Tahun ini Java Production mengkreasikan satu festival musik baru yang
mengkombinasikan genre pop, rock, R n B, urban, dan electronic dance sekaligus.
Publik sempat mengira Java Soundsfair sebagai festival musik yang merupakan gabungan
antara Java Rockin’ Land dan Java Soulnation, mengingat kedua event tahunan
tersebut gagal diselenggarakan tahun ini. Namun Java Production dengan tegas
menampik hal tersebut dan mengatakan Java Soundsfair merupakan festival musik
yang berbeda dengan festival musik yang pernah ada sebelumnya. Apakah
kedepannya Java Production akan menyelenggarakan empat festival musik (Java
Jazz Festival, Java Rockin’ Land, Java Soulnation, Java Soundsfair) sekaligus
setiap tahunnya? We will see.
Seperti festival musik yang digelar Java Production sebelumnya, Java
Soundsfair juga menghadirkan puluhan artis dalam dan luar negeri untuk
meramaikan acaranya. Java Soundsfair sendiri diadakan selama tiga hari berturut-turut
dengan JCC sebagai venue yang dipilih kali ini. Dilihat dari line up artisnya,
Java Soundsfair sepertinya dapat mewujudkan genre yang diusung sebagai tema
dasar festival. Sebutlah MAGIC! yang beraliran reggae fusion, Sophie Ellis
Bextor yang identik dengan lagu disko feminim nan ceria, belasan DJ yang namanya
tidak familiar di telinga namun siap menghentak penonton dalam nada upbeat.
Line up artis dalam negeri sendiri cukup mengejutkan dengan hadirnya Mocca dan
Float yang sudah cukup lama vakum.
Java Soundsfair dengan cerdasnya memasang artis-artis andalan dari
beragam genre ke dalam tiga hari yang berbeda. Membuat saya kebingungan
menjatuhkan pilihan, hari mana yang sebaiknya dihadiri. Pilihan akhirnya jatuh
ke hari pertama festival dimulai. Alasannya simpel, karena di hari tersebut
Sophie Ellis Bextor dan MAGIC! perform.
Hop On Hop Off Stage
Satu jam sebelum performance Sophie Eliis Bextor saya gunakan untuk
keluar masuk beberapa stage berbeda. I called this as hop on hop off stage.
Mampir ke beragam stage berbeda. Kalau betah saya akan menghabiskan waktu lebih
lama disana, kalau bosan tinggal pindah ke stage lain. Inilah salah satu
kelebihan festival gelaran Java Production, beberapa artis perform dalam waktu
yang sama di panggung berbeda. Penonton tinggal memilih dan mengkobinasikan
sendiri mau menonton yang mana.
Pilihan pertama, stage Cendrawasih
3 dimana CTS sedang perform. Whatever CTS means for, saya datang ke stage Cendrawasih
3 karena mayoritas semua DJ perform disana. Benar saja, saya langsung disambut
lagu Kokoro No Tomo yang di-remix sedemikian rupa sehingga menghentak stage yang
lebih mirip dengan dance floor. Penonton terlihat menikmati ramuan musik CTS
dan menghentakkan badan mengikuti irama. Andai saja ada bar area, stage ini tak
akan berbeda dengan tempat dugem.
Dari panggung terlihat tiga orang mengenakan
topeng dengan layar LED di bagian wajah. Layar LED menampilkan tiga gambar
berbeda pada ketiga orangnya: lingkaran, segitiga, dan kotak. Belakangan saya
baru tahu kalau CTS merupakan representasi dari ketiga bentuk tersebut dalam bahasa
Inggris: Circle, Triangle, Shape. Ada perasaan aneh yang timbul saat melihat
CTS. Dengan kostum serupa astonot dan kepala ditutup helm ber-LED, saya seperti
melihat alien sedang ber-DJ. Aneh banget!
Dari stage Cendrawasih 3 saya pindah ke Plenary Hall yang menjadi main
stage. RAN sedang perform disana. Walau termasuk artis andalan, namun penonton
yang memadati Plenary Hall tidak membludak. Dengan mudah saya dapat menyelip ke baris tengah
untuk memotret. Penampilan RAN sendiri cukup menyenangkan, mereka membawakan lagu
andalan Pandangan Pertama dan Dekat di Hati sebagai dua lagu terakhir sebelum
menutup acara. Mampu membuat seluruh penonton ikut bernyanyi bersama dan larut
dalam suasana.
Gorgeous Tante Sophie
Selesai performance RAN stage akan dipakai untuk performance Sophie
Ellis Bextor. Penonton yang memiliki niatan sama untuk mendapat front row
memadati pintu masuk stage yang masih ditutup. Kompetisi lari dimulai saat
pintu dibuka dan seluruh penonton berhamburan memasuki Plenary Hall. Belum
pernah rasanya saya berlari secepat dan segragas itu demi mendapatkan front
row. Perjuangan itu terbayar saat tante Sophie keluar dari back stage. Napas
saya serasa tertahan dan berulang kali berucap ‘oh my God, oh my God’ berulang
kali. Jarak saya dan tante Sophie tidak sampai 10 meter! Dari jarak sedekat
itu, kecantikan tante Sophie yang anggun terlihat jelas.
Dengan standing mike tepat di tengah panggung beserta band
pendukungnya, tante Sophie menyanyikan lagu pembukanya. Suara tante Sophie yang
jernih mengalun menghipnotis seisi Plenary Hall. Tante Sophie kebanyakan
membawakan lagu-lagu dari album barunya, Wanderlust, yang rilis tahun ini.
Sayangnya saya, seperti mayoritas penonton lain, kurang familiar dengan
lagu-lagu tersebut. Tidak enaknya menjadi penonton front row adalah saat
lirikan maut tante Sophie menangkap basah saya beserta penonton lainnya tidak
ikut bernyanyi bersamanya. Duh tante, pengen ikut nyanyi tapi saya nggak tau
liriknya.
Thanks for looking to my camera, tante :*
Setelah menyanyikan beberapa lagu tante Sophie menyapa penonton dan
berkata “why are guys so quite? Come on, sing along with me.” Namun setelah itu
tante Sophie juga mengatakan dia maklum jika penonton tidak familiar dengan
lagu-lagu yang dibawakan karena dia ingin memperkenalkan album barunya kepada
penonton Indonesia. Tenang tante, walau lagunya baru pertama kali saya dengar
tapi saya suka banget. Dan walau lagunya tidak familiar, seisi Plenary Hall
ikut berdansa mengikuti irama musik tante Sophie yang menghentak.
Menurut tante Sophie albumnya kali ini berbeda dengan album sebelumnya.
Jika di album sebelumnya dia lebih identik dengan nada-nada disko, di album
kali ini dia ingin bercerita tentang khayalannya akan penyihir, rumah di puncak
bukit, dan berbagai fantasi kanak-kanak. Sedikit bereksperimental menurut saya,
dan eksperimental tersebut berhasil! Lagu Love is a Camera cukup merangkum
ekperimental fantasi tante Sophie ke dalam aransemen lagu yang apik, menghentak
dalam lirik yang penuh fantasi.
Setelah menyanyikan Love is a Camera tante Sophie melambaikan tangan
dan masuk ke back stage. Suami tante Sophie, Richard Jones, yang malam itu
berperan sebagai bassist mengambil alih jeda waktu tersebut dengan memainkan
nada-nada yang semakin menghentak. Tak lama kemudian tante Sophie keluar back
stage mengenakan dress hijau tipis minim menggantikan dress merah berornamen
gambar khas kanak-kanak yang sebelumnya dia kenakan. Lirikan mata tante Sophie
terlihat nakal dan dia mulai bergoyang menarikan irama disko. Lagu Take Me Home
kemudian mengalun, membuat seisi Plenary Hall ikut bergoyang dan bernyanyi. Stage
mulai memanas seiring dimainkannya lagu yang familiar di telinga penonton. Tante
Sophie terlihat semakin bersemangat melihat reaksi penonton. Sepertinya
lagu-lagu ini memang sengaja dimainkan dibelakang sebagai klimaks dari
pertunjukan.
Lagu Murder on the Dancefloor dimainkan sebagai penutup pertunjukan
malam itu. Hipnotis pesona tante Sophie masih terasa melekat hingga layar
panggung menutup.
Sensual Performance, MAGIC!
Keluar dari Plenary Hall saya langsung mencari antrian masuk untuk
performance MAGIC! Walau MAGIC! akan perform di Plenary Hall juga namun
diperlukan tiket tambahan yang mengharuskan penonton untuk memverifikasi tiket
mereka sebelum masuk stage. Antrian segera mengular begitu performance Sophie
Ellis Bextor selesai. Beruntung saya termasuk orang yang mendapat antrian
terdepan, hanya ada tujuh orang di depan antrian saya.
Sebenarnya jeda waktu antara performance Sophie Ellis Bextor dan MAGIC!
berlangsung selama 1 jam 15 menit, bisa saya gunakan untuk hop on hop off stage
kembali. Apalagi saat itu Tokyo Ska Paradise Orchestra sedang perform, dilihat
dari layar televisi yang menampilkan live performance mereka tampaknya begitu
seru dan menyenangkan. Namun ada harga yang harus dibayar untuk mendapat front
row dan waktu 1 jam 15 menit itu rela saya habiskan dengan menanti pintu masuk
Plenary Hall kembali dibuka.
Segera setelah pintu stage kembali dibuka, lalu menyelesaikan verifikasi
tiket, kemudian berlari kencang bersaing dengan penonton lainnya, saya mendapatkan
baris ketiga dengan posisi persis di tengah panggung. Untungnya tinggi badan
saya masih lebih tinggi beberapa senti dibanding dua orang penonton di depan,
saya jadi mendapat akses langsung ke tengah panggung tanpa terhalang penonton
lain. Jika sebelumnya jarak saya dan tante Sophie tidak kurang dari 10 meter,
kali ini jarak saya dengan Nasri tidak kurang dari 5 meter! Saya jadi lemes
liat Nasri dari jarak sedekat itu.
MAGIC! membuka penampilan malam itu lewat lagu Stupid Me yang mendapat
sambutan hangat dari penonton lalu disusul lagu Mama Didn’t Raise a Fool dan No
Evil. Nasri cukup apik membawakan nada reggae dengan penampilan yang menggoda. Dia
mampu menerjemahkan aliran reggae fushion yang diusung MAGIC! lewat aksi
panggung yang sederhana namun memikat sekaligus sensual. Goyangan pinggul,
lirikan mata nakal, dipadu nada reggae yang santai cukup membuat seisi Plenary
Hall panas!
Seductive Nasri :p
Tapi yang menyedot perhatian saya malam itu bukan Nasri, melainkan Ben
yang memainkan bass. Setiap jeda lagu dan penonton riuh memberi tepuk tangan
saya selalu menjeritkan nama Ben, berharap dia menoleh ke arah saya. Sama seperti
harapan kebanyakan penonton wanita lain yang juga ramai-ramai meneriakkan nama
Ben. Menurut saya, diantara semua anggota MAGIC! (Nasri, Mark, Ben, Alex), Ben adalah
anggota yang paling good looking. Tampangnya seperti Orlando Bloom versi
gondrong dan rebel. Gemesh! Nasri yang menyadari banyaknya penonton yang
histeris meneriakkan nama Ben bertanya, “you’re so hysterical calling Ben, he
wouldn’t care. Right, Ben?” yang hanya dijawab Ben dengan anggukan dan senyum
cool. Penonton makin histeris memanggil nama Ben, Nasri sendiri sampai mengkomando
seisi Plenary Hall untuk memanggil Ben, dan masih tidak ditanggapi oleh Ben. “See?”
ucap Nasri menang.
Ben!!! Uwuwuwuwuw....
Mark (gitar) dan Alex (drum)
Lagu-lagu dari album pertama MAGIC! mengisi
sisa malam yang semakin memanas. Jika Bob Marley masih hidup, dia pasti bangga
dengan MAGIC! yang mampu meramu musik reggae menjadi berkali-kali lipat
menyenangkan seperti ini. Lagu pamungkas Don’t Kill The Magic menciptakan satu koor massal di Plenary Hall. Sebelum Nasri menyanyikan lagu
andalan mereka, Rude, dia sempat membahas meme yang banyak beredar di twitter. “Knock,
knok. Who is that?” tanya Nasri. “So I’m Wahyu?” lanjutnya sambil tertawa.
Meme yang dibahas Nasri
Lagu Rude menutup penampilan MAGIC! malam itu. Meninggalkan penonton
dengan kekecewaan akan waktu konser yang hanya 1 jam 15 menit. Antiklimaks
banget, setelah dua lagu andalan MAGIC! kemudian konser selesai? Come on Java
Soundsfair, this is not fair at all!
Another Hop On Hop Off Stage
Masih kecewa dengan antiklimaks dari performance MAGIC! saya kembali ke
stage Cendrawasih 3. Malam masih muda, hentakan musik yang diciptakan Jakarta
Techno Militia mungkin dapat memperbaiki mood. Di atas panggung terlihat
beberapa orang yang sibuk dengan laptop, turntable dan beragam perlengkapan
lainnya meramu musik yang mengentak dan memancing tubuh untuk ikut bergerak
menikmati iramanya. Menyenangkan. Tapi lama-lama kok bosan juga ya. Jadilah
saya pindah ke stage sebelah dimana Asian Dub Foundation sedang perform. Dan
sebelum satu lagu selesai saya memutuskan untuk pulang saja. Nampaknya keriaan malam
ini memang sudah harus ditutup.
Catatan: karena gaptek pakai DSLR pinjeman, nggak sengaja saya malah men-delete foto-foto CTS dan RAN :(