalanan ibukota dan moda transportasi yang jauh dari kata memuaskan; sebuah kondisi menyebalkan dimana para komuter tidak memiliki kuasa untuk mengubahnya.

Dari obrolan kami, saya teringat kembali akan sebuah fakta penting: jadi komuter itu cape! Contohnya cerita si teman yang berangkat jam 5.45 pagi ke terminal utama untuk naik bus menuju ke Jakarta dan kemudian melanjutkan dengan kopaja menuju kantor. Total jendral waktu yang dihabiskan untuk berangkat kerja adalah 3 jam. Gila, bahkan untuk ukuran saya yang setiap hari pulang pergi Jakarta – Bogor pun ukuran 3 jam untuk berangkat kerja termasuk dalam kategori lama dan melelahkan. Padahal pagi hari harus dibuat sebagai awal hari yang menyenangkan, bagaimana kamu dapat melewati hari yang menyenangkan jika pagi hari sudah diawali dengan pagi menyebalkan dan berpotensi merusak mood seharian. Saya yang sudah lebih awal menjadi komuter berbaik hati memberi saran beberapa rute lain yang bisa ditempuh dengan waktu yang lebih singkat, namun respon yang didapatkan dari setiap alternatif rute itu hanyalah gedikan di bahu beserta kata “Ah ribet”. Dari sini saya sadar, jadi komuter itu harus mau ribet, mau cape. 

Kalau kamu memilih menjadi seorang komuter berarti kamu harus mau ribet. Rute yang efektif dan efisien untuk menghemat waktu dan ongkos itu tidak tercipta begitu saja, kamu sendirilah yang harus menemukannya. Masalah ini hanya dapat dipecahkan dengan banyaknya daerah yang kamu sambangi menggunakan kendaraan umum atau nebeng dengan kendaraan pribadi temanmu. Semakin luas pengetahuanmu mengenai jalanan ibukota maka kamu bisa mencari sebanyak-banyaknya rute alternatif untuk memudahkan jalan pergi dan pulang dari rumah ke kantor. Tanpa kamu sadari kamu akan mampu menunjukkan arah kepada orang lain, dapat berdebat tentang sebuah rute dengan orang lain, dan tunggu saja sampai suatu hari nanti kamu akan berdebat dengan papamu di dalam mobil tentang rute alternatif yang harus diambil saat sebuah jalan protokol ditutup dan papamu akan terheran-heran dengan banyaknya jalan tikus yang belum beliau ketahui dan dapat mengantarkan kalian ke tempat tujuan tanpa kesulitan berarti. Selain itu semakin pintar otakmu mengingat jalan-jalan di Jakarta maka semakin kecil kemungkinan supir taksi memeras ongkos dengan membawamu melewati rute berputar yang membuat nilai argo semakin melonjak.

Jadi komuter itu harus mau mikir dan terus berpikir. Saat pagi hari kamu harus tahu jam berapa harus berangkat kerja untuk menghindari kemacetan, apa yang harus kamu lakukan jika kamu ditinggal bus langganan karena kelamaan dandan dan sarapan di rumah, daerah mana saja yang menjadi titik kemacetan, dan moda transportasi apa dapat diandalkan untuk menembus macet dan mengantar kamu sampai ke kantor tanpa terlambat. Saat pulang kerja pun kamu harus memutar otak lagi bagaimana caranya bisa mendapatkan bus yang antriannya sudah mengular dalam waktu singkat, harus mampir kemana jika azan magrib keburu berkumandang sebelum kamu sampai ke rumah, dan apakah kamu akan tetap menunggu bus yang belum datang selama satu jam lebih atau segera beralih mengambil rute alternatif.

Menjadi komuter berarti harus berhadapan dengan masalah klasik ibukota: macet, banjir, berdesakan di atas bus atau kereta, jumlah moda transportasi yang terbatas, belum lagi tindak kejahatan yang modusnya semakin beraneka ragam. Jadi komuter itu harus kuat secara mental dan fisik karena kamu akan selalu berhadapan dengan masalah yang sama setiap harinya: berdesakan di atas bus, mengalami macet panjang yang menguras waktu, menunggu bus yang hanya-supir-dan-Tuhan-yang-tahu kapan bus tersebut sampai di halte dan mengangkut penumpang, sampai potensi pelecehan seksual ringan yang sangat mungkin terjadi. Namun jadi komuter juga membuat kamu menjadi kuat secara mental dan fisik, kamu tahu kapan harus menanggapi atau tidak menanggapi sebuah rayuan iseng yang berpotensi kepada pelecehan seksual, kamu akan berani mengacungkan jari tengahmu kepada orang yang melihat tubuhmu dari ujung kepala sampai ujung kaki selama satu jam lebih, kamu akan lebih sehat karena sering berlari mengejar bus demi bisa sampai kantor dan pulang ke rumah tepat waktu, dan kamu akan bisa belajar bagaimana caranya melompati pagar, portal, tangga bus yang tinggi saat mengenakan rok pendek.

Jadi komuter itu melelahkan. Berangkat kerja subuh pulang ke rumah malam hari, jarang melihat matahari karena seharian berada di dalam kantor terus. Saat mata masih terasa lengket karena kurang tidur kamu sudah harus berangkat kerja lagi, bergelantungan di atas bus sambil menghabiskan sisa-sisa kantuk. Saat badan terasa lelah dan pikiran suntuk karena pekerjaan yang menumpuk kamu harus berjuang untuk bisa pulang ke rumah. Jadi komuter itu melelahkan, tapi jika kamu melihat dengan perspektif yang berbeda kamu akan sadar ternyata jadi komuter juga dapat menyenangkan. Bagaimana kamu memiliki banyak waktu di perjalanan untuk dihabiskan dengan membaca, mendengarkan musik, mengkhayal, atau mencuri dengar percakapan orang disebelahmu hanya untuk sekedar membunuh bosan. Kamu dapat berkontemplasi tentang banyak hal di dalam perjalanan, tiba-tiba kamu bisa berubah menjadi orang yang sangat peduli dengan lingkungan sekitar dan ingin memberi sebuah pisang untuk seekor monyet kecil yang dipaksa beraksi di jalanan, tiba-tiba kamu merasa sangat bersyukur memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap saat melihat dua orang tukang sapu jalanan menikmati nasi bungkus mereka di bawah jembatan halte busway dan mensyukuri berkah yang mereka dapatkan di hari itu, tiba-tiba juga kamu dapat berubah menjadi seseorang yang sangat tidak pedulian saat menghadapi pengamen dan tukang palak menyebalkan. Saat menjadi komuter kamu memiliki kesempatan untuk melihat sudut-sudut kehidupan tersembunyi dari Jakarta. Kota ini akan membuka dirinya jika kamu cukup bersabar untuk mengadapi semua kelakuan minusnya. 

Saat menjadi komuter kemampuan beradaptasimu akan lebih terasah saat menghabiskan waktu cukup lama di perjalanan, kamu dengan mudahnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan lingkungan yang baru. Kamu akan menjadi seseorang yang lebih dinamis dan fleksibel, kamu sendiri yang dapat memutuskan apa yang akan dilakukan jika menghadapi beragam kondisi di luar kebiasaan sehari-hari. Apakah kamu ingin pergi makan dulu untuk menghabiskan semangkuk besar indomie super pedas untuk menghilangkan kesal setelah ditinggal bus pulang yang sudah dinanti selama satu jam lebih, atau kamu lebih suka mengambil alternatif rute lain daripada menunggu bus yang baru akan tiba satu jam kemudian. Kepercayaan dirimu akan semakin meningkat dan kamu tidak akan sungkan lagi untuk bertanya apakah bis tujuan rumahmu sudah lewat atau belum kepada ibu-ibu yang duduk di halte atau kepada penjual makanan yang setia menunggu pelanggan. Dengan mudahnya kamu dapat memulai sebuah pembicaraan dengan orang-orang baru, mencairkan suasana, dan voila jumlah teman sesama komutermu semakin bertambah banyak. Teman-teman sesama komuter adalah investasi perjalanan yang paling dapat diandalkan, dari mereka kamu bisa mengetahui informasi terbaru mulai dari kemacetan, rute busway yang baru dibuka, sampai selentingan tentang kebijakan pemerintah untuk penataan transportasi Jakarta.

Jadi komuter itu cape. Jadi komuter itu nggak boleh manja. Jadi komuter itu harus bisa mengandalkan diri sendiri. Tapi bukan berarti menjadi komuter lalu kamu menjadi dewa sabar yang anti marah dan anti komplain. Kesabaran seseorang selalu memiliki batasannya, kamu berhak protes saat bus yang kamu tunggu tidak kunjung datang, kamu juga berhak marah dan kesal saat semua hal menyebalkan datang beruntutan: hujan, macet, banjir, bis nggak dateng-dateng, pulang terlambat, perut lapar, badan cape. Hanya saja masalahnya kamu mau marah sama siapa? 

Jadi komuter itu melelahkan. Kalau kamu merasa tidak sanggup menjalaninya mungkin kamu lebih cocok untuk kost di Jakarta. Namun tawaran menggiurkan untuk merasakan dan turut andil dalam dinamika hidup kota Jakarta, merasakan ritme hidup sebagai seorang komuter, ditambah lagi berbagai pengalaman menyenangkan yang seringkali tidak terduga di dalam perjalanan membuat saya lebih menikmati rutinitas sebagai komuter dibanding menjadi anak kost yang bisa menghabiskan banyak waktu di kamar kost dengan menonton sinetron (eh?). Pengalaman dan kesenangan itu ada di luar sana, perjalanan secara tidak langsung akan mendewasakan saya. Rasanya hampir mirip dengan pengalaman backpacking, para backpackers itu bangga saat berhasil menaklukkan negara tetangga dengan budget minim. Saya pun bangga saat orang-orang berdecak kagum atau menggeleng-gelengkan kepalanya saat mendengar rumah saya di Bogor dan saya pulang-pergi dari rumah ke kantor, menaklukkan keruwetan jalanan dan transportasi ibukota setiap harinya. Hanya menghabiskan waktu lima jam di perjalanan saja kok, it's not a big deal right :) 

Sabtu, 08 Oktober 2011

Crazy No Play: Dari Oslo Sampai Ke Marché

Sebenernya telaaattt banget bikin postingan ini, dan sebenernya saya nggak enaaakk banget sama Fai karena baru sekarang bisa membuat postingan ini. Maaf ya Fai....

Akhir tahun kemarin (iya, tahun 2010 kemarin) Fai mengadakan giveaway berupa baju-baju rancangannya sendiri di bawah label Crazy no Play, dan saya berhasil dapetin dressnya lewat review di postingan ini. Beberapa bulan setelah kopdaran sama Fai di akhir November tahun lalu saya nggak kunjung punya kesempatan buat memakai dressnya dan memajang fotonya di blog Merry go Round. Maaf ya Fai, nggak dapet terus moment yang tepat buat pake dressnya plus temen-temen yg bisa diandelin buat motoin sibuk terus. Ditambah lagi awal tahun 2011 sampai pertengahan tahun ini saya sibuk dengan persiapan berangkat ke Skandinavia dan penulisan buku, duh kasihan dressnya kelamaan nangkring di lemari, semogaaa pas dipake nanti masih muat *Tuhan kabulkan doaku*.

Tapi saya nggak pernah lupa dengan dress Crazy no Play dan mimpi-mimpi Fai yang dia sharing di rooftop Plaza Semanggi ketika dia memperlihatkan sketch booknya kepada saya. Keputusan gila dia untuk keluar dari pekerjaan utama dan mendirikan label sendiri, beberapa usaha mandiri yang dia lakukan untuk memperkenalkan labelnya ke banyak orang, dan mimpi-mimpi untuk membawa labelnya ke Eropa sana. "Gue pengen ke Paris" kata Fai membagi impian terbesarnya. Saya selalu ingat dengan dress Crazy no Play yang belum sempat saya pakai, saya selalu ingat dengan mimpi Fai, dan saya membawa dress tersebut beserta doa bagi impian Fai pergi ke Eropa saat akhirnya saya bisa berangkat kesana. "Fai, kalo gue bisa berangkat ke Eropa, lo juga pasti bisa pergi kesana suatu hari nanti", dress Crazy no Play berwarna pink berpadu dengan bahan denim itu ikut masuk ke dalam ransel besar saya menuju Eropa, dengan harapan kelak Fai pun bisa menjejakkan kakinya di benua biru itu. 

Kopdaran bareng Fai tahun lalu

Fai's sketch book


Sudahkah saya bilang kalau Skandinavia itu dekat dengan kutub utara dan suhunya sangat dingin, bahkan di musim panas saat dimana banyak orang pergi berjemur untuk mencoklatkan kulitnya. Saya agak bergidik juga untuk memakai baju tanpa lengan di Skandinavia, angin dinginnya dengan senang hati pasti langsung menerjang saya. Belum lagi hari-hari saya di Norwegia terus-terusan ditemani oleh mendung dan hujan yang terus menerus turun, duh jangan sampai ini baju cuma bikin berat ransel dan nggak sempet dipake, paling nggak saya harus sempet pake dress ini selama di Skandinavia demi Fai! Kesempatan itu datang saat Feli mengajak saya menonton drama musikal di Oslo, bawa baju rapih dan sedikit formal saat bepergian memang diperlukan, kita nggak pernah tahu akan mengalami momen apa selama di perjalanan, dan untuk datang ke drama musikal ini saya memakai dress Crazy no Play. Fai, akhirnya dress lo eksis juga di Oslo, wohoo....

Nonton drama musical The Producers di Oslo NYE pake dress Crazy no Play

Niatnya siiihh, pengen foto pake dress Crazy no Play saat saya datang ke drama musikal itu dan memajang fotonya disini, tapiii ternyata kamera nggak boleh masuk ke dalam teater, akhirnya saya cuma gigit jari memandangi si dress yang akhirnya eksis namun nggak bisa diabadikan keeksisannya. Maaf ya Fai, niat untuk pajang-foto-pake-dress-fai-waktu-di-eropa gagal. Tapi doa dan harapan Fai untuk pergi ke Eropa tetep saya bawa kok :)

Walau nggak sempet foto di Eropa, saya fotonya di restoran Swiss yang ada di Grand Indonesia aja ya Fai ;)

Marché Grand Indonesia

Cheese cake vs Chocolate cake

Crazy no play in pink and denim

Salah satu makanan yang enak banget di Marché: Rösti





Bareng Nenes plus difotoin pacarnya Nenes :)

Marché's Open kitchen

Thanks ya Fai untuk dress cantiknya, ditunggu traktiran dress gratis lainnya, kalo gue pergi jalan-jalan lagi pasti dibawa, dipake, dan (sebisa mungkin) difoto. 


Self portrait by Denny Irawan (pacar barunya Nenes nih), many thanks Den :)
Foto-foto lain dalam halaman ini milik pribadi
Lokasi: Marché Grand Indonesia
Untuk pemesanan dan melihat koleksi Crazy no Play lainnya bisa menghubungi Fai langsung atau mampir ke halaman blog Crazy no Play.

Sabtu, 17 September 2011

Cerita Cinta Kahitna

Prolog: Postingan ini akan lebih terasa feelnya jika dibaca sambil mendengarkan lagu-lagu Kahitna. Yang sangat direkomendasikan adalah lagu Seandainya Aku Bisa Terbang, Soulmate, Bintang, Sampai Nanti, Takkan Terganti, Cantik, Cerita Cinta, Cinta Sudah Lewat, tambahkan lagi lagu-lagu Kahitna favorit kalian sebelum membaca lebih jauh. Enjoy :) 

Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk sebuah kelompok musik dapat bertahan di industri musik Indonesia yang terus berubah mengikuti zaman. Sebagai kelompok musik yang terbentuk di tahun 1986 Kahitna tetap konsisten berkarya dengan lagu-lagu bertema cinta yang mengiringi banyak cerita cinta para pendengarnya. Tidak sedikit album yang telah Kahitna keluarkan, tidak sedikit pula penghargaan yang mereka raih dari karya yang telah dibuat. Untuk ukuran kualitas musik, Kahitna tidak perlu diragukan lagi, untuk lagu-lagu bertema cinta yang mampu melumerkan hati siapapun yang mendengarnya, Kahitna tentu juaranya

Dengan usianya yang menginjak 25 tahun, sudah tak terhitung lagi berapa generasi yang telah 'tersentuh' oleh lagu-lagu Kahitna. Lagu Kahitna pertama yang saya kenal dengan baik adalah Cantik yang dirilis di tahun 1996 sedangkan lagu pertama yang bisa saya nyanyikan dengan utuh adalah Setahun Kemarin (1998). Dua puluh lima tahun berkarya bisa dibilang Kahitna seusia dengan saya, 25 tahun sudah Kahitna menemani saya dengan lagu-lagu cinta mereka, menorehkan kenangan abadi dalam perjalanan hidup dan cinta saya, dan saya yakin seluruh soulmate Kahitna pun memiliki ceritanya masing-masing dengan setiap lagu Kahitna. Tidak perlu menyebutkan soulmate Kahitna sebagai bentuk jamak dari penggemar Kahitna, mama saya sendiri pun pasti memiliki banyak kenangan dengan lagu-lagu Kahitna, akan sangat menyenangkan jika saya, mama, bersama ribuan soulmate lainnya bisa bernyanyi bersama dan menyelami kenangan indah itu bersama Kahitna di dua puluh lima tahun pencapaian mereka. Dan Kahitna mewujudkan impian saya, mama, serta ribuan soulmate lainnya di Kamis tanggal 15 September kemarin, di konser Cerita Cinta 25 Tahun Kahitna. 

Tiket konser Cerita Cinta 25 Tahun Kahitna

Untuk sebuah konser yang diadakan bulan September, saya niat membeli tiketnya di bulan April. Untuk nama sebesar Kahitna yang tiket presale-nya langsung habis diburu para soulmate saya yakin tidak perlu waktu lama agar seluruh tiket untuk setiap bangku di JCC mengalami nasib yang sama, dan sebulan menjelang konser seluruh tiket telah sold out. Hujan deras dan kemacetan Jakarta mewarnai Kamis sore di tanggal 15 September itu. Dengan menggandeng tangan mama kami masuk ke dalam convention hall, menembus kerumunan soulmate di pintu utama JCC, mengantri kembali sampai pintu tribun dibuka untuk kemudian berjuang kembali mendapatkan tempat yang nyaman. Untuk kali ini saya yang biasanya berada di kelas festival pindah ke kelas tribun, tidak tega rasanya jika mama harus berdiri berdesakan di bibir panggung selama hampir tiga jam. Dari tempat kami duduk mulai terlihat bangku-bangku mahal di depan tribun mulai terisi dan penonton kelas festival dengan semangat berlarian mencari posisi paling strategis. Jam sudah bergerak melewati angka delapan namun konser tidak kunjung dimulai, penonton yang mulai bosan menunggu sekarang terlihat tidak sabar dan melontarkan berbagai komentar. Akhirnya lampu panggung diredupkan dan Jamaica Cafe tampil membuka acara.

JCC yang dipenuhi Soulmate Kahitna


Kahitna membuka dengan lagu Lajeungan dan setting panggung beretnik Indonesia 

Tirai putih tipis di balik panggung mendadak jatuh saat Jamaica Cafe selesai bernyanyi, disana personil lengkap Kahitna mulai menyapa penonton dengan lagu Lajeungan yang berhasil menyabet penghargaan Yamaha Band Explosion di tahun 1991. Carlo, Mario, dan Hedi Yunus dengan energik bernyanyi dalam nada etnik Indonesia disertai koreografi yang juga khas tarian daerah Indonesia. Latar panggung dipenuhi dengan gambar-gambar khas Indonesia, membuat semua soulmate menyadari bahwa di awal kemunculannya Kahitna bukanlah band spesialis lagu cinta, melainkan sebuah band beraliran jazz fusion etnik. Sebuah sisi Kahitna yang tidak saya kenal sama sekali, sebuah gubahan lagu yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Selesai Lajeungan disambung lagi dengan lagu Merantau yang lagi-lagi terdengar asing di telinga, irama bernuansa Minang ini masih belum mampu menggerakkan 3.500 orang yang memenuhi JCC untuk ikut bernyanyi bersama, sepertinya tidak sedikit yang senasib dengan saya dan baru kali pertama mendengarkan lagu Merantau.

Anjas - Dian di atas panggung

Break sebentar dan pasangan Dian Nitami dan Anjasmara hadir di tengah panggung saling melontarkan pujian cinta dengan menyelipkan beberapa judul lagu pamungkas Kahitna yang akan dibawakan malam itu. Selesai Dian dan Anjas meninggalkan panggung kembali layar-layar bergerak dan menampilkan formasi Kahitna berbalut setelan jas cokelat dengan dasi kupu-kupu yang menjadi ciri khas mereka. Lagu Seandainya Aku Bisa Terbang yang membuka penampilan kali ini langsung disapa hangat oleh para soulmate yang langsung histeris dan ikut bernyanyi. Lagu lawas Seandainya Aku Bisa Terbang masuk ke dalam album pertama Kahitna yang rilis di tahun 1994, nasibnya akan menjadi salah satu lagu yang juga asing di telinga saya jika saja Jak FM seharian itu tidak berbaik hati memutar lagu-lagu Kahitna seharian penuh. Kahitna Day yang diadakan stasiun radio Jak Fm membuat saya ngeh dengan lagu lawas ini dan membuat saya jatuh hati di refrain pertamanya.

"Seandainya aku bisa terbang
Kan kujelang engkau kekasih
Seandainya aku bisa terbang
Kan kugapai engkau kekasih
Dan kupeluk engkau sungguh
Untuk selamanya" (Seandainya Aku Bisa Terbang, Kahitna)

Lagi-lagi, lirik sederhana penuh makna dilebur dengan alunan piano khas Yovie Widianto selalu membuat lagu-lagu cinta Kahitna sampai ke hati para pendengarnya. Memberi puja-puji untuk para wanita dengan kata sebutan Cantik, Dewi, Permaisuri, yang sukses membuat seluruh soulmate lumer saat mendengar setiap lirik lagu Kahitna. Mau lagu cinta bahagia, sedih karena ditinggal pacar, cinta segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan, cinta jarak jauh, cinta beda agama, lagu pertunangan sampai pernikahan semua dibuat oleh Kahitna, mengiringi ribuan kisah cinta nyata yang dialami para soulmate. Namun hebatnya, semua lagu cinta yang Kahitna bawakan malam itu, mau cerita cinta bahagia maupun cerita cinta super duper ngenes tetap membawa aura bahagia dan disambut antusias oleh para soulmate. Semua bernyanyi sepenuh hati dan mengulang kenangan cerita cinta masing-masing bersama Kahitna. 

 Setting panggung didominasi foto seorang perempuan saat Kahitna memperkenalkan lagu Suami Terbaik

Bintang tamu yang hadir di konser Cerita Cinta tampil tak kalah cemerlang, The Groove membuat soulmate ikut bergoyang dengan lagu Selamat Ulang Tahun Cinta yang digubah menjadi lebih groovy. RAN tampil energik membawakan Setahun Kemarin dan Cinta Sudah Lewat sedangkan Maliq D'Essential melagukan Permaisuriku. Dalam konser ini Kahitna memperkenalkan lagu baru mereka yang belum rilis dan para soulmate yang memadati JCC mendapat kehormatan menjadi saksi lagu Suami Terbaik diperdengarkan kepada publik. Lagi-lagi, lagu yang berkisah cinta mendalam seorang suami terhadap istrinya yang telah meninggal ini sarat dengan kata cinta dan puja-puji kepada wanita yang dicintai.

Full orchestra 

Sampai Nanti Kahitna :)

Untuk sesi terakhir Kahitna tampil kembali dengan formasi full orkestra berbalut setelah berwarna putih dan hitam, membuat suasana terasa lebih megah dan sakral. Mereka terus membawakan nada-nada lagu yang menjadi hits di perjalanan karir mereka selama 25 tahun berkarya; Tak Sebebas Merpati, Menikahimu, Takkan Terganti, Soulmate, sampai Mantan Terindah semua disambut antusias oleh para soulmate. Lagu Cerita Cinta yang merupakan lagu pamungkas Kahitna dan termuat dalam album pertama mereka membuat para soulmate berdiri, bernyanyi dan ikut larut dalam irama yang memenuhi seluruh sudut JCC, seakan menyadari sebentar lagi konser yang berlangsung selama 3 jam ini akan segera berakhir. Seakan tidak rela untuk mengakhiri cerita cinta malam ini, Kahitna menutup konser dengan lagu Sampai Nanti.

"Sampai nanti, tak terbatas inginku
Harap ini takdirku tuk slalu denganmu
Sampai nanti, jiwa ini untukmu
Bukan hanya sumpahku
Tuk slalu denganmu oh dewiku" (Sampai Nanti, Kahitna)

Malam itu, saya pulang dengan hati hangat setelah berbagi Cerita Cinta bersama Kahitna. Lagu Bintang yang masuk di album Lebih Dari Sekedar Cantik (2010) mengalun di benak saya, menemani angan ini pergi jauh meninggalkan asa yang menghimpit di dalam hati. 

"Biar bintang tak datang
Ku yakin hatiku hanyalah untukmu
Walau bintang menghilang
Ku sampaikan salam sayangku untukmu

Meski mungkin aku yang harus pergi 
Tak apa tanpa harus ku mengerti 

Biar aku melangkah 
Menemani bintang menerangi malam
Jangan resahkan aku
Yang penting bahagia untukmu selalu kasihku

Meski mungkin aku yang harus pergi
Tak apa tanpa harus ku mengerti

Biar aku melangkah 
Menerangi bintang menerangi malam 
Jangan resahkan aku
Yang penting bahagia untukmu selalu kasihku
Yang penting bahagia untukmu selalu kasihku

(kasihku sayangku semua untukmu)
Yang penting bahagia untukmu selalu kasihku" (Bintang, Kahitna)


Terimakasih Kahitna untuk Cerita Cinta yang telah menemani para soulmate selama 25 tahun kalian berkarya.


PS: Untuk siapapun calon pendamping hidup saya kelak, saya mau dilamar pake lagu Kahitna :D 

Minggu, 11 September 2011

Launching Kompas TV

Konten Kompas TV

Hari Jumat 9 September kemarin Kompas TV resmi diluncurkan dan siap memberi warna baru dalam ranah dunia pertelevisian Indonesia. Mengusung slogan "Inspirasi Indonesia" Kompas TV mengedepankan program news, adventure and knowledge, serta entertainment yang mengedepankan kualitas. Konten-konten yang dihadirkan berpusat kepada kekayaan budaya, alam, dan tradisi Indonesia yang begitu kaya namun belum dieksplorasi secara mendalam. Hanya dari beberapa potongan scene berbagai program yang akan ditampilkan di Kompas TV saja mampu membuat saya makin jatuh cinta dengan Indonesia dan semakin gatal ingin menjelajahi setiap sudut negeri ini. Sebagai contoh Hidden Paradise membawa kita melihat pojokan-pojokan terpencil dari Indonesia yang belum terjamah industri pariwisata dan menghadirkan keindahan alam yang memukau, Teroka sedikit lebih ekstrim karena beragam gua vertikal maupun horizontal serta belantara hutan lebat Indonesia akan dijelajahi bersama Cahyo Alkantana yang sudah lama berkecimpung dalam dunia ini. 

Untuk anak-anak Kompas TV pun mempersiapkan program andalan yang mendidik tanpa terasa menggurui seperti Jalan Sesama (Sesame Street) dan Science is Fun. Namun bagi saya yang bukan usia anak-anak lagi masih bisa menikmati acara Kampung Main yang menulusuri permainan khas anak-anak daerah yang saat ini makin sulit ditemui di tengah gerusan teknologi yang terus berkembang, betapa permainan di alam bebas dengan menggunakan material sederhana ternyata sangat menyenangkan, betapa kayanya Indonesia dengan permainan anak yang sangat beragam dan berbeda-beda di setiap daerahnya, dan betapa harta karun seperti ini dengan rapuhnya dapat menghilang ketika gempuran permainan modern mulai memasuki desa. Bonusnya host dari acara ini oke juga *kedipkedip*. Nah, kalau acara yang lebih fresh ada Stand Up Comedy yang masih terdengar asing di telinga awam masyarakat Indonesia. Stand Up Comedy merupakan seni melawak (komedi) yang disampaikan secara live oleh seorang komedian, acara ini dipandu oleh Pandji dan Raditya Dika (fans Raditya Dika silahkan langsung meluncur ke Kompas TV).

Simfoni Semesta Raya

Bersamaan dengan mengudaranya Kompas TV maka konser Simfoni Semesta Raya digelar sebagai perhelatan pertama sebuah chanel televisi yang akan menampilkan konten-konten unggulan dari Kompas Gramedia grup ini. Saya berhasil mendapatkan undangan untuk menghadiri konser Simfoni Semesta Raya, bukan sebagai orang penting yang berkiprah dalam dunia hiburan atau pertelevisian Indonesia, tapi sebagai seorang yang kepo mengirimkan banyak twit ke @kompastv demi memenangkan dua buah undangan. Yeah, bagaimanapun ceritanya akhirnya saya menjadi salah satu saksi lahirnya Kompas TV secara live!

Invitation

Host of the night: Nadine Chandrawinata, Darius Sinathrya, Safira

Kalau ditanya lebih enak nonton konser di rumah atau nonton secara live tentu keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Nonton di rumah lebih enak karena bisa duduk nyaman di sofa, nggak perlu berdesak-desakan, tinggal melihat apa yang disodorkan oleh kamera dan tidak perlu berdiri jinjit kaki demi melihat performance artis-artis yang hadir, dan bebas dari ancaman lapar, haus, pegal, maupun kebelet pipis. Tapi nonton secara langsung lebih seru karena mendapat aliran energi dari berbagai penampilan artis, jingkrak-jingkrak bareng Giring, menari ala laskar pelangi sambil memainkan marakas yang berbunyi riang, melihat Afgran dari dekat dan tersihir oleh pandangan matanya yang menghanyutkan dan membuat semua orang sontak berteriak 'Afgaaaaaaannnnn.....' sampai tenggorokan serak, atau terpesona melihat penampilan Rossa yang hadir bak malaikat menyanyikan lagu Mahadewi milik Padi. Nonton acara yang berlangsung live seperti ini dan diselingi oleh iklan di beberapa bagiannya membuat saya tahu proses yang terjadi di balik layar,  mulai dari menggotong-gotong piano ke tengah panggung, menggotong piano kembali ke pinggir panggung, mendapat briefing singkat dari panitia untuk menggunakan marakas di saat yang tepat, sampai penampilan Stand Up Comedy oleh Pandji untuk menghilangkan bosan di kala iklan datang. 


In the middle of crowd with Kania Safitri :D

Andieeenn....

Kolaborasi jazz Monita, Andien dan Citra 

 Raditya Dika nervous maksimal :p

Afgaaaaannn....

Giriiing.....

Judika


Tepar di antara jeda iklan

Terlepas dari kontroversi dari Komisi Penyiaran Indonesia bahwa Kompas TV belum memiliki izin siaran dan pihak Kompas TV yang keukeuh bahwa mereka adalah content provider dan tidak membutuhkan izin siaran, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang berharap banyak dengan materi-materi yang akan disuguhkan oleh Kompas TV. Siap untuk jatuh cinta dengan Indonesia?

PS: Sebagaian foto merupakan milik Kania Safitri, mohon untuk tidak mengunduh foto dalam halaman ini tanpa izin.

Senin, 05 September 2011

Heading to Oslo

Gerbang kayu hitam besar itu dihiasi dengan tempelan puluhan kupu-kupu kertas, beberapa pos penjaga menandakan tempat ini merupakan perbatasan antara Swedia dan Norwegia. Saya menahan napas saat bus berhenti di salah satu pos dan seorang petugas imigrasi menghampiri supir bus untuk meminta daftar nama penumpang, secara tak sadar tangan saya meraba tas kecil yang berada di balik baju untuk memastikan paspor bersama barang berharga lainnya tetap berada aman disana. Pemeriksaan imigrasi selalu membuat saya berdebar-debar, tidak mau membuat kesalahan sekecil apapun yang menyebabkan saya bermasalah di negara orang. Petugas tersebut sepertinya cukup puas dengan memeriksa daftar nama penumpang dan bus dipersilahkan melaju masuk ke kawasan Norwegia, atau mungkin dia bosan dengan banyaknya kendaraan yang hilir mudik perbatasan ini dan notabene didominasi warga Uni Eropa sehingga pemeriksaan imigrasi berjalan cukup longgar. Entahlah, saya hanya fokus kepada satu fakta penting, saya berada di Norwegia sekarang.

 Pemandangan di sepanjang jalan menuju Oslo




Memandangi langit biru Swedia di belakang sana dari balik kaca jendela bus yang besar, mengingat kembali hari-hari menyenangkan bermandikan hangat sinar matahari musim panas bersama teman-teman baru, mencoba membaui udara yang sudah berubah dengan udara Norwegia dan bersyukur kepada Tuhan akan pencapaian perjalanan saya sejauh ini. Bahkan dalam mimpi saya yang paling gila sekalipun tidak pernah saya membayangkan pergi menjelajah Eropa seorang diri. Hutan hijau lebat melintas dengan cepat di balik jendela saya, cuaca mulai berubah menjadi lebih dingin dan gelap, barometer udara di dalam bus semakin lama menampilkan angka yang semakin rendah sejak kami melewati perbatasan Swedia - Norwegia. "Pasti di Norwegia nanti dingin", pikir saya sambil melirik jaket tipis yang setia menemani sejak boarding di Bandara Soekarno - Hatta, Jakarta. Rintik hujan mulai turun membasahi jalanan di luar sana, dingin mulai merasuk ke dalam bus dan angka barometer udara bus semakin anjlok lagi, saya teringat ramalan cuaca saat berada di Göteborg sore tadi, "Suhu akan mencapai titik tertingginya hari ini, 27 derajat Celcius namun sore hari diramalkan hujan akan turun". Saya memang sangat bergantung dengan prakiraan cuaca selama berada di benua biru ini, selama di Swedia ramalan cuaca dapat diandalkan kebenarannya. Sepertinya cuaca di zona perbatasan ini mirip dengan ramalan cuaca di Göteborg, pasti di Göteborg juga hujan sedang turun membasahi taman-taman kota.

Perjalanan Göteborg - Oslo memakan waktu selama empat jam, Swebus yang saya tumpangi sore hari dari Göteborg akan sampai di terminal Oslo pukul sembilan malam. Pemandangan sepanjang perjalanan tidak terlalu menarik minat saya, setelah tertidur beberapa lama saya terbangun dengan langit gelap dan awan kelabu yang menggantung di luar sana. Rumah-rumah penduduk mulai terlihat di sisi jalan, mobil pribadi juga mulai memenuhi sudut jalanan, sepertinya saya sudah sampai di pinggiran kota Oslo. Sambil merenggangkan badan untuk menghilangkan pegal karena tertidur di kursi bus yang keras saya menyiapkan diri karena jam di pergelangan tangan menunjukkan waktu setengah sembilan malam, sebentar lagi saya sampai ke Oslo. Bus menikung tajam dan memberi saya pemandangan baru yang menakjubkan, perairan Oslo terhampar lebar di bawah sana, yacht-yatch pribadi bersandar kalem dan memenuhi tepian perairan, tebing cadas tinggi kasar menjulang melingkupi perairan sekitar sekaligus menjadi background yang melengkapi pesona tempat ini. Awan kelabu menggantung rendah dan kabut yang mulai turun memberikan suasana magis yang langsung terekam dalam memori otak saya, beginilah cara Norwegia menyambut saya, dengan pesona alamnya yang memukau dan cuaca dingin tanpa ampun yang siap menyapa di luar sana. Dalam diam syahdu menikmati segala pesona alam ini saya tidak bisa membendung haru yang merasuk tanpa ampun, haru yang membuat saya mati-matian menahan air mata yang mulai menggenang di sudut mata. Saya sampai ke Norwegia, saya berhasil datang ke negara ini, semua kenekatan yang saya lakukan mengantarkan saya ke tempat ini, ucapan konyol saya yang berucap "Kalau nanti saya main ke Oslo" di kolom komentar salah satu teman blogger ternyata menjadi kenyataan. Mimpi ini terlalu indah untuk jadi kenyataan...

Langit kelabu Oslo dengan yatch di tepian perairan

***

Sepuluh menit menuju pukul sembilan malam bus memasuki terminal Oslo S, semua penumpang turun dan mengeluarkan bagasinya. Dengan jaket tipis yang melindungi badan dan ransel kecil tersampir di bahu saya siap menjejakkan kaki di Oslo, wuussh angin dingin langsung menerpa begitu saya keluar dari bus, cepat-cepat saya mengeluarkan ransel lainnya dari bagasi dan segera masuk ke dalam terminal yang hangat. Sesaat saya bingung, harus kemana dari sini? Saya sudah janjian dengan Felicity yang bersedia memberikan tumpangan di rumahnya selama saya berada di Oslo, dia akan menjemput di terminal pukul 21.10 sesuai dengan jadwal kedatangan bus saya. Ketepatan jadwal transportasi di Eropa memang selalu bisa dipercaya kebenarannya, hanya saja jadwal kedatangan saya ternyata lebih cepat 10 menit. Dengan dua ransel berat tergeletak di bawah bangku yang sedang diduduki saya mencoba mengirim sms untuk Feli dan mengabarkan saya sudah sampai di terminal Oslo S. Kartu Simpati di dalam ponsel telah berganti sinyal menjadi N NetCom namun sepertinya sms saya nyangkut entah dimana, waduh bagaimana cara mengabarkan Feli kalau saya sudah sampai dan menunggu di Gate 3 tempat bus saya tadi berhenti, bagaimana kalau dia menunggu di gate yang lainnya, daripada menunggu sampai bosan lebih baik saya berkeliling terminal ini, siapa tahu nanti ketemu Feli. Satu ransel besar tersampir di punggung sedangkan ransel day pack saya kaitkan ke bagian depan badan, aih saya terlihat begitu kurus dihimpit oleh dua ransel tebal ini, sip terminal ini siap untuk dijelajahi.

Menaiki eskalator saya langsung sampai di lantai dasar terminal, hanya dengan berkeliling sebentar saja saya bisa menyimpulkan kalau terminal ini mungil banget, tidak banyak yang bisa dilihat selain beberapa kedai makan yang sudah tutup. Lantai bawah tempat saya menunggu tadi lebih banyak didominasi dengan loker tempat penumpang dapat menitipkan barangnya, tarifnya 40 NOK (Norwegian Kronor, 1 NOK = Rp 1.650) untuk sewa loker selama 24 jam. Beberapa restoran dan mini market sepertinya buka sampai malam, perut mulai keroncongan saat teringat dari Göteborg tadi saya tidak sempat makan siang. Sial, saya tidak memiliki uang Norwegian Kronor karena belum menukarkannya di money changer, namun saat melihat harga-harga yang tertera untuk sebuah muffin atau kue lainnya yang dapat mengganjal perut mendadak saya hilang selera, mahalnya nggak nahaaann :(( Huff, sekarang bagaimana, apa yang harus saya lakukan? Mungkin sebaiknya saya tetap menunggu di gate kedatangan tadi dan mencoba mengirim sms lain untuk Feli, bersamaan dengan itu saya melihat seorang perempuan berkulit coklat berbalut jaket kulit melambaikan tangannya dan tersenyum kepada saya. Aah, itu pasti Feli...

***

Flashback. Semuanya berawal dari perkenalan kami lewat dunia blogger, blog Feli banyak bercerita tentang Norwegia, negara yang menjadi tempat tinggalnya sekarang. Awalnya hanya sedikit yang saya ketahui tentang Norwegia, perbendaharaan pengetahuan saya tentang negara yang terletak di Eropa Utara itu  hanyalah fjord (lautan yang menjorok ke dalam daratan) namun tulisan-tulisan Feli membuat saya mengenal Norwegia lebih baik lagi. Keindahan alam Norwegia seringkali menjadi suguhan utama dari postingan-postingan blognya, membuat siapapun yang membaca dan melihat foto-foto yang dipajang ingin pergi mengunjungi Norwegia dan mencicipi petualangan di alam bebasnya. Saya pun ikut tergoda untuk pergi mengunjungi Norwegia dan seringkali menulis "Kalau nanti saya main ke Norwegia..." di kolom komentar untuk tulisannya.

Feli tidak hanya mengenalkan saya kepada Norwegia, tapi dia pun memberi banyak dukungan dan bantuan sejak proses pembuatan proposal, pengajuan visa, sampai saya berangkat ke Eropa dan menghabiskan waktu di benua itu. Saya sudah menunggu-nunggu momen ini, saat dimana akhirnya saya bisa bertemu Feli di dunia nyata, di sebuah negara yang begitu jauh dari rumah, mewujudkan kata "Hugs" yang selalu menjadi penutup emailnya menjadi sebuah pelukan hangat sahabat yang dipertemukan oleh dunia maya. 

Hugs.... Pelukan hangat itu benar-benar membuat haru kembali menyeruak, saya berada di Oslo sekarang. 

Feli dan saya :)