Menurut saya setiap orang memiliki momen-momen tertentu yang membuat mereka merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Momen tersebut dapat hadir dalam beragam cara dan bentuk, ada yang menemukannya ketika dia berdoa, ketika menangis dan mencurahkan semua perasaannya dalam gerakan salat, saat membaca kitab suci, saat bersedekah, atau saat membelai lembut rambut anak-anak yatim piatu di panti asuhan sembari menghibur mereka dengan cerita dongeng. Sedangkan saya menemukan momen tersebut ketika melakukan sebuah perjalanan. Ketika menjelajah sebuah tempat asing yang begitu jauh dari rumah sehingga yang terasa hanya ada saya, Tuhan, dan alam yang berbicara dengan bahasanya masing-masing.
Seperti malam ini, ketika saya duduk termangu di salah sofa ruang duduk rumah Feli dan memandang bayang-bayang pemandangan kota kecil dari balik jendela. Secangkir teh yang tak lagi mengepul tergeletak di samping jurnal yang baru selesai ditulis, rekap catatan perjalanan yang dilakukan seharian ini. Feli sudah pamit tidur lebih awal sementara saya masih ingin menutup hari dengan menunggu langit berubah warna menjadi gelap sempurna. Perlahan dingin mulai merayap menembus pertahanan sebuah kabin musim panas yang seharusnya hangat. Bunyi berkelatakan timbul bukan karena langkah kaki di atas lantai kayu, tetapi karena perubahan cuaca dari hangat ke dingin sehingga kayu memuai lalu menyusut. Angin membawa aroma dingin yang bercampur dengan wangi daun, bunga liar, ranting kayu, dan tanah yang tertinggal di ujung hidung. Aroma khas yang menyadarkan bahwa saya sedang berada di salah satu negara yang terletak di ujung utara bumi ini. Sebuah negara yang masuk dalam lingkaran Kutub Utara.
Sofa di ruang duduk rumah Feli
Konon di negara yang masuk dalam lingkaran Kutub Utara matahari dapat terbit selama 24 jam. Midnight sun kebanyakan orang menyebut fenomena tersebut. Dan saya termangu menatap pemandangan di luar jendela untuk mengamati warna langit yang terangnya perlahan meredup, mencoba tidak mengidahkan dingin yang menelusup dari celah-celah kayu, menahan kantuk karena jarum jam telah bergerak melewati angka 10. Matahari memang telah menghilang sama sekali namun saya tetap penasaran ingin melihat sampai kapan terang dapat bertahan sebelum gelap menelan seluruh cahayanya.
Langit malam Oslo di musim panas
'Tuhan, izinkan aku melihat lukisanMu di bumi Skandinavia.' Saya ingat, doa itu yang dahulu terucap ketika saya mulai merancang semua perjalanan gila ini. Dan entah bagaimana caranya semesta tiba-tiba memuluskan jalan saya menuju negara ini. Seakan Tuhan dan semesta berkonspirasi untuk mengabulkan pinta saya dan mengirim saya ke bagian lain dari dunia ini. Dan disinilah saya sekarang, menatap langit dengan mata berat untuk memperkirakan dengan pasti kapan langit benar-benar menggelap kelam. Merasakan langsung kuasaNya dalam mengendalikan semua benda di langit dan bumi sementara kita manusia hanya dapat mengagumi. Dan di titik seperti inilah saya merasa begitu dekat dengan Tuhan sekaligus merasa kecil tak berdaya melihat kehebatanNya.
Untuk melihat lukisanMu, Tuhan. Tanpa sadar saya mendesah pelan mengingat kalimat itu. Lukisan yang saya maksud adalah pemandangan alam khas Norwegia berupa fjord berdinding tebing kasar dengan air terjun hasil lelehan gletser beserta hutan hijau dan kabut yang melingkupi. Pemandangan alam fantastis itu yang membuat saya berangkat sejauh ini dari negara tropis yang hanya mengenal dua musim ke sebuah negara yang bertetangga dengan Kutub Utara. Tapi mimpi saya untuk melihat lukisan itu buyar saat melihat tiket Norway in a Nutshell sudah fully booked bahkan sampai hari kepulangan saya ke Indonesia.
Norway in a Nutshell
Tuhan, aku sudah sedekat ini untuk melihat lukisanMu. Buatlah sebuah keajaiban agar aku sempat melihat lukisan itu dengan mata kepala sendiri. Untuk melihat kebesaranMu Tuhan. Untuk mengagumi kebesaranMu. Kalimat itu terucap dalam hati seiring dengan padamnya terang di langit kota Oslo. Doa, meminta dengan setulus hati, hanya itu yang mampu saya lakukan ketika seluruh jalan telah ditempuh dan seluruh usaha telah dikerahkan. Dan berharap semoga Tuhan berkenan menciptakan keajaiban lain untuk saya di negara ini.
***
Hari beranjak siang ketika saya terbangun. Feli sudah sibuk menyiapkan sarapan, atau mungkin makan siang, ketika saya menyeret langkah ke dapur. "Morning, kirain gue lo sakit makanya belum bangun." Kemudian dia menghidangkan teh beraroma kayu manis dan apel dengan tambahan susu cair sebagai pengganti gula. Teh favoritnya yang akhirnya menular menjadi teh favorit saya selama menumpang di rumahnya.
"Sorry, gue tidur malem banget semalem," ucap saya sambil tersenyum malu sekaligus merutuki diri sendiri di dalam hati. Udah numpang berani-beraninya bangun telat. Malu-maluin aja!
"Jadi agenda hari ini ngapain aja?" tanya Feli kemudian untuk sekedar memastikan ulang agenda kami di hari tersebut. Kegiatan ini menjadi semacam rutinitas pagi kami sebelum berangkat meninggalkan rumah.
Saya mengingat-ingat sebentar lalu membuka jurnal, "Ke Munch Museet, Holmenkolen, terus malamnya berangkat ke Bergen." Saya tidak dapat menyembunyikan rona wajah kecewa bercampur kebingungan saat menyebut kata Bergen. Seharusnya saya mengikuti tur Norway on a Nutshell di kota itu untuk mengagumi panorama alam khas Norwegia di sepanjang aliran fjord yang membentang. Untuk melihat pulasan warna-warni lukisan Tuhan di Norwegia.
"Tenang aja, lo pasti suka dengan Bergen walau nggak bisa ikutan Norway in a Nutshell. Kotanya cantik kok." Feli yang sepertinya mengetahui kekecewaan saya berusaha menghibur.
Saya tersenyum mengiyakan. Bagaimanapun juga saya harus berangkat ke Bergen. Hanya saja saya tidak yakin harus menulis apa tentang Bergen di buku panduan Skandinavia yang harus saya tulis sepulangnya saya ke Indonesia nanti. Bergen membanggakan dirinya sebagai The Gateway to the Fjords of Norway, di kota inilah tempat yang paling tepat untuk melihat fjord dan panorama menawan Norwegia. Mengarang? Ah bagaimana bisa saya mengarang sesuatu sehebat lukisan Tuhan jika saya tidak pernah melihatnya secara langsung.
***
Jam 6 pagi keesokan harinya kereta NSB yang membawa saya dan Feli dari Oslo sampai di Bergen Railway Station. Feli tidak salah saat mengatakan saya tidak akan menyesali keputusan untuk tetap datang ke Bergen. Pemandangan kereta dari Oslo menuju Bergen (The Bergen Railway) sangat menakjubkan, bahkan rute ini disebut-sebut sebagai salah satu jalur kereta dengan pemandangan tercantik di dunia. Bagaimana tidak, ketika matahari pukul 4 pagi menampakkan dirinya terlihat pemandangan pegunungan kasar yang ditutupi gundukan salju tebal. Seumur hidup baru kali itu saya melihat salju dengan mata sendiri. Pemandangan selanjutnya tidak kalah mencengangkan, danau sebening kristal memantulkan pemandangan di atasnya. Persis seperti cermin. Feli bilang itu bukan danau melainkan fjord. Jantung saya terasa berdebar keras melihat semua keindahan itu dari dalam kereta yang bergerak cepat.
The Bergen Railway
Percayakah kalian kalau Tuhan bekerja dengan caranya yang misterius? Saya percaya itu. Terkadang saya merasa Tuhan tidak pernah mendengar doa saya, betapa Dia terasa begitu jauh sehingga tidak dapat teraih. Tapi tak jarang juga dia terasa dekat, terasa lebih dekat dibanding urat leher sendiri dan mewujudkan keajaiban-keajaiban yang terasa mustahil. Di pagi yang terasa membeku itu saya duduk melamun sambil mengunyah sandwich yang menjadi menu sarapan. Sementara itu Feli menyeruput teh panasnya sambil mengecek email melalui handphone. Tak berapa lama kemudian dia melonjak-lonjak kegirangan seperti anak kecil, tak dapat berhenti walau beberapa pasang mata di kafe kecil stasiun itu melihat ke arahnya. Saya memandang keheranan, apakah jadwal kepulangan T, suami Feli, dari Amerika dipercepat sehingga dia mendapat serangan kegembiraan seperti ini?
"Yes, yes, yes!!!" Kalimat itu menyertai setiap lonjakan senangnya. "Visit Bergen menyetujui permintaan tiket Norway in a Nutshell kita. Tiketnya bisa langsung diambil hari ini juga di kantor mereka."
Untuk sejenak saya hanya terbengong mencerna kata-kata tersebut. Detik selanjutnya saya sudah ikut melompat-lompat gembira dan menjerit kecil bersama Feli, tak memperdulikan orang-orang yang semakin memandang aneh kepada kami.
Beberapa hari sebelumnya kami memang mengajukan permintaan tiket Norway in a Nutshell pada Visit Bergen saat melihat tiket tersebut sudah fully booked. Dengan menyebutkan bahwa saya akan menerbitkan buku panduan perjalanan dan menulis tentang Bergen di dalamnya serta koneksi yang dimiliki oleh T mereka menyanggupi permintaan tersebut, namun dengan tenggat waktu minimal dua minggu. Entah bagaimana tenggat waktu tersebut tiba-tiba menciut dan disetujui hanya dalam waktu dua hari. Visit Bergen memberi tiket Norway in a Nutshell tepat di jadwal yang telah saya atur sebelumnya. Di hari kedua saya di Bergen, untuk tiket Norway in a Nutshell yang berangkat dari Bergen menuju Oslo (sekalian untuk tiket pulang ke Oslo), dan gratis!!!
Terkadang Tuhan menyapa kita di tempat dan waktu yang sama sekali tidak pernah terpikirkan. Seringkali saya menemukan momen tersebut dalam perjalanan, seperti kali ini ketika dia lagi-lagi memberi satu keajaiban kecil dengan mengabulkan permintaan saya.