Rabu, 27 November 2013

Hei, A

Hei A,

It's been a while since our last chat. Since our last fight. Lalu kemudian kita saling menghilang dari kehidupan satu sama lain. And trust my word, I'm not missing you. At all. Hehe... Dan kamu pun mungkin begitu. Ah, siapa yang peduli.

Hei A,

Kamu masih ingat dengan perkenalan pertama kita? Aku akan selalu ingat karena ketika semesta memperkenalkan kita kala itu, maka garis hidupku pun perlahan berubah arah. Tentang aku yang tergila-gila pada karyamu yang independen tapi menyihir itu. Dan tentang kamu yang merasa geli melihat sikapku yang berlebihan memuja karyamu itu. Sesederhana itu perkenalan kita terjadi.

Hei A,

Film, buku, travel, dan menulis. Hanya dibutuhkan empat topik itu untuk membuat kita larut dalam obrolan berjam-jam hingga pagi menjelang. Denganmu keempat topik itu berkembang dalam batas yang luar biasa luas. Denganmu film bukan hanya sekedar gambar bergerak, buku bukan sekedar tulisan bercerita, travel bukan hanya tentang bepergian, dan menulis adalah cara mengekspresikan diri dalam bentuk yang paling jujur. Denganmu keempat hal ini menjadi suatu hal yang selalu menarik untuk ditelisik setiap sisinya. Untuk menemukan pesona tersembunyi di baliknya.

Karena tanpamu A, film, buku, travel, dan menulis kehilangan daya pikatnya.

Hei A,

Nyaman. Hanya rasa itu yang mampu kita berikan satu sama lain. Rasa yang membuat kita menjalin hubungan tanpa ikatan, tanpa rasa memiliki, tapi saling membutuhkan satu sama lain.

Pertanyaannya adalah sampai kapan?
Entahlah. Kita tidak pernah berpikir sejauh itu. Untuk apa berpikir sejauh itu? Toh tidak ada masa depan untuk kita berdua. Kita hanya menjalani apa yang ada saat ini tanpa tendensi apapun. Semudah itu. Sesimpel itu.

Hei A,

Kamu ingat dengan salah satu kalimat favoritku? Bahwa Tuhan tidak pernah dengan sengaja mempertemukan kita dengan seseorang. Selalu ada maksud yang ingin Dia sampaikan ketika Dia mempertemukan kita dengan orang-orang yang hadir dalam kehidupan ini.

Mungkin, jika saja aku tidak pernah mendapati karya independenmu itu di rak buku, jika saja kamu menganggapku sama seperti pemuja karyamu yang lain, maka cerita kita akan berbeda. Aku hanya akan menghabiskan waktu dari balik meja kantor tanpa memiliki mimpi untuk melihat dunia. Sedangkan kamu, yah kamu akan tetap menjadi dirimu seperti yang sekarang ini yang sungguh mencintai perhatian para penggemarmu itu. Tidak akan ada banyak bedanya untuk dirimu yang mengidap penyakit narsistik tingkat akut itu, hehe...

Terima kasih A. Karenamu aku menyadari apa yang ingin aku kejar dalam hidup ini. Karenamu aku telah melewati garis-garis pembatas yang selama ini mengekang langkahku.

Hei A,

Apakah kamu heran membaca surat ini? Setelah sekian lama kita menghilang dari kehidupan masing-masing lalu kamu mendapati suratku ini. Entahlah, aku hanya merasakan sebuah dorongan untuk menulis untukmu. Tapi mungkin kamu sudah bisa menebak mengapa aku menulis surat ini. Kamu cukup mengenalku bukan?

Dear A,

Semua yang memiliki awal pasti memiliki akhir juga. Rasa nyaman itu pada saatnya juga harus mengalah pada realita. Dan kini masa itu tiba. Masa ketika akhirnya kamu mendahuluiku.

Dear A,

Terima kasih pernah hadir dalam hidupku. Memberi warna dan mengajarkan arti baru dalam hidup ini padaku. Aku tidak menangis A, pun tidak tersenyum bahagia untukmu, hehe...

A, semoga rangkaian kalimat ini cukup untuk menggambarkan rasa terima kasihku untuk semua hal yang pernah kita lalui bersama. You're not the best thing in my life, but you've painted new color in my life. Semoga itu cukup untuk menggambarkan arti dirimu dalam hidupku.

Dear A,

Then this is a good bye for us. 
The end of our story. 


PS: Terima kasih, karena sampai waktu itu pun tiba kamu masih berusaha untuk menjaga perasaanku :)