Oktober adalah bulan yang saya pilih untuk menyambangi Jepang untuk kali pertama. Alasannya sederhana, suhu Jepang sudah relatif bersabahat, tanpa badai yang acapkali melanda saat terjadi pergantian musim, ditambah harapan warna-warni musim gugur akan mulai bermunculan. Sayangnya perhitungan saya sedikit meleset, musim gugur baru akan benar-benar tiba di akhir Oktober dan awal November, sedangkan jadwal perjalanan saya adalah awal Oktober. Oh well, seperti kalimat andalan saya, “you can’t have everything you want,” paling tidak saya masih mendapat suhu yang relatif mild untuk melakukan perjalanan *menghibur hati*
Untuk perjalanan ini saya memulai dari kota terbesar kedua di Jepang, Osaka, dan akan mengakhiri perjalanan di Tokyo. Open-jaw ticket, kebanyakan traveler menyebutnya. Dengan demikian saya tidak perlu menghabiskan waktu kembali ke Osaka untuk menempuh perjalanan pulang ke Jakarta nanti. Hemat waktu, uang, dan tenaga tentunya.
Kebanyakan persiapan perjalanan di Jepang sudah saya siapkan dari Indonesia. Membuat itinerary dan estimasi biaya harian, juga mem-booking penginapan, tiket bus, dan tiket wisata secara online maupun lewat agen travel. Dengan persiapan seperti ini setibanya saya di Jepang nanti saya bisa langsung jalan mengikuti itinerary yang sudah dibuat, tidak perlu repot buka-buka buku panduan perjalanan lagi. Sedikit drama yang terjadi sebelum keberangkatan adalah kurs Dollar Amerika yang terus meroket, yang tentu saja berpengaruh juga pada nilai tukar Yen. Dengan kurs 1 Yen = 123 Rupiah, estimasi biaya yang saya buat jadi membengkak melebihi budget awal *nangis di pojokan*
Pengajuan visa saya lakukan satu bulan sebelum keberangkatan, yang mengejutkan adalah panjangnya antrian apply visa di Konsulat Jenderal Jepang di Jakarta. Animo masyarakat untuk traveling ke Jepang sepertinya sedang meningkat pesat. Untuk pengajuan visa Jepang, harap perhatikan domisili wilayah masing-masing karena pengajuan visa Jepang dibagi ke dalam beberapa wilayah yuridiksi berbeda. Misal, teman saya bekerja di Jakarta namun KTP-nya masih beralamat di Padang, maka dia harus mengurus visa di Konsulat Jenderal Jepang di Medan karena Padang masuk dalam wilayah yuridiksi Konsulat Jenderal Jepang di Medan.
Menurut saya pribadi persyaratan visa Jepang tidak seribet visa Schengen, paling tidak saya merasa lebih PD saat pengajuan. Saya mengajukan visa kunjungan sementara untuk tujuan wisata dengan biaya sendiri. Dokumen yang diperlukan adalah:
1. Paspor
2. Formulir permohonan visa [download (PDF)] dan Pasfoto terbaru (ukuran 4,5 X 4,5 cm, diambil 6 bulan terakhir dan tanpa latar, bukan hasil editing, dan jelas/tidak buram)
3. Foto kopi KTP atau Surat Keterangan Domisili
4. Fotokopi Kartu Mahasiswa atau Surat Keterangan Belajar (hanya bila masih mahasiswa). Jika sudah bekerja dapat diganti dengan surat keterangan kerja.
5. Bukti pemesanan tiket (dokumen yang dapat membuktikan tanggal masuk-keluar Jepang)
6. Jadwal Perjalanan [download (DOC)] (rinci semua kegiatan sejak masuk hingga keluar Jepang)
7. Fotokopi dokumen yang bisa menunjukkan hubungan dengan pemohon, seperti kartu keluarga, akta lahir, dan lain sebagainya jika pemohon lebih dari satu
8. Dokumen yang berkenaan dengan biaya perjalanan. Bila pihak Pemohon yang bertanggung jawab atas biaya diperlukan fotokopi bukti keuangan, seperti rekening Koran atau buku tabungan tiga bulan terakhir (bila penanggung jawab biaya bukan pemohon seperti ayah/ibu, maka harus melampirkan dokumen yang dapat membuktikan hubungan dengan penanggung jawab biaya). Saran saya untuk bukti keuangan ini, paling tidak selama tiga bulan terakhir cash flow tabungan terbilang normal, tidak ada dana besar yang tiba-tiba masuk karena akan membuat curiga. Untuk nominal tabungan minimal yang mengendap, saya selalu melakukan perhitungan seperti ini: (Biaya hidup harian di Jepang X Lama tinggal di Jepang + Harga tiket pesawat) + 10% dari jumlah total perhitungan awal.
Dokumen diatas harus disusun sesuai urutan dari nomor 1 – 8 sebelum diserahkan di loket. Biaya visa sebesar Rp 330.000 dibayar saat mengambil visa, visa dapat diambil dalam tiga hari kerja. Saat menyerahkan dokumen, petugas sama sekali tidak mewawancarai ataupun memeriksa dokumen saya. Dia hanya mengecek kelengkapan dokumen, memberi stempel lalu memberi saya tanda terima. Beberapan jam setelahnya saya mendapat telepon dari Konsulat Jenderal Jepang yang mengatakan dokumen saya tidak lengkap dan diharuskan kembali. Saya kembali ke Konsulat Jenderal Jepang sambil mengingat-ingat, rasanya semua dokumen sudah saya isi dan lengkapi. Di Konsulat Jenderal Jepang, ternyata saya belum memberi tanda contreng pada beberapa pernyataan di formulir pengajuan visa. Hhhh, hal kecil yang membuat saya jadi bolak-balik dan membuang waktu. Memang, saat pengajuan visa semua dokumen harus dicek dan diteliti kembali untuk menghindari buang-buang waktu dan tenaga seperti ini.
Saya menggunakan Air Asia untuk penerbangan menuju Jepang dengan transit selama tiga jam di Kuala Lumpur. Harus diakui, saya cukup terkejut saat sampai di bandara KLIA 2. Sebuah bandara yang besar dan megah! Sunggup saya tak habis pikir bagaimana Tony Fernandes begitu serius menggarap Air Asia dan membangung KLIA 2 sebagai markas utamanya. Tiga jam di KLIA 2 saya habiskan untuk bekeliling singkat bandara dan menemukan spot-spot menyenangkan untuk menghabiskan waktu: movie room, kid zone, bahkan ada beberapa spot yang dikhususkan untuk tidur.
Movie room
Jadwal keberangkatan yang cukup padat
Bisa santai-santai, tiduran, atau baby sitting disini
Penerbangan Kuala Lumpur – Kansai Osaka memakan waktu enam jam. Mengingat ini adalah penerbangan berbudget rendah, jangan harap mendapat fasilitas bantal, selimut, dan in-flight entertainment. Semua memang tersedia, namun dengan biaya tambahan. Jadi, siapkan bantal leher, selimut tipis/ sarung bali/ jaket untuk menghalau dingin, dan penuhi perangkat elektronik dengan film atau buku kesayangan. Make yourself as comfortable as you can. Walau demikian semua persiapan itu bagi saya akhirnya sia-sia. Tidak ada yang mampu membunuh rasa jenuh dan bosan selama berada di dalam pesawat.
Enam jam mati gaya di pesawat sungguh bukan pengalaman menyenangkan. Saya buru-buru keluar pesawat dan menuju imigrasi setibanya di Kansai Airport. Proses imigrasi berjalan cepat dan efisien. Tidak ada pertanyaan aneh-aneh dan paspor saya mendapat cap dengan mulus. Melihat ke sekeliling, dengan orang-orang asing, bahasa asing, dan bentuk tulisan yang tidak familiar, am I already in Japan? Rasanya masih sulit untuk percaya bahwa saya sudah berada di Jepang. Sedikit gemetar saya membuka itinerary untuk mencari tempat salat, ada tiga prayer room di Kansai Airport: Gate 16 dan Gate 26 yang berada di area keberangkatan internasional, yang terakhir berada di lantai 3 persis di belakang UNIQLO. Ketiga prayer room ini berada di terminal 1. Masih jet lag dengan kondisi bandara, saya memutuskan ke prayer room yang berada di lantai tiga dengan asumsi akan lebih mudah ditemukan. Saat menuju lantai tiga, saya melihat di lantai dua bandara sudah banyak orang yang menempati bangku bandara untuk tempat bermalam.
Arah prayer room
Bagian dalam prayer room. Hanya berisi sajadah sebagai perangkat salat
Tempat wudhu
Menjelang pukul 11 malam mayoritas semua toko di Kansai Airport sudah tutup. Suasana sepi dan sedikit gelap saat saya mencari prayer room. Letak prayer room sedikit terpencil, walau demikian ukurannya cukup luas dan nyaman. Selesai salat saya kembali ke lantai dua untuk mencari bangku kosong sebagai tempat bermalam. Sialnya, seluruh bangku di lantai dua sudah penuh terisi. Bermalam di Kansai Airport memang menjadi pilihan favorit kebanyakan orang. Saran saya jika berencana bermalam di Kansai Airport, secepat mungkin selesaikan urusan imigrasi dan bagasi, setelah itu segera cari tempat duduk yang nyaman untuk bermalam. Jika ingin ke toilet atau salat, titipkan tempat duduk kepada ‘tetangga sebelah,’ jangan lupa simpan ransel yang kira-kira aman untuk ditinggal di atas kursi agar kursi tidak terlihat kosong.
Tidak memiliki pilihan lain akhirnya saya kembali ke prayer room untuk bermalam disana. Untungnya prayer room wanita dan pria dipisah, jadi masih nyaman untuk merebahkan diri di atas karpet. Beberapa orang terlihat sudah mengambil posisi untuk tidur. Dengan bermodalkan sajadah sebagai alas tambahan dan mukena sebagai lapisan tambahan penghalau dingin, saya melewatkan malam pertama di Jepang. Ah, what an intro to start my journey in Japan.