Osaka yang notabene merupakan kota terbesar kedua di
Jepang itu nyatanya hanya memiliki slot satu hari dalam rencana perjalanan
saya. Untuk memaksimalkan waktu yang ada, dan meminimalisir kerepotan
bolak-balik beli tiket kereta untuk jalur yang berbeda, juga untuk mengirit
budget (paling penting), saya akan menggunakan kartu sakti bernama Osaka
Amazing Pass. Dengan kartu ini saya bebas menggunakan seluruh jalur kereta di
Osaka, free beberapa tiket masuk tujuan wisata, serta diskon untuk beberapa
toko dan restoran. Harga Osaka Amazing Pass 1 day pass sebesar 2.300 Yen,
sedangkan untuk tiket bundling Osaka Amazing Pass 1 day pass dan Nankai Airport
Express harganya adalah 2.900 Yen. Serius, ini cara paling mudah dan murah
untuk menjelajahi Osaka dalam waktu satu hari.
Jadi, subuh dini hari setelah seluruh penghuni prayer room
terbangun dan bergegas pergi, tujuan utama saya adalah mencari loket Nankai
Railway. Saya yang peta buta ini mengikuti arah petunjuk bertuliskan ‘train’
yang mengarah ke luar gedung bangunan. Sambil terkagum dengan kemampuan diri
sendiri yang tumben-nggak-nyasar, saya lebih terkagum saat mendapati beberapa
petugas sudah siap di depan loket Nankai Railway, padahal office hour normal
masih sekitar dua jam lagi. “Osaka
Amazing Pass Nankai-Kansai Airport edition,” ucap saya sambil membuka contekan
itinerary. Petugas yang melayani saya tidak berkata apa-apa dan hanya memberi
selembar kertas berisi list tiket yang dijual disitu. Sialnya semua keterangan
ditulis dalam bahasa Jepang. Ini gimana saya bisa tau yang mana Osaka Amazing
Pass Nankai-Kansai Airport edition? Untungnya contekan itinerary saya
dilengkapi estimasi harga tiket, jadi saya tinggal menunjuk sebuah gambar tiket
dengan harga yang persis sama seperti yang ditulis dalam itinerary. Petugas
hanya mengangguk-angguk sebelum memproses pembelian saya, dia juga tetap
mengangguk-angguk saat saya berkali-kali bertanya “to Namba station and for
Osaka Amazing Pass 1 Day?”
Loket Nankai Railway
Osaka Amazing Pass
Rush hour
The U-don buka tepat jam delapan pagi. Beberapa orang
langsung memasuki restoran, diikuti saya yang melangkah ragu karena tidak
familiar dengan cara pemesanannya. Ternyata mudah saja, seperti makan di gerai
Hoka-Hoka Bento. Ambil nampan, geser ke stall pertama dimana saya harus memilih
jenis udon yang akan dipesan dan petugas dengan cekatan segera membuat
semangkuk udon, kemudian saya menggeser nampan ke stall kedua yang berisi
beragam tempura (gorengan), tersedia piring kecil dan capitan untuk mengambil
tempura dengan sistem self service, kemudian saya menggeser nampan melewati
stall lain berisi minuman kaleng dan menuju kasir yang menghitung total
pesanan saya. Ocha panas dan dingin tersedia di sebelah kasir dengan sistem self service. Sejujurnya saya bukan penggemar udon karena
ukuran mie yang besar-besar dan tekstur yang terlalu kenyal. Dan entah saya
yang makannya lelet banget, atau porsinya memang banyak, atau orang Jepang
makannya cepet banget, yang pasti saya adalah orang yang duduk paling lama di
dalam restoran itu. Udon di piring saya baru habis setelah tiga orang Jepang
yang datang dalam waktu berbeda selesai menghabiskan makanannya dan segera
meninggalkan tempat. Saya jadi penasaran, orang Jepang kalau makan udon nggak
dikunyah, ya? Masa iya dalam waktu kurang dari sepuluh menit semangkuk udon
bisa langsung ludes.
Tampilan bagian dalam The u-don
Selesai makan saya segera kembali menuju stasiun.
Perjalanan Kansai Airport – Namba station menggunakan Nankai Airport
Express memakan waktu 44 menit. Tujuan pertama saya adalah ke hostel yang
terletak di daerah Shinsaibashi. Dari Namba Station saya harus berganti kereta
di jalur Midosuji Line menuju Shinsaibashi station. Pindah jalur kereta seperti
ini mengharuskan saya berganti peron. Dengan mengikuti papan petunjuk
bertuliskan Midosuji Line saya mencari peron yang benar. Bagi saya pribadi,
mencari jalur kereta yang benar di Jepang merupakan tantangan tersendiri.
Dengan banyaknya jalur yang terintegrasi dalam satu stasiun, ditambah toko-toko
yang memenuhi stasiun, arus manusia dari berbagai arah, dan petunjuk yang harus
diikuti dengan benar, semuanya terkadang membingungkan sekaligus menyenangkan
untuk dijalani. Pusing, ruwet, tapi menantang. Apalagi untuk saya yang baru
pertama kali jalan-jalan di Jepang. Menemukan jalur kereta yang benar itu
rasanya seperti menang lotere!
Nankai railway di Kansai station. Kereta berpenampilan futuristik di sebelah kiri tipe Limited Express Rapi:t yang harganya lebih mahal dari kereta Airport Express di sebelah kanan yang tampilannya seperti kereta Commuter Line Jabodetabek
Akomodasi
Walau Namba station dan Shinsaibashi station hanya
berjarak satu stasiun, saya memilih menggunakan kereta daripada berjalan kaki. Kartu
Osaka Amazing Pass saya terbukti sakti saat melewati portal stasiun dari jalur kereta
yang berbeda. Dari Shinsaibashi station saya mengikuti petunjuk yang diberikan hostel: keluar dari
exit no. 7, jalan diantara Nikko Hotel dan OPA, belok kiri setelah melewati 7
eleven yang berada di kanan jalan, Osaka Hana Hostel berada di sebelah kanan
jalan. Di web dikatakan hanya membutuhkan waktu lima menit dari stasiun,
nyatanya saya nyasar muter-muter nggak karuan. Saya yang memang nggak bisa baca
peta malah nyasar ke depan Daimaru Department Store dan akhirnya harus balik ke
titik awal keluar stasiun untuk menuju ke hostel. Jadi, waktu saya keluar dari
exit no. 7 itu sebenarnya saya sudah ada diantara Nikko Hotel dan OPA. Tinggal
jalan ke arah kiri menjauhi jalan besar. Kalau nggak pakai nyasar, Osaka Hana
Hostel memang mudah ditemukan, lokasinya
juga kece karena berada dekat dengan Namba yang merupakan salah satu dari dua pusat
kota Osaka.
Seorang resepsionis mungil menyapa hangat ketika saya memasuki hostel. Sapaannya ceria disertai senyum yang selalu mengembang. Setelah mengecek nama saya, dia mengatakan bahwa saya baru bisa check in jam dua siang nanti. Walau demikian saya dapat menitipkan ransel, menggunakan ruang rekreasi, dan menumpang mandi. Kamar mandi bersama terletak di lantai tiga dan kerennya hostel ini memiliki lift! Lift yang rasanya Jepang banget, alias kecil banget. Hanya muat maksimal empat orang. Walau ukurannya kecil, menurut saya lift ini cute banget. Di dalamnya ditempel beberapa foto yang memuat kegiatan staf Osaka Hana Hostel dengan tamunya, gambar floor guide sederhana yang dibuat dari coretan pensil, dan sejumlah foto tempat wisata yang tiket masuknya dapat dibeli di resepsionis. Layar kecil yang menunjukkan angka di dalam layar lift juga unik, selain mengeluarkan informasi lantai yang sedang dituju, juga terdapat tulisan seperti: “The car is watched around the clock” saat lift mulai bergerak naik, “The car is landing. Be careful of the doors,” dan “Be careful, doors are opening” ketika lift sampai di lantai yang dituju.
Osaka Hana Hostel
Seorang resepsionis mungil menyapa hangat ketika saya memasuki hostel. Sapaannya ceria disertai senyum yang selalu mengembang. Setelah mengecek nama saya, dia mengatakan bahwa saya baru bisa check in jam dua siang nanti. Walau demikian saya dapat menitipkan ransel, menggunakan ruang rekreasi, dan menumpang mandi. Kamar mandi bersama terletak di lantai tiga dan kerennya hostel ini memiliki lift! Lift yang rasanya Jepang banget, alias kecil banget. Hanya muat maksimal empat orang. Walau ukurannya kecil, menurut saya lift ini cute banget. Di dalamnya ditempel beberapa foto yang memuat kegiatan staf Osaka Hana Hostel dengan tamunya, gambar floor guide sederhana yang dibuat dari coretan pensil, dan sejumlah foto tempat wisata yang tiket masuknya dapat dibeli di resepsionis. Layar kecil yang menunjukkan angka di dalam layar lift juga unik, selain mengeluarkan informasi lantai yang sedang dituju, juga terdapat tulisan seperti: “The car is watched around the clock” saat lift mulai bergerak naik, “The car is landing. Be careful of the doors,” dan “Be careful, doors are opening” ketika lift sampai di lantai yang dituju.
Common area
Floor guide yang dibuat dengan tulisan tangan
Foto-foto di dalam lift
Selesai mandi saya mengobrol dengan resepsionis Osaka Hana
Hostel, mengucapkan terima kasih karena saya banyak mengirim email bertanya
ini-itu sebelum keberangkatan. Mulai dari email berisi permintaan penggantian
kamar (hingga akhirnya kamar saya di upgrade dari 8 female dorm bed ke 4 mixed
dorm bed), jenis plug in yang dapat digunakan (saya bisa rental kalau
international charger yang dibawa tidak dapat digunakan), apakah tersedia
detergen karena saya akan mencuci baju sendiri (tersedia detergen, sabun mandi,
juga shampo untuk tamu), sampai permintaan frustasi saya untuk bantuan
pemesananan tiket bus Kyoto – Tokyo karena saya tak kunjung berhasil memesan
online (akhirnya saya pesan sendiri setelah sadar ada field yang masih kosong).
Semua email selalu mendapat balasan cepat dan saya dapat merasakan kehangatan
hati staff Osaka Hana Hostel dari cara mereka menjawab email. I already feel
welcomed when I booked the room in Osaka Hana Hostel. Oh ya, saya juga mengatakan bahwa saya memesan kamar di
Kyoto Hana Hostel namun respon staf di Kyoto Hana Hostel terhadap email saya
tidak secepat, seramah, dan sehangat staff Osaka Hana Hostel.
Shitennoji
Temple (fee 300 yen, no closing days, hours 8.30 – 16.00)
Saya
baru meninggalkan hostel menjelang pukul 11 siang setelah menghabiskan
secangkir kopi dan puas mengobrol dengan staff Osaka Hana Hostel. Saya sungguh
sangat jatuh hati dengan hostel ini, juga pada stafnya yang sangat membantu. Udara
cerah menyambut saat saya keluar hostel, memompa semangat petualangan di hari
pertama. Energi terisi penuh dan itinerary saya dapat dibilang cukup padat.
Free ticket entrance dan dapat puas mengelilingi Osaka menggunakan kereta
membuat saya ingin memanfaatkan semaksimal mungkin Osaka Amazing Pass yang
tersimpan dalam saku tas. Tujuan pertama saya adalah Shitennoji Temple, kompleks
kuil tertua di Jepang. Dari hostel ke Shitennoji Temple saya harus menggunakan
tiga jalur kereta yang berbeda, dari Shinsaibashi station menggunakan Midosuji Line ke Namba station, kemudian berganti kereta di jalur Sennichimae Line menuju Tanimachi 9-chome station, lalu berganti kereta ke jalur Tanimachi
line menuju Shitennoji-mae Yuhigaoka station. Di stasiun terakhir saya
mengambil pintu exit nomor 4 yang mengantarkan saya pada jalan lurus panjang dengan
bangunan dua-tiga lantai yang memadati kanan-kiri jalan.
Petunjuk jalan persis di depan exit nomor 4
Menuju ke jalan ini
Hanya ada satu petunjuk jalan menuju Shitennoji Temple
yang dipasang tepat di depan pintu exit nomor 4, selebihnya tidak ada petunjuk
apapun saat saya menyusuri jalan lurus panjang tersebut. Setelah berjalan
beberapa menit, terdapat sebuah kompleks pemakaman yang sedikit menjorok di
sisi kiri jalan. Pemakaman itu dipenuhi batu nisan dengan sebuah kuil kecil di
ujung, sepi menghantarkan atmosfir yang terasa tidak nyaman. Saya kembali
melanjutkan perjalanan dan tak berapa lama mendapati sebuah gerbang besar teduh
di kiri jalan lagi. Bentuk gerbangnya mirip seperti gerbang di
pemakaman sebelumnya, rangka kayu kokoh berwarna hitam dengan atap lebar
berwarna senada. Beberapa wisatawan tampak memasuki gerbang, mobil juga hilir
mudik bergantian masuk dan keluar. Seorang Ibu yang hendak memasuki gerbang membenarkan bahwa Shitennoji Temple berada di dalam kompleks ini.
Kompleks pemakaman
Tak berapa jauh dari gerbang masuk terdapat
barisan
patung kecil menggunakan kain merah yang
terlihat ganjil. Beberapa orang terlihat
menyalakan dupa, berdoa, dan mengeluskan tangannya ke sebuah patung. Atmosfir
tidak nyaman terasa kembali saat saya memperhatikan jejeran patung kecil ini,
yang saya ketahui belakang ternyata patung ini mewakilkan penjaga anak-anak
yang meninggal sebelum orangtuanya, penjaga jiwa bayi yang gugur dalam
kandungan, juga sebagai pelindung ibu yang sedang mengandung.
Semakin memasuki kompleks besar ini terlihat beberapa
tempat berdoa yang ditujukan untuk kepentingan berbeda. Di sebelah tempat
berdoa terdapat sumber mata air untuk membersihkan diri sebelum memasuki kuil dan melakukan ritual doa. Saya selalu tertarik
dengan cara orang Jepang berdoa di kuil. Jika tertarik mencoba, seperti ini urutannya:
1. Membersihkan diri: ambil
gayung bambu berisi air dengan tangan kanan lalu basuh tangan kiri, lalu
pindahkan gayung ke tangan kiri kemudian basuh tangan kanan, kemudian tuang kembali air ke tangan kiri untuk membasuh
mulut. Ingat, hanya dibasuh, bukan diminum. Setelah itu
basuh kembali tangan kiri. Terakhir sisa air digunakan untuk membersihkan
gayung dengan cara gayung ditegakkan dan sisa air tumpah mengenai batang gayung.
Simpan kembali gayung yang telah digunakan dalam posisi menelungkup.
2. Berdoa: lemparkan koin lalu bunyikan lonceng kemudian membungkuk dua kali, setelah itu menepuk tangan dua kali. Setelah itu berdoa dan tutup dengan membungkuk satu kali.
Untuk saya pribadi, mencoba melalukan cara berdoa seperti
ini adalah bentuk menghargai kepercayaan dan ritual yang dilakukan masyarakat
Jepang, bukan berarti saya mengkhianati kepercayaan saya sendiri. Cara berdoa
masyarakat lokal yang saya perhatikan di setiap kuil yang banyak tersebar di
kompleks ini ternyata berbeda-beda. Perlu diingat bahwa tidak
semua ritual berdoa dapat dipotret. Hormati cara beribadah orang lain.
Berkeliling kompleks besar ini dan memperhatikan cara
masyarakat lokal beribadah ternyata menghabiskan cukup banyak waktu. Sebelum
saya memutuskan pergi ke tujuan selanjutnya, saya baru tersadar satu hal
penting: pagoda Shitennoji Temple yang menjadi icon kuil belum saya temukan.
Pun sebetulnya saya tidak melihat sosoknya walau sudah kelelahan mengitari
kompleks besar ini. Setelah bertanya, saya sampai ke satu kompleks yang
tertutup oleh tembok rapat. Saat memasuki area Shitennoji Temple petugas mengecek kartu Osaka Amazing Pass untuk mendapatkan tiket masuk. Dan disanalah pagoda lima
lantai yang tersohor itu berada. Tertutup sempurna oleh batang-batang besi yang
menopang karena sedang dalam renovasi total. Saya speechless. Rasanya zonk
banget. Di website yang menjadi panduan membuat itinerary tidak menyebutkan
bahwa pagoda Shitennoji Temple sedang direnovasi. Sungguh saya merasa telah
menyia-nyiakan waktu yang berharga untuk sesuatu yang, dapat dikatakan, not
worth it.
Lagi direnovasi :(
Salah satu gerbang di Shitennoji Temple
Osaka Castle (fee
600 yen, closed December 28 to January 1, hours 9.00 – 17.00)
Tujuan saya selanjutnya adalah Osaka Castle. Shitennoji
Temple dan Osaka Castle hanya berjarak tiga stasiun. Dari Shitennoji-mae Yuhigaoka station saya menggunakan Tanimachi
Line dan turun di Tanimachi 4-Chome station. Kebodohan saya adalah salah mengambil jalur keluar underground, bukannya menggunakan exit 1B atau exit 9 seperti yang
tertera dalam booklet Osaka Amazing Pass, saya malah mengambil exit yang
tertera dalam itinerary pribadi dan keluar entah di daerah mana. Kehilangan
arah dan tidak dapat berbahasa Jepang, saya akhirnya merasakan sulitnya
bertanya pada orang Jepang yang mayoritas tidak dapat berbahasa Inggris. Orang pertama
yang saya tanya, seorang pelayan toko, menunjukkan arah dalam bahasa Jepang
yang tidak saya mengerti dan akhirnya saya tambah nyasar. Orang kedua yang saya
tanya, anak muda 15 tahunan memakai sepeda, mengatakan dia bukan dari daerah
situ dan tidak tahu dimana Osaka Castle (seriously, kiddo. You don't know that famous castle?). Orang ketiga yang saya tanya,
laki-laki usia 30 tahunan menggunakan sepeda dan dapat berbahasa
Inggris (yay!), membuka google maps untuk menemukan arah menuju Osaka Castle.
Dalam
perjalanan menuju Osaka Castle, saya melewati exit 1B seperti yang tertera
dalam booklet Osaka Amazing Pass, dan exit 1B ini memang sangat berdekatan
dengan kawasan Osaka Castle. Jalan menuju Osaka Castle sendiri dipenuhi dengan
gedung-gedung bertingkat, yang paling mencuri perhatian adalah gedung NHK Osaka
yang terlihat futuristik dengan bola kaca transparan berukuran gigantis
menyelip diantara dua gedung. Perjuangan menuju Osaka Castle ternyata masih
sangat panjang. Kawasan Osaka Castle merupakan kawasan hijau yang luas, bangunan
Osaka Castle itu sendiri berada di tengah kawasan dengan jalan yang terus
menanjak. Di garis luar terdapat batu-batu besar membentuk dinding pertahanan
di sekeliling parit yang mengelilingi area Osaka Castle, dari titik ini pula
saya dapat melihat pucuk Osaka Castle yang sungguh sangat tinggi di ujung sana.
Gedung NHK Osaka
Tidak
hanya penduduk lokal dan wisatawan yang mendominasi kawasan Osaka Castle,
anak-anak sekolah dengan seragam khas mereka; rok kotak-kotak, dasi kupu-kupu,
kerah sailor, kaos kaki panjang, sepatu pantofel, dengan mudah saya jumpai
disini. Kejutan menyenangkan untuk saya ternyata sedang diadakan pertandingan
kendo di salah satu bangunan yang terdapat di dalam kawasan Osaka Castle.
Anak-anak usia sekolah dasar tampak berlatih di halaman bangunan, mempraktekkan
beberapa gerakan dengan pedang kayu. Duh, bisa ngepoin seragam sekolah
anak-anak Jepang aja saya udah seneng banget, sekarang dapat bonus melihat ekskul mereka juga.
Bahagia, karena apa yang selama ini cuma saya lihat di manga, dorama, dan
anime tiba-tiba menjelma nyata!
Puas
kepoin seragam sekolah dan latihan kendo dedek-dedek luwchu, saya menuju
atraksi utama dari tempat ini. Dari kejauhan saja bagunan Osaka Castle terlihat
sangat megah. Berdiri tegak di atas benteng batuan besar kokoh, bagunan ini
didominasi warna putih pada dinding bangunan, hijau pada atap yang melengkung
di setiap lantai, dan sentuhan warna emas untuk ornamen yang menghiasi. Tidak
salah jika menobatkan Osaka Castle sebagai istana terbesar di Jepang pada
masanya. Osaka Castle yang sekarang berdiri adalah rekonstruksi dari bangunan kastil yang
telah terbakar habis. Saat ini Osaka Castle difungsikan sebagai museum.
Osaka Castle
Antrian
masuk Osaka Castle cukup mengular, terdapat dua pilihan untuk menjelajahi isi museum:
manual menaiki tangga atau menggunakan lift. Saya tentu memilih menggunakan
lift. Terdapat seorang pemandu di dalam lift, saat pintu lift tertutup dia akan
bertanya apakah ada yang menggunakan bahasa Jepang di dalam lift dan memberi
penjelasan dalam bahasa Jepang terlebih dahulu, setelah itu dia bertanya apakah
ada yang menggunakan bahasa Cina, dan terakhir bahasa Inggris. Penjelasan dalam
setiap bahasa cukup cepat dan jelas. Lift hanya mengantarkan pengunjung ke
lantai 8 dan pengunjung dapat turun menggunakan tangga hingga ke lantai dasar sambil
melihat-lihat isi museum.
Lantai
8 merupakan observation deck dimana pengunjung dapat melihat pemandangan luas
kota Osaka. Setiap sisi kastil berbentuk segi empat ini menawarkan pemandangan
kota yang berbeda. Angin bertiup lumayan keras di setiap sisi observation deck yang
dipenuhi pengunjung. Ketika asik memotret seseorang menepuk pundak saya,
ternyata seorang kakek minta tolong dipotret menggunakan ponselnya. Ponsel yang
diberikan sang kakek sangat ketinggalan jaman namun sudah memiliki
fitur kamera di dalamnya. Sayang, saat saya akan memotret layar ponsel
tertutupi garis abu-abu pekat yang memenuhi nyaris tiga-perempat layar. Alhasil
foto si kakek hanya terlihat setengahnya. Susah payah saya menjelaskan mengapa
hasil foto di ponselnya tidak sempurna. Kakek itu tertawa sambil
menggoyang-goyang ponsel yang berada di tangannya. Dia mengatakan sesuatu dalam
bahasa Jepang yang saya tidak mengerti, namun sepertinya dia berkata tidak
apa-apa hasil fotonya tidak sempurna karena ponselnya memang rusak. Saya yang
tidak puas dan ingin sang kakek mendapat kenang-kenangan foto yang cukup baik menggunakan bahasa tarzan untuk meminta dia menutup dan membuka ulang kamera ponselnya. Berhasil! Kali
ini tidak ada garis abu-abu yang menutupi layar ponsel dan saya mengambil
beberapa foto sang kakek. Dia terlihat senang sekali dengan hasilnya dan menunjuk
kamera yang tersampir di leher saya, dengan isyarat tangan dan kata “you?
picture?” dia ingin membantu saya mengambil potret diri menggunakan kamera
sendiri. Saya menolak halus sementara si kakek bersikeras. Untuk menengahi, saya
mengajak dia untuk selfie bersama.
Tidak puas dengan hasil selfie, sang kakek meminta bantuan pengunjung lain untuk memotret kami
Perkenalan
yang unik ini akhirnya membuat saya mengobrol dengan sang kakek. Dia bisa beberapa
kata dalam bahasa Inggris, ditambah dengan bahasa tarzan cukup untuk kami mengobrol hal standar seperti negara asal saya dan kota asal dia, hingga fakta bahwa dia mengetahui Indonesia juga nama presiden
pertama Indonesia. Walau terbatas oleh bahasa ibu masing-masing, saya merasa
puas dapat bercakap-cakap dengan si kakek. Saya juga senang, tidak biasanya orang Jepang mau membuka percakapan dengan orang asing, terlebih jika dia tidak dapat berbahasa Inggris. Namun kakek ini seperti ingin menghilangkan hambatan bahasa dan menunjukkan bahwa tidak semua orang Jepang kaku dan dingin.
Saat akan pamit karena akan beranjak
ke lantai berikutnya, sang kakek menawarkan untuk menemani saya menjelajahi Osaka
Castle. Dengan senang hati dia akan memberi penjelasan kepada saya terkait isi
museum. Tawaran yang sangat menguntungkan sebenarnya, seorang guide pribadi
yang pasti lebih mengenal sejarah Osaka Castle. Sayangnya saya dikejar waktu,
hari semakin sore sementara masih banyak tempat yang harus dikunjungi. Saya
hanya dapat berkeliling singkat di setiap lantai sebelum akhirnya beranjak ke
destinasi selanjutnya.
Eksibisi
yang ditawarkan Osaka Castle cukup menarik, setiap lantai menceritakan
rangkaian kejadian dan peristiwa terkait Toyotomi Hideyoshi (pendiri Osaka
Castle). Benda pameran ditampilkan secara apik dan tidak membosankan. Di salah
satu lantai terdapat cerita bersambung yang ditampilkan dalam layar monitor
yang berbeda, jadi saat cerita dalam satu monitor habis akan berlanjut ke layar
monitor di sebelahnya dan saat cerita berakhir
tidak terasa kita telah mengelilingi satu lantai. Di lantai berbeda ditampilkan pedang, alat-alat perang,
dan pakaian perang khas pada masa itu. Koleksi yang ditampilkan cukup membuat saya merinding
membayangkan keganasan perang di masa lalu.
Downtown
Osaka (HEP Five Ferris Wheel, Osaka Station (Carillon
Plaza, Yawaragi no Niwa, Kaze no Hiroba), Umeda Sky Building)
Dari
Osaka Castle saya melanjutkan perjalanan ke Osaka. Sesuai dengan perannya
sebagai pusat kota, daerah ini didominasi dengan gedung pencakar langit.
Osaka memanfaatkan dengan baik gedung-gedung pencakar langit sebagai ruang publik
maupun sebagai tujuan wisata. Untuk mencapai pusat kota Osaka saya kembali ke Tanimachi
4-Chome station, lalu menggunakan Tanimachi line dan turun di Higashi-Umeda station. Dari
stasiun Higashi Umeda saya dapat mencapai stasiun Osaka maupun stasiun Umeda dengan
berjalan kaki. Ketiga stasiun besar ini saling terintegrasi dan terhubung
melalui jalur underground yang tidak hanya digunakan sebagai jalur pejalan
kaki, tapi juga dipadati dengan shopping mall, restoran, juga convenience store.
Denyut kesibukan masyarakat Osaka begitu terasa di dalam urat nadi yang
bersalur di jalur underground. Sibuk, ramai, cepat.
Semua orang dalam stasiun besar ini tahu kemana mereka
harus pergi. Semua orang, kecuali saya. Menilik dari posisi saya yang berada di
Higashi-Umeda Station, HEP Five Ferris Wheel menjadi tujuan pertama dari
rangkaian destinasi wisata di area Osaka ini. Dalam booklet Osaka Amazing Pass
disebutkan HEP Five Ferris Wheel hanya berjarak lima menit berjalan kaki dari
stasiun Higashi-Umeda. Yeah, lima menitnya orang Jepang itu berapa puluh
menitnya saya. Sebelum saya keluar dari portal stasiun, saya menghampiri
station master yang ruangannya terletak persis di sebelah portal keluar masuk
stasiun. Setelah menunjukkan gambar HEP Five Ferris Wheel dalam booklet, station
master itu mengangguk mengerti dan mengambil selembar kertas yang merupakan
peta sederhana area sekitaran Osaka. Dia melingkari Higashi-Umeda station yang
menjadi posisi kami sekarang, lalu menarik garis lurus menuju gambar HEP Five
dan menulis angka H-30. Di pintu inilah saya harus keluar nanti.
Peta pemberian station master. Warna biru adalah rute dari Higashi-Umeda station ke HEP Five
Persis di exit H-30 gedung HEP Five berdiri. HEP Five
sendiri merupakan shopping mall, daya tarik utamanya terletak pada ferris wheel
yang terletak di lantai ketujuh dan tampak menyembul di atas gedung. Jujur,
saya tidak berharap banyak dari ferris wheel ini. Toh, mumpung bisa naik gratis
menggunakan Osaka Amazing Pass dan kebetulan berada di area Osaka. Nyatanya
espektasi saya yang rendah itu terbukti salah. HEP Five Ferris Wheel sangat
menyenangkan! Warna merah menyala kincir, adrenalin yang perlahan menderas
seiring semakin tingginya saya dari permukaan tanah, pemandangan luas kota yang
tersaji saat kincir perlahan-lahan naik, melihat sekeliling kota Osaka yang
sibuk, jalur rel tumpang tindih, orang-orang menyemut, matahari yang perlahan
tenggelam. Sungguh, semua pemandangan yang tersaji selama 15 menit dalam kabin
kecil kincir raksasa ini akan terasa sempurna dengan jika ditemani seorang
kekasih *tiba-tiba baper*.
Info: HEP Five Ferris Wheel (fee 500 yen, no regular closing days, hours 11.00 – 23.00 (last boarding at 22:45))
Pemandangan dari atas HEP Five Ferris Wheel
Dari HEP Five saya menuju Osaka Station melalui jalur
underground. Walau memiliki peta pemberian station master, saya lebih memilih
menggunakan jalur underground karena disana terdapat banyak papan
informasi berisi nama stasiun dan jalur kereta, lengkap dengan tanda panahnya.
Paling tidak ini dapat meminimalisir potensi nyasar.
Seorang teman saya pernah berkata, penampilan orang Jepang
itu modis semua. Bahkan sebuah artikel tentang travel menyebutkan:
ketika berada di Jepang, sangat mudah membedakan orang Jepang dengan orang Asia
lainnya. Selain dari kecepatan jalannya, orang Asia tidak akan bisa mengikuti gaya berpakaian orang Jepang. Mode
selalu beberapa langkah lebih maju di negara ini. Dan menjelang rush hour di
sore hari dalam jalur underground yang semakin dipadati pejalan kaki, saya puas
mengamati gaya berpakaian penduduk Osaka yang ditemui sepanjang perjalanan
menuju Osaka Station. Mereka terlihat chick dengan pilihan fashion yang
dikenakan. Seolah jalur underground menjelma menjadi runway. Tidak perlu
menghabiskan uang melihat teater AKB48 di Tokyo sana, penampilan anak-anak usia SMP dan SMU yang sama temui disini tidak
kalah kawaii dengan idol group itu.
Saya sampai di Osaka Station ketika sore sudah sangat tua.
Menaiki eskalator, saya sampai di Carillon Plaza yang cukup luas. Osaka Station
sendiri memiliki delapan plaza atau ruang terbuka dimana orang-orang dapat
berkumpul dan bersantai sejenak. Carillon Plaza ini tidak sengaja saya
“temukan” saat saya mencari jalan menuju Yawaragi
no Niwa (healing garden) dan Kaze no Hiroba (wind plaza) yang sama-sama berada
di North Gate building Osaka station. Dengan letaknya yang berada di lantai
bawah, Carillon
Plaza menawarkan pemandangan gedung-gedung yang menjulang tinggi mengapit
bagunan Osaka Station. Icon utama Carillon Plaza adalah sebuah menara jam yang
dikelilingi lonceng.
Senja yang perlahan jatuh membuai saya untuk berlama-lama
duduk di Carillon Plaza, sampai saya sadar bahwa pemandangan senja akan jauh
lebih indah jika dilihat dari Yawaragi
no Niwa (healing garden) atau Kaze no Hiroba (wind plaza) yang berada di lantai
atas. Cepat-cepat saya menuju lift, yang sayangnya
selalu penuh. Mengejar senja, saya menggunakan eskalator menuju lantai 10.
Angin kencang menerpa wajah ketika saya sampai di Yawaragi no Niwa, senja hampir usai
saat langit jingga kemerahan perlahan menggelap. Segera saya mengatur shutter speed kamera dalam
posisi rendah, dan saat kamera memotret dalam kecepatan lambat antiklimaks pun
terjadi. Baterai kamera saya habis!
Carillon Plaza
Kadang,
pemandangan paling indah dalam hidup bukan untuk dipotret, tapi untuk dinikmati
dengan mata kepala sendiri. Dan sungguh, senja yang saya lihat dari Yawaragi no Niwa akan menjadi salah satu senja terindah dalam ingatan. Menggunakan
eskalator ke lantai 11 saya duduk-duduk di Kaze no Hiroba, melihat langit kota
Osaka perlahan menggelap sampai hitam pekat. Bangunan pencakar langit memenuhi
pemandangan garis kota. Lampu-lampu di jendela gedung mulai menyala, mengganti
kerlip cahaya yang menghiasi Osaka. Kota ini semakin cantik kala malam
tiba.
Menjelang malam, angin
yang berhembus semakin kuat dan dingin. Sialnya saya tidak membawa jaket. Saat
berangkat dari hostel tadi cuaca sangat cerah dan cenderung terik. Siapa sangka
menjelang malam dingin mulai merasuk. Saya melanjutkan perjalanan menuju Umeda Sky
Building. Kali ini saya menggunakan peta pemberian station master karena tidak
yakin jalur underground stasiun Osaka mencapai daerah Umeda Sky Building. Dari North Gate building Osaka station saya melewati jalan yang diapit bangunan Grand Front Osaka dan
Yodobashi-Umeda, kemudian berbelok ke kiri melewati jalan yang sama-sama
diapit gedung Grand Front Osaka (south building dan north building). Di ujung jalan itu
terdapat underground passage yang langsung mengarah ke Umeda Sky Building.
Bangunan Umeda Sky Building terdiri dari menara kembar setinggi 173 meter, kedua bangunan dihubungkan dengan Floating Garden Observatory di lantai 40. Floating garden observatory populer tidak hanya untuk wisatawan asing, juga untuk penduduk Osaka. Ini terbukti dari antrian lift menuju floating garden observatory yang cukup mengular. Lift yang mengantarkan menuju lantai 39 bergerak sangat cepat, telinga saya sedikit terasa pegang saat menyesuaikan ketinggian dalam kecepatan seperti itu. Kotak lift yang transparan membuat perjalanan singkat ini terasa berbeda, saya dapat melihat pemandangan kota Osaka yang berangsur-angsur berubah seiring semakin tingginya lift bergerak. Dari lantai 39 saya menaiki eskalator berpenampilan futuristik menuju floating garden observatory di lantai 40.
Rute menuju Umeda Sky Building (garis merah)
Bangunan Umeda Sky Building terdiri dari menara kembar setinggi 173 meter, kedua bangunan dihubungkan dengan Floating Garden Observatory di lantai 40. Floating garden observatory populer tidak hanya untuk wisatawan asing, juga untuk penduduk Osaka. Ini terbukti dari antrian lift menuju floating garden observatory yang cukup mengular. Lift yang mengantarkan menuju lantai 39 bergerak sangat cepat, telinga saya sedikit terasa pegang saat menyesuaikan ketinggian dalam kecepatan seperti itu. Kotak lift yang transparan membuat perjalanan singkat ini terasa berbeda, saya dapat melihat pemandangan kota Osaka yang berangsur-angsur berubah seiring semakin tingginya lift bergerak. Dari lantai 39 saya menaiki eskalator berpenampilan futuristik menuju floating garden observatory di lantai 40.
Area
floating garden observatory yang saya masuki berupa sebuah ruang melingkar luas
berpenerangan minim dengan kaca besar lebar sebagai pengganti tembok untuk
melihat pemandangan kota. Bangku-bangku berupa balkon tinggi yang diletakkan
dekat dinding kaca dipenuhi pasangan. Pemandangan Osaka di malam hari sungguh
sangat spektakuler dilihat dari tempat ini. Kerlip lampu dari gedung pencakar
langit yang notabene memenuhi Osaka membuat kota seolah bersinar. Saya tidak
akan bosan menghabiskan waktu disini hanya untuk duduk termangu menatap lautan
warna-warni Osaka kala malam.
Info: Umeda Sky Building Floating Garden Observatory (fee 700 yen,
no closing days, hours 10.00 – 22.00 (last entrance 30 minutes before closing))
Dari
floating garden saya menaiki tangga menuju rooftop. Lumi Sky Walk, nama yang
disematkan untuk rooftop ini, dan sungguh berjalan disini seolah berjalan di
angkasa. Lantai lumi sky walk berpendar biru, hijau, dan ungu membentuk pola
milky way, andromeda, aurora, dan bahkan meteor. Sementara itu langit dibiarkan
terbuka tanpa atap. Langit di atas kepala juga di bawah kaki, seakan
melemparkan saya ke dimensi yang berbeda. Di area lumi sky walk juga terdapat
Lumi Deck dimana pasangan dapat menggantungkan gembok dengan ukiran nama mereka
di pagar yang mengelilingi. Lantai lumi deck terbuat dari lampu LED yang terus
berubah warna menyerupai aurora kala malam. Tepat di tengah lumi deck
diletakkan bangku untuk pasangan berfoto diantara sinar lampu LED.
Pemandangan dari Floating Garden Obervatory (source)
Lumi Sky Walk (source)
Ah,
setelah sebelumnya bianglala HEP Five membuat saya baper, sekarang floating
garden observatory dan lumi sky walk di Umeda Sky Building membuat saya
nelangsa. Osaka sungguh bukan kota yang ramah perasaan untuk para singles.
Kunjungan
ke Umeda Sky Building tidak menjadi penutup day trip saya di Osaka. Walau malam
semakin larut saya kembali menuju Higashi-Umeda station untuk pergi ke
destinasi selanjutnya. Perjalanan menuju Higashi-Umeda station ternyata tidak
semudah perkiraan saya. Walau melewati jalan yang persis sama seperti
sebelumnya, nyatanya saya sukses nyasar dalam jalur underground. Entah mengapa
papan petunjuk menuju Higashi-Umeda station dan jalur Tanimachi line tiba-tiba
menghilang. Mengapa ada papan petunjuk menuju Osaka station dan Umeda station
tapi tidak untuk Higashi-Umeda station? Setelah beberapa puluh menit frustasi
sendiri berusaha menemukan jalan, akhirnya saya bertanya pada seorang pelayan
di salah satu toko. Pelayan itu mengerti bahwa saya mencari jalan menuju
Higashi-Umeda station, namun dia hanya menggerakkan tangannya dan tetap berkata
dalam bahasa Jepang, seolah kebingungan sendiri mencari padanan kata dalam
bahasa Inggris. Saat saya akan menyerah terdengar suara seorang wanita dari
belakang saya berkata dalam bahasa Inggris, “can I help you?” Sungguh, rasanya
seperti oase bertemu seorang Jepang yang dapat berbahasa Inggris dan menawarkan
diri untuk membantu.
Wanita
paruh baya itu tidak hanya menunjukkan arah, dia bahkan mengantarkan saya
menuju Higashi-Umeda station. Bahasa Inggrisnya cukup bagus, dia berada di
Osaka untuk urusan pekerjaan dan sebenarnya letak hotel yang dia tempati
berlawanan arah dengan stasiun Higashi-Umeda. Walau demikian dia tetap
mengantarkan saya menuju Higashi-Umeda station. Menurut dia jalur underground
ini memang cukup rumit karena beberapa jalur saling bersinggungan antara satu
sama lain. Dia juga berkata, cukup sulit bertanya panduan arah kepada orang
Jepang karena tidak banyak yang dapat berbahasa Inggris. Saya tersenyum lebar
mendengarnya dan berkata, justru karena mayoritas penduduk Jepang tidak dapat
berbahasa Inggris, perjalanan saya menjadi lebih seru dan banyak cerita yang
saya dapat dalam perjalanan, termasuk bertemu dengan Anda dan mendapat bantuan
dari Anda. Kami berpisah di lorong stasiun Higashi-Umeda, saya membungkukkan
badan dalam-dalam dan berkata “hontou arigatou gozaimasu.” Sungguh saya sangat
berterima kasih atas bantuannya dan hanya ini cara yang saya tahu untuk
menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam. Wanita paruh baya itu membalas tertawa
kecil dan melambaikan tangan sambil sedikit membungkukkan badannya, entah dia
tertawa karena tidak menyangka saya yang demikian berterima kasih, atau karena
ucapan yang saya pilih ternyata salah.
Natural Hot Spring Naniwa no Yu (fee 800
yen, Monday to Friday 10.00 – 25.00, Saturday/Sunday 08.00 – 25.00 (last
entrance at midnight))
Tujuan terakhir saya adalah sebuah onsen bernama Natural Hot Spring Naniwa no Yu. Iya,
saya penasaran banget pengen nyobain onsen, dan kebetulan Natural Hot Spring
Naniwa no Yu dapat diakses gratis menggunakan Osaka Amazing Pass. Dari Higashi-Umeda station saya menggunakan Tanimachi Line dan turun di
Tenjimbashisuji 6-chome station dan keluar di exit 3 sesuai panduan dalam
booklet.
Area
Tenjimbashisuji 6-chome bukan merupakan destinasi turistik
sehingga tidak banyak petunjuk jalan tersedia, selain itu kondisi jalan cukup
sepi saat malam. Saya sangat kesulitan menemukan Natural Hot Spring Naniwa no Yu, nyaris lima orang yang saya tanyai namun tidak mengetahui tempat
tersebut. Petunjuk penting yang saya dapat adalah Natural Hot Spring Naniwa no Yu terletak dalam gedung Pachinko and Slots, gedungnya besar dan ramai
dengan warna-warni lampu. Masalahnya, kebanyakan gedung yang saya temui selama nyaris
satu jam berjalan adalah gedung apartemen atau perkantoran biasa. Kaki saya
mulai terasa pegal luar biasa, berpikir saya harus kembali berjalan selama itu
untuk kembali ke stasiun menambah frustasi. Suasana kota juga semakin sepi dan
sangat sedikit orang yang lalu lalang. Saya mulai menyesali keputusan pergi ke Natural Hot Spring Naniwa no Yu, review di situs tripadvisor memang banyak mengatakan pemandian air panas ini
sulit ditemukan.
Rasanya
sungguh lega saat akhirnya saya menemukan gedung Pachinko and Slots. Seperti
namanya, gedung ini memang digunakan untuk permainan pachinko. Lantai 1 gedung
dipenuhi mesin pachinko dengan kaum lelaki yang mendominasi serta kabut tipis
asap rokok yang menguar, Natural
Hot Spring Naniwa no Yu terletak di lantai 8. Sebelum
memasuki onsen saya menyimpan sepatu di loker kecil di luar onsen, kemudian
ke meja registrasi untuk menunjukkan kartu Osaka Amazing Pass. Petugas
menyodorkan kotak kecil berisi karet rambut, karena rambut saya melewati bahu
maka harus diikat sebelum memasuki onsen. Setelahnya saya memasuki onsen khusus
wanita dan langsung disambut oleh puluhan wanita telanjang yang akan dan baru
selesai mandi. Sumpah, saya pengen muntah melihat melihat tubuh wanita
telanjang sebanyak itu. Saya sudah tahu kalau mandi di onsen harus menanggalkan
semua pakaian di tubuh, tapi mengalami sendiri rasanya risih banget.
Bagian dalam onsen
dibagi menjadi beberapa ruangan. Ruang pertama semacam loker sekaligus tempat
berganti baju, pakaian dan tas diletakkan disini. Saya celingak-celinguk
sebelum melepas pakaian, tapi yasudahlahya, mau gimana juga memang harus naked.
Setelah itu saya masuk ke ruangan selanjutnya yang fungsinya seperti semacam
ruang transisi antara kolam onsen dan ruang loker, uap panas mulai terasa
pengap disini. Ruang selanjutnya barulah terlihat kolam-kolam onsen yang dibagi
berdasarkan khasiat dan manfaatnya, di ruangan ini juga terdapat tempat mandi berupa
barisan shower yang harus digunakan sebelum pengunjung masuk ke dalam kolam
onsen. Menggunakan bangku kecil yang tersedia, saya ikut mandi di bawah
pancuran. Sampo dan sabun ukuran besar tersedia disini. Air yang mengalir cukup
deras dan panas, kulit saya langsung terlihat memerah. Setelah membersihkan
diri, saya dapat berendam di onsen.
Natural
Hot Spring Naniwa no Yu memiliki kolam onsen indoor
maupun outdoor. Kolam outdoor lebih romantis karena pengunjung dapat berendam
sambil memandang langit. Sebelum berendam sebaiknya merendam kaki di dalam
kolam dulu untuk menyesuaikan tubuh dengan suhu air panas, setelah itu baru
berendam. Berendam di onsen lebih enak bersama teman-teman, jadi nggak basi
sendiri berendam sambil bengong. Salah satu etiket di onsen adalah pengunjung
tidak boleh terang-terangan menatap tubuh pengunjung lain. Tapi melihat
banyaknya tubuh telanjang yang lalu lalang, mau tidak mau, sengaja tidak
sengaja, saya jadi mengamati (dan mengomentari dalam hati) apa yang saya lihat.
kolam outdoor (source)
Selama berada di
onsen saya gonta-ganti mencoba beberapa kolam yang tersedia. Setiap kolam
memiliki warna, khasiat, dan temperatur yang berbeda. Yang paling mantap adalah
kolam dengan tekanan air tinggi sehingga badan seperti dipijat. Masalahnya,
bagi saya tekanan air terlalu tinggi, dan badan saya cukup sakit-sakit terkena
arus kencangnya. Sedangkan seorang nenek di sebelah saya nampak begitu
menikmati pijatan yang dihasilkan dari tekanan tinggi arus air. Tidak sampai 30
menit saya berendam dalam onsen, kepala saya mulai terasa pusing dan pandangan
berkunang-kunang, detak jantung saya juga terasa meningkat. Saya tidak memaksakan diri untuk berendam lebih lama lagi dan
keluar dari onsen. Saat selesai berendam tidak perlu mandi lagi karena mineral
yang terkandung dalam onsen akan terbuang sia-sia, jangan lupa keringkan tubuh sebelum
kembali ke ruang ganti.
Di ruang ganti saat
akan berpakaian, rasa pusing di kepala saya semakin hebat hingga rasanya saya
ingin muntah. Duh, gimana bisa pulang pakai kereta kalau kondisi badan seperti
ini. Masa iya naik taksi ke hostel, bisa hancur budget perjalanan saya nanti. Jadilah saya duduk sebentar di kursi yang
tersedia di ruang ganti dan menghirup napas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung. Setelah pusing mereda, saya minum air banyak-banyak. Pusing di kepala saya akhirnya berangsur-angsur menghilang.
Badan saya rasanya
lelah sekaligus rileks setelah berendam di onsen. Rasanya pengen cepat-cepat
kembali ke hostel dan tidur. Saat akan pulang, saya bertanya arah stasiun pada
petugas keamanan di depan gedung Pachinko and Slots. Arah yang diberikan
berbeda dengan arah kedatangan saya dan cukup jelas untuk diikuti. Namun tetap
saja, saya harus bertanya arah pada dua orang lain dalam perjalanan menuju
stasiun. Dari Tenjimbashisuji 6-chome station saya menggunakan Sakaisuji
line ke Nagahoribashi station, dari situ saya berganti kereta di jalur Nagahori
Tsurumi-ryokuchi line dan turun di Shinsaibashi station. Nyaris tengah malam saat saya akhirnya sampai di hostel, niat saya mengunjungi
area Dotonburi harus dibatalkan.
Notes:
- IMHO, Shitennoji temple tidak semenarik itu. Lebih baik di-skip dan pilih destinasi wisata lain
- Jangan lupa bawa handuk sendiri jika ingin ke Natural Hot Spring Naniwa no Yu
- Osaka Amazing Pass seharga 2.900 yen saya gunakan untuk: tiket Nankai Airport Express (920 yen), Shitennoji temple (300 yen), Osaka castle (600 yen), HEP Five Ferris wheel (500 yen), Umeda sky building (700 yen), Natural Hot Spring Naniwa no Yu (800), dan biaya kereta keliling Osaka
- IMHO, Shitennoji temple tidak semenarik itu. Lebih baik di-skip dan pilih destinasi wisata lain
- Jangan lupa bawa handuk sendiri jika ingin ke Natural Hot Spring Naniwa no Yu
- Osaka Amazing Pass seharga 2.900 yen saya gunakan untuk: tiket Nankai Airport Express (920 yen), Shitennoji temple (300 yen), Osaka castle (600 yen), HEP Five Ferris wheel (500 yen), Umeda sky building (700 yen), Natural Hot Spring Naniwa no Yu (800), dan biaya kereta keliling Osaka
Itinerary:
Shitennoji Temple - Osaka Castle - HEP Five Ferris Wheel - North Gate building Osaka Station (Carillon Plaza, Yawaragi no Niwa, Kaze no Hiroba) - Umeda Sky Building (Floating Garden Observatory, Lumi Sku Walk) - Natural Hot Spring Naniwa no Yu
Rincian biaya:
Sarapan The U-don: 670 yen
Osaka Amazing Pass: 2.900 yen
Osaka Hana Hostel: 3.000 yen
Sushi Family Mart: 298 yen
Air minum: 160 yen
Total pengeluaran: 7.028 yen
Shitennoji Temple - Osaka Castle - HEP Five Ferris Wheel - North Gate building Osaka Station (Carillon Plaza, Yawaragi no Niwa, Kaze no Hiroba) - Umeda Sky Building (Floating Garden Observatory, Lumi Sku Walk) - Natural Hot Spring Naniwa no Yu
Rincian biaya:
Sarapan The U-don: 670 yen
Osaka Amazing Pass: 2.900 yen
Osaka Hana Hostel: 3.000 yen
Sushi Family Mart: 298 yen
Air minum: 160 yen
Total pengeluaran: 7.028 yen