Bogor, di sebuah kedai kopi pada sore yang hujan.
“I need a closure,” ucap saya pahit. Sepahit
kopi hitam pekat tanpa gula yang saya pesan barusan.
Gita yang
sedari tadi menemani saya menghabiskan sore berhujan di Bogor menyernyit mendengarnya. “Closure for what?” tanyanya
retorik dengan nada acuh. Setelah menghirup wangi cappuccino dan mereguk
sedikit isinya dia melanjutkan, “untuk hubungan lo dan Arya? Seinget gue,
lo dan Arya nggak pernah mendeklarasikan ikatan apapun untuk hubungan nggak jelas
kalian berdua itu. So, closure for
what?”
Saya tertawa kecil mendengar reaksi
Gita. “Don’t be that
cynical,
Git. Lo yang paling tau kalau menutup cerita dengan Arya nggak pernah menjadi
perkara mudah untuk gue.”
“Masochist,” cibir Gita. “Segitu sukanya lo disiksa perasaan sama Arya?”
“I’m not!” Saya tertawa berderai sambil melempar bantal kursi ke
arahnya.
“Then what?” tanya Gita tajam. “Dua tahun lo menggantungkan diri pada
Arya. Memilih untuk menjalani hubungan tanpa ikatan, ikut tersenyum bahagia waktu
Arya cerita tentang calon istrinya, sampai pada akhirnya dia ninggalin lo pergi
begitu aja.”
Kata-kata Gita barusan langsung menusuk tepat di hati, walau
demikian saya masih bisa melengkungkan senyum. “I’m fine with it. Itu pilihan yang gue ambil agar gue bisa menjadi
salah satu chapter dalam cerita hidup
Arya. Hopefully, menjadi chapter yang menyenangkan.”
Gita menggelengkan kepala tak habis pikir mendengar jawaban
saya. “You truly are masochist,”
ucapnya sambil memeluk bantal kursi yang barusan saya lempar lalu menatap tajam
ke arah saya.
…
“Well, maybe I
am,” ucap saya menyerah.
Gita menggeser duduknya ke sofa di sebelah saya. Sambil
memegang tangan saya dia berkata lembut, “kalau lo segitu sayangnya sama Arya,
kenapa nggak pernah bilang sama dia?”
Saya tersenyum hambar. “Bukan begitu jalannya untuk gue dan
Arya. Kita berdua merasa nyaman saat bersama dan rasa itu yang membuat kita menjalin
hubungan tanpa ikatan. Tanpa rasa saling memiliki, tapi saling membutuhkan satu
sama lain.”
“Tapi mau sampai kapan lo terus dibayang-bayangi sosok Arya,
Sha?” tanya Gita dengan sabar. “Arya udah memilih pendampingnya, lo sendiri juga
sebentar lagi akan menikah. Jadi berhentilah hidup di masa lalu.”
Saya menggigit bibir lalu menghela napas pendek sebelum mengulang kalimat yang sama yang sudah saya ucapkan sebelumnya. “I need a closure, Git.”
“How? Ketemuan sama Arya? Jujur tentang perasaan lo ke dia? Would it be a closure for you?”
Saya menggelengkan kepala. “If I say England would be my closure, will you called me crazy?”
“Of course not,” jawab Gita sambil tersenyum tipis. “You’re insane,” sambungnya pedas.
Jakarta, Stadion Gelora
Bung Karno setelah pertandingan Liverpool FC Pre-Season Tour selesai.
Kopites (sebutan untuk fans Liverpool FC) mulai beranjak
meninggalkan kursinya sementara Arya masih terhenyak di tempat duduknya. Dia masih
saja menggeleng-gelengkan kepala, seakan tidak mempercayai penglihatannya
sendiri. Entah untuk keberapa kalinya dia kembali mengucapkan kalimat yang
sama. "I’ve just watched Steven Gerrard
played in front of me! God, this can’t be real!”
Saya tersenyum simpul melihat semangat Arya yang masih
meluap-luap. Sejak menempati kursinya Arya tidak dapat duduk tenang, dia
menyanyikan anthem You’ll Never Walk
Alone sampai tenggorokannya kering, melompat-lompat riang seperti anak
kecil kebanyakan gula, serta bersorak paling keras saat melihat berbagai
manuver yang dilancarkan pemain Liverpool. Arya seakan berada di dimensi yang
berbeda dengan saya. Dia tengah tenggelam dalam dunia yang begitu dicintainya.
“Makasih tiketnya ya, Sha. Nggak nyangka kamu bisa dapet
posisi sebagus ini, must be very
expensive ya?” kata Arya sambil merangkul bahu saya lalu mengecup kening
saya sekilas.
“No problemo
mister,” ucap saya tersenyum tak kalah
lebar.
“Walau belum bisa ‘naik haji’ ke Anfield dan nonton Liverpool
langsung disana, LFC tour malem ini cukup memuaskan.” Mata Arya bersinar senang
dan sebuah senyum lebar tersungging di wajahnya. “Suatu hari nanti aku harus
nonton mereka langsung di Anfield. Pokoknya, sebelum aku mati, aku harus pergi
ke Anfield.”
Dahi saya menyernyit, “kamu mau bela-belain ke Inggris cuma
untuk pergi ke Anfield dan nonton Liverpool live
disana?” Nada heran terselip dalam kalimat saya.
“For sure.” Arya menjawab tegas disertai anggukan kepala mantap.
Menandakan dia tidak main-main dengan mimpinya tersebut.
“Eeerr.. I don’t really
get the point...” kalimat saya
menggantung di udara, tidak mengerti dengan jalan pikiran Arya.
Arya terdiam sejenak, seperti berusaha menyusun kata-kata
yang dapat mewakili kecintaannya pada Liverpool FC. “Bagi aku, seperti jutaan Kopites
lainnya, Liverpool adalah way of life,”
nada suara Arya terdengar seperti menyiratkan sebuah kerinduan besar yang belum
dituntaskan walau beberapa menit yang lalu dia baru menonton pemain Liverpool
beraksi di lapangan hijau. “Liverpool dengan caranya sendiri mampu
menginspirasi nadi kehidupan para Kopites. Kita ada tidak hanya saat klub
bermain baik, tapi kita juga tetap mendukung klub di saat-saat terburuknya. Itu
yang menjadikan klub LFC dan Kopitesnya solid seperti keluarga, itu juga yang
membuat Kopites belajar mengambil hikmah dari semua hal yang menimpa klub
maupun pemain, baik ataupun buruk.”
Saya terpana mendengar cinta yang terselip dalam setiap kata
yang Arya ucapkan. Mata Arya yang berbinar indah saat mengucapkan kata
Liverpool seperti menghiptonis saya. Binar itu terlihat begitu hidup, penuh
dengan cinta dan passion.
“Ada sebuah pertandingan bersejarah Liverpool yang membuat
semua Kopites percaya bahwa impossible is
nothing.” Arya melemparkan pandangannya ke lapangan Gelora Bung Karno
sebelum melanjutkan cerita, seakan membayangkan pertandingan bersejarah
tersebut sedang terjadi tepat di depan matanya. “Final Liga Champion 2005,
stadion Kemal Ataturk, Istanbul. Liverpool yang nggak diunggulkan maju ke babak
final menghadapi klub raksasa Eropa, AC Milan. Hanya perlu satu menit untuk AC
Milan berhasil membuat gol mereka yang pertama. Bahkan sampai babak pertama
habis Liverpool harus menerima kenyataan kalau mereka habis dibantai 3 – 0
tanpa balas.
Bayangkan hancurnya mental pemain dan pendukung Liverpool
saat itu. Peluang menang tipis, nyaris nggak ada malah. Semua Kopites di
seluruh dunia hanya bisa berdoa, cuma keajaiban yang bisa membalikkan keadaan. Lagu
You’ll Never Walk Alone terus
dinyanyiin Kopites di stadion Kemal Ataturk sepanjang sesi istirahat, mereka menyemangati
sekaligus mendoakan para pemain lewat lagu tersebut.
Walk on, through the wind
Walk on, through the wind
Walk on, through the rain
Though your dreams be tossed and blown
Walk on, walk on, with hope in your heart
And you'll never walk alone
Dan kamu tau, Sha? Keajaiban
itu terjadi 9 menit kemudian saat babak kedua dimulai. Steven Gerrard berhasil
menyarangkan bola di gawang AC Milan. Gol pertama bagi Liverpool yang seakan
membangkitkan semangat tim dan pendukung. Dan keajaiban nggak berhenti sampai
disitu aja, dalam waktu enam menit berikutnya Liverpool berhasil menyamakan
skor menjadi 3 – 3.”
Jantung saya terasa mencelos mendengarnya. Miracles do happen, batin saya.
“Liverpool berhasil membalikkan keadaan hanya dalam waktu
enam menit,” Arya menggelengkan kepalanya mengingat momen ajaib tersebut, “dan
mereka berhasil mempertahankan posisi itu sampai waktu pertandingan habis. Pertandingan
akhirnya ditutup dengan adu pinalti, yang dimenangkan oleh Liverpool.”
Siulan lagu You’ll
Never Walk Alone mengalun pelan mengisi stadion Gelora Bung Karno yang
mulai sepi. Arya kembali tenggelam dalam dimensinya, dalam dunianya, dalam
kecintaannya pada Liverpool FC. Saya tercenung mengamati, perlahan mengerti
alasannya.
“Impossible is nothing,
Sha,” ucap Arya tiba-tiba. “Kamu hanya perlu berjuang sedikit lebih keras untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang melintas di kepala.”
Saya memandang Arya dengan penuh sayang. Kamu selalu punya cara untuk menyemangati aku berani memperjuangkan
mimpi ya, Ar. Pandangan saya kemudian jatuh kepada kamera mirrorless dengan
lensa tele di pangkuan. Dua tahun lalu, setelah saya mengenal Arya, saya mulai
berani mengambil pekerjaan freelance
sebagai fotografer amatir. Arya yang pertama kali mengatakan kalau saya
berbakat dan mendorong saya untuk mengembangkan diri di dunia fotografi.
Berkenalan dengan seorang Arya adalah sebuah turning point dalam hidup saya. Bagi
saya, Arya adalah role model,
seseorang yang menjalani hidup yang tidak pernah berani saya imipikan: bebas,
lepas, tidak terikat, begitu hidup, penuh dengan mimpi. Hanya berkaca dari
dirinya saya menjadi seseorang yang berani mengejar mimpinya sendiri. Hanya
meminjam sedikit semangatnya, saya menjelma menjadi seseorang yang sama sekali
baru. Saya ingin selalu dan selalu mengikuti jejak langkahnya. Mengekor di
belakangnya. Memandangi punggungnya dari kejauhan.
Dan jika Arya berkata dia akan mengunjungi Anfield suatu hari
nanti dan menonton Liverpool FC langsung dari sana, saya percaya mimpi itu akan
jadi kenyataan. Karena Arya selalu memperjuangkan mimpi yang dia punya sampai
dia berhasil mewujudkannya.
“One day, kita ke
Anfield bareng ya, Sha,” cetus Arya tiba-tiba.
Saya terkejut mendengarnya. “Kita?” tanya saya
mengkonfirmasi.
“Iya, kita berdua,” kata Arya sambil menggenggam tangan saya
hangat, seakan mengalirkan semangat yang meletup-letup dalam dirinya. “Kita ke
Anfield bareng. Aku bisa nulis tentang Liverpool dan kamu bisa motret disana.
Itu akan menjadi kolaborasi karya kita yang pertama.”
Hati saya mendadak hangat mendengar kata-kata Arya barusan. Tenggorokan
saya tercekat oleh rasa haru yang menerpa. Untuk pertama kalinya Arya
menyertakan saya dalam mimpinya. Sebuah mimpi besar yang telah dipendamnya
lama.
Saya mengangguk dalam buncahan rasa bahagia. “One day, Ar. Kita, Anfield, dan
Liverpool.”
Bogor, masih
dengan hujan deras yang mendera.
Gita memutar bola matanya setelah saya menceritakan
percakapan saya dan Arya setahun silam. “Kenapa musti jauh-jauh ke Inggris,
sih?” ucapnya skeptis. “Kalau cuma pertandingan Liverpool sih nonton aja di TV.
Selesai deh.”
Hasrat ingin menjitak wanita bermulut tajam ini rasanya naik
ke ubun-ubun. “It’s not that simple,
Git,” jawab saya berusaha sabar. Kalau
se-simple itu pasti udah gue lakuin dari dahulu kala, rutuk saya dalam hati.
“Bagi gue, chapter antara gue dan
Arya itu adalah sebuah chapter
kehidupan dengan cerita ‘grande,’
nggak bisa diselesaikan hanya dengan nonton pertandingan Liverpool di TV.”
“Oke, oke,” Gita tertawa kecil melihat rengutan sebal di
wajah saya. “Fine, England then.
Terus lo mau ngapain disana? Bengong-bengong-bego di Anfield atau nangis
meraung-raung sambil manggil nama Arya?”
“HIH!” Saya tidak tahan untuk tidak menjitak kepala Gita. “I’m going to find my closure in England. In
Liverpool. In Anfield. Period!” Jawab saya tegas tak bisa ditawar.
Gita mengangkat bahunya, memilih diam daripada menyulut
amarah saya dengan komentar-komentarnya. Hujan kembali mengisi hening dan
lamunan dengan cepat menenggelamkan pikiran saya. Mimpi dan janji yang terucap
setahun silam itu masih tersimpan baik di benak saya dan terus mengusik untuk
diwujudkan. Saya tahu, closure itu
hanya akan saya temukan di Anfield. Closure
itu baru akan terjadi jika saya menuntaskan mimpi dan janji yang terucap antara
saya dan Arya.
Saya tidak bisa menahan lagi sesak yang memampat di dalam dada hingga rasanya begitu sulit untuk bernapas. “I need a closure, Git,” isak saya teredam oleh suara hujan yang memenuhi udara. “I need to go to England. I need a closure
so I could continue my life,” ucap saya lirih.
“Gue nggak tau akan ngapain di Anfield nanti. Mungkin gue
akan menyentuh semua barang yang akan Arya sentuh jika dia kesana, mencari-cari
binar yang gue lihat di mata Arya saat dia bercerita tentang mimpinya
mengunjungi Anfield pada mata Kopites yang lagi ‘naik haji’ disana, menyesap
aura Anfield dan merelakan Arya yang udah nggak menjadi bagian dari chapter hidup gue lagi.”
Gita merangkul saya, berusaha menenangkan berbagai hempasan emosi
yang timbul dalam diri saya. “Gimana kalau lo bikin photo essay disana?” ucapnya lembut.
Photo essay? Ya, itu akan menjadi karya tunggal saya yang memuat Arya di
dalamnya. Sebuah photo essay tentang closure. Sebuah damai yang menunggu saya
di Inggris. Sebuah penutupan yang ‘grande’
untuk chapter kehidupan saya bersama
Arya.
Saya harus pergi ke Inggris.
Tulisan ini fiksi dan dibuat untuk mengikuti kompetisi #InggrisGratis yang diadakan oleh Mister Potato.