Bagi
saya, yang menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah begitu mudahnya saya mencairkan diri dan memulai
pembicaraan dengan orang lain yang notabene adalah stranger. Tanpa ekseptasi apapun, hanya sekedar ingin menyapa dan mengobrol singkat. Pagi itu saya
berbasa-basi-busuk dengan room mate hostel, mengawali dengan pertanyaan basi mengenai negara asalnya, yang ternyata
teman sekampung sesama Indonesia. Kami saling
membahas itinerary masing-masing, saya mengawali
dari Osaka berakhir di Tokyo, sementara dia memulai perjalanan dari Tokyo dan
Osaka adalah kota terakhir. Highlight tempat wisata dia selama di Jepang adalah
FujiQ, DisneySea, dan Universal Studio,
sementara itinerary saya masih berbentuk “standar” ala first timer di Jepang;
kuil, wisata kota, sedikit tambahan taman bermain. Dari dia, saya cukup
mendapat insight mengenai Nara, Kyoto, dan Tokyo yang menjadi destinasi
selanjutnya. Di Kyoto dia pun menginap di Kyoto Hana Hostel, hostel yang sama dengan
yang akan saya inapi malam nanti. “Jangan
heran jika seisi hostel mayoritas orang Indonesia, Kyoto Hana Hostel sepertinya
memang menjadi favorit traveler Indonesia.” Basa-basi-busuk pagi itu nyatanya
cukup berfaedah.
Hari kedua di Jepang ini tujuan
saya adalah Nara. Selain karena sejarahnya, posisi Nara yang cukup dekat dengan
Osaka dan Kyoto membuat kota itu tidak pernah sepi kunjungan. Saya, seperti kebanyakan
wisatawan lainnya, berencana menghabiskan waktu seharian (day trip) di Nara.
Malamnya saya akan langsung berangkat ke Kyoto.
Seharusnya pagi itu saya langsung mengemas
ransel, check out, dan berangkat menuju Nara. Nyatanya saya malah menghabiskan
pagi dengan berjalan-jalan mengitari area hostel, masih penasaran ingin
menyambangi daerah Dotonburi yang sebenarnya sangat dekat dengan hostel. Pagi
itu jalan masih sepi, satu dua pekerja kantoran berpakaian necis warna gelap
menenteng tas kerja berjalan cepat-cepat, entah dia takut terlambat atau memang
secepat itulah ritme berjalannya. Lalu lintas belum terlalu ramai, hanya otak
saya yang belum mendapat asupan kafein menjadi macet. Tidak dapat membaca peta
dan belum ada orang yang dapat ditanyai. Belum sampai satu jam akhirnya saya
menyerah. Misi pagi hari itu berakhir di kedai Family Mart tempat saya membeli
sarapan.
Onigiri, sushi, bento, menu bertahan hidup hemat di Jepang
Untuk menuju ke Nara saya
akan menggunakan Kintetsu Nara Line yang berangkat dari stasiun Namba. Dari
hostel bisa saja saya berjalan kaki melewati daerah Dotonburi ke stasiun Namba,
tapi saya tidak yakin tidak akan nyasar. Dengan ransel berat dan waktu yang
terbatas saya lebih memilih menggunakan subway. Di stasiun Shinsaibashi,
akhirnya tiba juga saatnya saya harus berhadapan dengan vending machine untuk
membeli tiket kereta. Yang saya tahu, stasiun Shinsaibashi dan stasiun Namba
itu hanya berjarak satu stasiun. Dari situs hyperdia.com saya pun tahu harga
tiketnya hanya sebesar 180 Yen. Masalahnya, tidak ada pilihan harga sebesar 180
Yen setelah saya memasukkan uang ke vending machine. Akhirnya saya memilih
nominal terkecil yang tersedia dalam pilihan.
Di stasiun Namba, saat saya memasukkan
tiket tersebut pada gate keluar, pintu kecil itu langsung tertutup menolak
tiket saya. Mamiihh.. ini kenapa lagi… Kebingungan, saya menghampiri ruang
Station Master yang persis berada di sebelah gate keluar. Saya memberikan tiket
dan mengatakan tidak dapat keluar dari stasiun. Melihat tiket saya, station
master itu mengangguk paham dan menjelaskan kalau nominal tiket saya terlalu
besar. Dengan menggunakan kertas berisi rute kereta dia mengatakan bahwa tiket yang
saya beli itu untuk biaya perjalanan kereta satu kali mengelilingi rute tersebut. Tapi di
vending machine tadi nominal ini adalah nominal yang paling kecil, saya membela
diri. Station master itu kemudian mengeluarkan kalkulator, mengetikkan nominal
tiket yang saya beli kemudian mengurangkan dengan 180 Yen sebesar biaya
perjalanan dari stasiun Shinsaibashi ke stasiun Namba, kelebihannya kemudian
dia kembalikan cash ke saya. Kemudian saya diperbolehkan keluar melalui gate
tanpa pintu yang persis berada di sebelah ruangan station master. Huaahh, baik
dan helpful banget.
Padahal segala keribetan itu
tidak akan terjadi seandainya saya menggunakan fare adjustment machine :))
Di stasiun Namba, kembali
saya harus membeli tiket Kintetsu Nara Line menggunakan vending machine. Kali
ini saya cukup percaya diri memilih harga 620 Yen. Setelah kartu tercetak dan
keluar dari vending machine barulah saya sadar kalau nominal yang saya pilih
adalah harga tiket dari Nara ke Kyoto, sedangkan dari Osaka ke Nara harga
tiketnya adalah 560 Yen. Duh, dua kali salah di pagi hari. Memakai logika
pinter-pinteran dari kesalahan sebelumnya, paling nanti juga gate di statiun
Kintetsu Nara akan tertutup saat saya memasukkan tiket ini.
Dari stasiun Namba menuju
stasiun Kintetsu Nara ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit, jenis kereta yang
digunakan seperti kereta commuter line Jabodetabek. Sesampainya di stasiun
Kintetsu Nara saya langsung mencari loker untuk menitipkan tas. Cukup banyak
loker tersedia dalam stasiun ini, namun kebanyakan loker ukuran besar sudah
terisi semua. Saran saya, jika membawa koper ukuran besar usahakan sampai Nara
lebih awal daripada seharian harus mendorong-dorong koper keliling Nara karena
tidak kebagian loker. Di pintu keluar stasiun saya sudah harap-harap-cemas saat
memasukkan tiket yang nominalnya melebihi harga tiket yang sebenarnya itu.
Namun gate terbuka dan tiket saya ‘ditelan.’ Logika pinter-pinteran saya tidak
berhasil, seharusnya saya menggunakan fare adjustment machine tadi.
Di sepanjang pintu keluar
stasiun terpampang papan petunjuk menuju sejumlah tempat wisata di Nara dalam
empat bahasa (Jepang, Inggris, Cina, dan Korea). Tourist Information Center dan
brosur wisata Nara juga dengan mudah ditemukan di stasiun. Pemerintah kota ini
tahu benar bahwa Nara menyerap pengunjung dalam jumlah besar dan menyediakan
informasi sebanyak-banyaknya untuk memudahkan wisatawan.
Keluar dari stasiun Nara saya
disambut cuaca yang cerah ceria. Biru langit tertutupi awan putih yang
berarak-arak hingga akhir cakrawala. Kebanyakan wisatawan, termasuk saya,
memilih menjelajahi Nara on foot, alias berjalan kaki. Objek wisata Nara memang
mayoritas dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Baru beberapa meter berjalan
dari stasiun, kami para wisatawan sudah disambut kawanan rusa yang dibiarkan
bebas. Nara memang terkenal dengan rusa liarnya, konon rusa ini adalah
kendaraan para dewa sehingga sampai sekarang rusa dianggap sebagai utusan dewa.
Tidak hanya para rusa yang dikerubuti wisatawan untuk ber-selfie ria, pedagang
senbei (biskuit beras untuk diberikan ke rusa) juga laris manis. Jujur, saya pribadi
agak takut dengan para rusa ini. Walau terlihat jinak namun mereka tetap
binatang liar. Peringatan mengenai rusa ini juga terpampang di papan peringatan
yang terpasang di pinggir jalan utama. Mau ber-selfie dengan rusa silahkan saja,
namun tetap ingat untuk berhati-hati.
Langit biru cerah
Wisatawan dan rusa dan penjual senbei
Papan peringatan akan rusa di Nara
Tempat wisata pertama yang
paling dekat dengan Kintetsu Nara Station adalah Kofukuji Temple yang sayangnya
ternyata dalam renovasi. Saya melanjutkan berjalan kaki sambil memperhatikan
tingkah para rusa yang aneh-aneh; ada yang menyeberang jalan, mengantri di
halte bus, nongkrong cantik di toko penjual oleh-oleh, sampai memperhatikan
jalan raya dengan pandangan nelangsa seakan ingin bunuh diri. Di sepanjang
jalan raya utama ini juga diletakkan peta yang memuat tempat-tempat wisata di
Nara, petunjuk arah beserta estimasi jarak pun jamak ditemui setiap beberapa
meter. Kota ini benar-benar ramah wisatawan! Setelah beberapa menit berjalan,
saya sampai di sebuah perempatan besar yang penuh dengan wisatawan, rusa, serta
penarik becak tempo dulu.
Rusa nelangsa di pinggir jalan
Rusa ikut antri bus
Rusa lagi nyebrang jalan
Rusa nongkrong cantik di toko souvenir
Akhirnya selfie sama rusa
Becak tempo dulu
Todaiji temple seakan
memiliki magnet sehingga semua wisatawan melangkahkan kakinya kesana. Menuju Nandaimon
Gate (gerbang kayu besar yang dijaga dua patung penjaga menyeramkan yang berfungsi
sebagai pintu masuk Todaiji temple) jalanan makin padat dengan toko souvenir
berjejer di pinggir jalan, pasukan rusa, wisatawan, dan dedek lucu anak-anak
sekolah yang sedang field trip. Di gerbang besar ini, luangkan waktu sejenak
untuk mengagumi kemegahan gerbang kayu yang ukurannya luar biasa. Setelah
melewati Nandaimon gate, jalan lurus terus mengikuti jalan setapak berbatu
menuju Todaiji temple. Di dalam Todaiji temple terdapat Daibutsu-den yang
merupakan bangunan kayu berukuran superbesar dan terlihat sangat megah, di
dalamnya memuat salah satu patung Budha terbesar di dunia dan terbesar kedua di
Jepang.
Nandaimon Gate
Menurut saya, keistimewaan
Daibutsu-den bukan hanya pada ukuran patung Budha yang memang gigantis,
arsitektur bangunan Daibutsu-den itu sendiri tidak kalah mencengangkan. Kayu
yang menopang bangunan sebesar itu terlihat begitu tua dan berwarna coklat
kehitaman bukti terpaan cuaca empat musim dan membentuk pola rumit di muka
bangunan. Selain patung Budha, di dalam Daibutsu-den terdapat stand yang
menjual genting yang dapat ditulisi nama pembeli untuk dipasang di atap. Ini
merupakan usaha sponsorhip dari pengunjung untuk tetap menjaga kelangsungan bangunan
Daibutsu-den. Bagian menarik lainnya dari Daibutsu-den adalah lubang kecil di
salah satu pilar kayu, konon siapapun yang dapat memasukkan badannya melalui
lubang kecil ini akan mendapat pencerahan. Atau menjadi bahan tawa pengunjung
lain jika badan kalian stuck di dalamnya.
Daibutsu-den
Rombongan field trip
Pintu masuk Daibutsu-den
Great Budha Daibutsu-den
Tepat di pintu keluar Daibutsu-den
terdapat sebuah torii merah. Melewati torii tersebut jalanan semakin menanjak
dan pepohonan merapat memberi hawa dingin. Di ujung tanjakan saya berbelok ke
kiri dan sampai ke Nigatsu-do Hall yang masih menjadi bagian dari Todaiji
temple. Perjuangan menanjak bukit dan tangga menuju beranda Nigatsu-do Hall terbayar
begitu saya melihat pemandangan yang tersaji; kompleks Todaiji temple berlatar
kota Nara di kejauhan dibingkai langit biru. Rasanya damai dan tenang
memandangi Nara dari atas sini. Eksterior Nigatsu-do Hall yang dihiasi lentera gantung juga sangat
menyenangkan untuk dieksplorasi, sederhana namun memikat.
Torii merah
Nigatsu-do Hall
Pemandangan dari atas Nigatsu-do Hall
Lentera gantung
Eksterior Nigatsu-do Hall
Saya keluar dari Nigatsu-do
hall melewati tangga yang berbeda dan menapaki jalan menurun yang berbeda
dengan sebelumnya. Jalan setapak yang saya lewati sekarang rasanya ‘Jepang
banget’ dengan jalan berbatu lebar dan pagar tembok tinggi sebagai pembatas
rumah di kanan kiri jalan. Pepohonan menyembul dari dalam halaman rumah
melewati tinggi pagar tembok, beberapa sudah berubah warna kuning jingga
menandai perubahan musim. Sekumpulan orang di pinggiran jalan yang nampaknya
dari klub melukis berusaha mengabadikan pemandangan dengan goresan di atas
kanvas. Sampai di bawah jalan setapak tadi ternyata saya kembali ke kompleks
Daibutsu-den. Dan disini saya baru sadar kalau kertas itinerary saya hilang. Sepertinya
kertas tersebut terjatuh saat saya selipkan di tas.
Manalah saya ingat tempat
wisata apa saja yang harus didatangi di Nara. Apalagi nama tempat tersebut
sulit untuk diingat. Akhirnya saya duduk-duduk sebentar di bangku taman sambil
beristirahat. Di taman luas itu beberapa pohon sudah berubah warna seluruhnya
menjadi merah! Cantik sekali. Saya langsung sibuk foto-foto dan lupa dengan
masalah itinerary yang hilang. Setelah puas memotret dan akan kembali ke
Nandaimon Gate, saya menemukan peta area Nara yang cukup lengkap. Sambil
mengingat-ingat saya memutuskan menuju Kasuga Taisha yang satu garis lurus
dengan Nandaimon Gate. Memang, tidak perlu takut nyasar di Nara, kota ini
memang sangat tourist friendly.
Jalan menuju Kasuga Taisha
ibarat hiking di tengah hutan lebat. Kalau harus berjalan sendiri mungkin saya
urung melewatinya. Cahaya matahari sulit menembus rapatnya pepohonan, hawa
dingin pun terasa tidak nyaman di tengkuk kepala. Entah saya yang kelewat parno
atau suasana tempatnya yang terasa magis. Jalan semakin lama semakin menanjak
dan lentera batu berderet di kanan kiri jalan seperti pagar.
Rusa yang berada di jalur ini
sedikit lebih liar, mungkin karena tidak banyak pengunjung yang memberi senbei.
Saat ada pengunjung yang memberi senbei, dia langsung dirubung rusa yang
kelaparan. Seekor rusa lain malah ada yang mengunyah rok seorang pengunjung karena
tidak diberi senbei dan hampir menyeruduk saat diusir. Bukti bahwa sejinak
apapun rusa di Nara, mereka tetap binatang liar yang berbahaya.
Perhatikan apa yang dilakukan rusa dalam foto ini
Tong sake
Sampai di Kasuga Taisha saya
tidak masuk ke dalam kuil, hanya duduk-duduk mengamati dan memotret beberapa
lentera gantung yang terlihat dari luar kuil. Konon Kasuga Taisha memiliki 1000
lentera gantung seperti ini di dalam kuilnya.
Pintu masuk Kasuga Taisha
Seperti kebanyakan kuil pada
umumnya, Kasuga Taisha juga menjual ema (papan doa) yang dapat ditulisi harapan
dan doa. Uniknya ema di Kasuga Taisha berbentuk kepala rusa; kepala rusa jantan
ditambahkan tanduk di atas telinganya sementara kepala rusa betina tidak
memiliki tanduk. Oleh pengunjung, ema berbentuk kepala rusa ini bagian
belakangnya ditulisi harapan dan doa sementara bagian depannya digambari mata,
hidung, dan mulut membentuk beragam ekspresi wajah rusa. Lucu, unik, dan
kreatif banget!
Dari Kasuga Taisha saya
mengambil jalur berbeda untuk pulang yang terdapat di pintu keluar. Saya tidak
tahu jalur tersebut mengarah kemana, saya hanya ingin mencoba jalur lain dan siapa
tahu dapat melihat pemandangan yang berbeda. Walau demikian, jalur ini ternyata
tidak jauh berbeda dengan jalur yang saya tempuh saat berangkat ke Kasuga
Taisha. Masih berupa hutan rapat dengan sedikit sinar matahari, wisatawan yang
melewati jalur ini juga tidak terlalu ramai. Di ujung jalur terdapat tea house
dan anak tangga mengarah ke atas. Ada beberapa rusa berkumpul di tengah anak
tangga, saya penasaran apakah mereka dapat menuruni anak tangga tersebut dengan
empat kaki jenjangnya, dan ternyata bisa! Saya pikir rusa itu akan jatuh. Seorang
Jepang terlihat membawa senbei untuk rusa tersebut, sebelum memberi senbei dia
membungkuk dahulu dan rusa tersebut balas membungkuk anggun sebelum kemudian
memakan jatah senbei-nya. Saya kembali takjub. Rusa di Nara bisa mengerti adat
dan tradisi Jepang!
Jalur pulang yang saya ambil
Rusa turun tangga
Menapaki anak tangga tersebut ternyata
mengantarkan saya ke Mount Wakakusayama. Walau namanya mount, namun dari jarak
pandang saya lebih terlihat seperti bukit. Mount Wakakusayama hampir seluruhnya
ditutupi rumput yang dipotong rapi, pagar didirikan untuk memisahkan area
publik dan area berbayar. Wisatawan diperbolehkan mendaki ke puncak gunung untuk
menikmati pemandangan kota Nara dari atas dengan biaya 150 Yen. Saya yang sudah
kelelahan berjalan kaki sedari pagi lebih memilih duduk-duduk mengamati Mount
Wakakusayama. Satu rombongan anak TK berada di dalam area Mount Wakakusayama
dan guru mereka seperti sedang memberi penjelasan mengenai tempat tersebut. Kemudian
guru mereka bertanya siapa yang ingin memanjat mount Wakakusayama dan anak-anak
TK itu berebut mengacungkan tangan dengan semangat. Rombongan tersebut akhirnya
dibagi dalam kelompok yang terdiri dari empat sampai lima orang, sebelum mendaki
mount Wakakusayama mereka dipotret dalam pose melompat. Sungguh menyenangkan
melihat keceriaan dan semangat anak-anak TK ini. Di area Todaiji temple tadi
saya memang melihat banyak bus wisata di area parkir yang membawa rombongan
wisata anak-anak TK maupun SD. Melihat, mengamati, dan memotret aktivitas
mereka selalu menjadi pemandangan bonus untuk saya selama berada di Jepang.
Mount Wakakusayama
Dari mount Wakakusayama saya
melanjutkan perjalanan yang ternyata kembali ke Todaiji temple. Ternyata tadi saya
mengambil rute berputar. Bermodal peta wisata yang terpampang di Todaiji temple,
saya memutuskan ke Yoshikien Garden yang berada persis di sebelah Isuien
Garden. Bedanya, Yoshikien Garden free for foreigners sedangkan Isuien Garden
memiliki fee cukup mahal sebesar 900 yen. Saat akan memasuki Yoshikien Garden
seorang petugas di loket menanyakan asal saya dan dari mana saya mendapat info mengenai Yoshikien
Garden. Setelah itu dia memberi tiket dan peta Yoshikien Garden lalu memberi
penjelasan dari mana seharusnya saya mulai dan mengakhiri perjalanan di Yoshikien
Garden. Seperti taman Jepang pada umumnya, Yoshikien Garden memiliki pond
garden, moss garden, dan tea ceremony garden. Tidak banyak pengunjung di Yoshikien
Garden walau pengelola sudah membebaskan biaya masuk. Saya pribadi suka melihat
moss garden yang ditanami beragam tamanan lumut yang belum pernah saya lihat
sebelumnya.
Yoshikien Garden
Pond garden
Moss garden
Hari menjelang sore saat saya
keluar dari Yoshikien Garden. Karena kehilangan itinerary saya tidak tahu lagi
harus kemana. Peta wisata yang banyak bertebaran hanya mencakup secuil wilayah
di sekitar peta tersebut berada, tidak menggambarkan Nara dalam skala lebih
luas. Akhirnya saya memutuskan kembali ke Kintetsu Nara Station untuk menuju
Kyoto. Satu pemandangan aneh saat saya berjalan ke stasiun, rusa yang tadi pagi
ramai bertebaran di sepanjang jalan mendadak hilang. Seperti hilang hanya dengan
jentikan jari. Ini menjadi pertanyaan besar untuk saya, dengan demikian luasnya
area persebaran rusa bagaimana cara mereka ‘pulang’ ke kandangnya?
Di stasiun Kintetsu Nara saya
mengambil ransel dari loker dan membeli tiket Kintetsu Kyoto Line dari vending
machine. Kali ini saya tidak salah memilih harga tiket. Untuk menuju Kyoto saya
harus berganti kereta sekali di Yamato-Saidaiji station. Perjalanan dari Nara
menuju Kyoto ini rasanya sangat jauh dan lama. Saya hampir mati bosan karena
kereta tidak kunjung sampai ke Kyoto. Untunglah dalam perjalanan banyak hal
yang saya lihat. Di satu stasiun kereta saya sempat berhenti agak lama, entah
mengapa. Beberapa saat kemudian satu kereta super cepat melintas dari arah
kiri, disusul kereta cepat lainnya melintas ke arah berlainan, tak lama kemudian kereta
saya melanjutkan perjalanan. Wah, kalau saja pengaturan dan jadwal kereta di Jakarta sebaik
ini, dipastikan tidak akan ada antrian antara kereta Jawa dan kereta commuter
line Jabodetabek. Sungguh saya iri. Di stasiun selanjutnya beberapa gerombolan
anak sekolah yang baru pulang kegiatan klub memenuhi gerbong kereta, mereka
mengobrol seru dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Namun menyenangkan
melihat raut wajah, bahasa tubuh, dan obrolan mereka. Seragam yang mereka kenakan
berbeda-beda, jelas bahwa mereka tidak berasal dari sekolah yang sama. Pemandangan
yang saya lihat persis seperti adegan dalam manga dan anime. Saya tinggal
membubuhi cerita sendiri.
Sesampainya saya di stasiun
Kyoto saya langsung mencari jalan menuju Kyoto Hana Hostel tempat saya menginap.
Banyak review mengatakan sangat mudah menemukan hostel ini karena letaknya yang
strategis, nyatanya saya nyasar dan berputar tak tentu arah di dalam stasiun
Kyoto. Saya frustasi sendiri, mengapa orang lain dapat dengan mudahnya
menemukan Kyoto Hana Hostel sementara saya hampir menghabiskan waktu satu jam
untuk sekedar mencari Hachijo East Exit yang menjadi patokan pertama. Pada
akhirnya saya tidak menggunakan Hachijo East Exit dan menggunakan Central Exit.
Lebih mudah menurut saya. Saat keluar dari Central Exit, Kyoto Tower akan
menjulang persis di seberang stasiun. Dari situ saya tinggal menyeberang jalan
dan berjalan lurus dengan patokan gedung Yodobashi Camera berada di sebelah
kiri sampai ke minimarket Lawson yang berada di kanan jalan. Dari situ saya
tinggal menyeberang, berbelok ke kanan lalu berbelok kembali ke kiri di gang pertama.
Setelah check in dan
menyimpan ransel di kamar, saya ke common room untuk membuat teh sambil
mentransfer file foto dari kamera. Kyoto Hana Hostel cukup menyenangkan, disainnya
tidak jauh berbeda dengan Osaka Hana Hostel namun saya masih lebih suka Osaka
Hana Hostel. Di common room sepertinya ada salah satu staf hostel yang berjaga
disana, dia memberitahu saya cara menggunakan peralatan dapur. Saya terbantu
sekaligus merasa risih karena staf ini seolah memantau pergerakan para tamu
yang berada di common room. Seolah dia takut salah seorang tamunya akan
membakar hostel. Di Osaka Hana Hostel pun saya bertemu dengan beberapa staf hostel di common room, namun perlakuan mereka kepada tamu terasa lebih hangat.
Tapi yasudahlahya, saya tidak
ambil pusing. Sambil menunggu semua file selesai ditransfer, saya menunggu di
sofa sambil membaca beberapa majalah yang tersedia. Di sebelah saya duduk
seorang nenek berusia di atas 60 tahun yang dari penampilannya akan melanjutkan
perjalanan, mungkin siang tadi dia sudah check out dan menitipkan bawaannya
disini. Saya yang penasaran mencoba membuka pertanyaan, “are you traveling
alone?” Nenek itu terbengong dan tertawa meminta maaf mengatakan dia tidak bisa
berbahasa Inggris dalam bahasa Jepang yang saya tidak mengerti. Tidak kehabisan
akal, saya menunjuk dirinya, “you?”, lalu mengangkat satu jari saya, “alone?”
Haii’, nenek itu mengerti dan mengiyakan. Sisa malam itu saya habiskan dengan
mengobrol dengannya. Dengan beberapa kata bahasa Inggris dan banyak bahasa
tarzan, nenek bercerita bahwa dia ke Kyoto untuk mendaki gunung dan akan
kembali ke Tokyo menggunakan bus yang akan berangkat jam 10 malam nanti. Saya
menggelengkan kepala kagum dengan ceritanya, di usia yang senja, dengan badan
mungil yang mulai bungkuk, dia masih sanggup naik gunung dan pergi dari Tokyo
ke Kyoto sendirian. Nenek balas bertanya negara asal saya dan alasan saya bertandang
ke Jepang. “To meet you,” jawab saya bersemangat dan nenek tertawa
mendengarnya. Saya juga bercerita bahwa hari ini saya baru mengunjungi Nara dan
kelelahan karena terlalu banyak mendaki dan jalan kaki. Saya juga meminta
diajari berhitung 1 – 10 dalam bahasa Jepang olehnya. Nenek bertanya saya sudah
mencoba makanan apa saja di Jepang dan kesulitan menjelaskan kalau saya tidak
dapat mengkonsumsi sembarang makanan karena saya seorang muslim. Rasanya menyenangkan
berdialog dengan nenek. Dia ramah, ingin membantu, memiliki rasa ingin tahu
yang besar, hangat, dan walau terkendala bahasa dia mencoba sebaik mungkin
untuk mengerti ucapan saya seperti saya berusaha sebaik mungkin mengerti
perkataannya. Saya memutuskan untuk menemani nenek mengobrol sampai tiba
waktunya dia berangkat ke terminal bus. Percakapan dengan nenek ini akan
menjadi cerita perjalanan lain untuk disimpan dalam memori. Sebelum berpisah dengan
nenek, dia memberi saya kue yang sangat dia suka. Saya tidak memotret dia, saya
ingin mengenang dia dalam memori. Dan lambaian tangan nenek yang mengucap
selamat tinggal di teras hostel menutup hari kedua saya di Jepang.
Notes:
- Kondisi jalan di Nara berbukit-bukit
dan menanjak, siapkan kaki untuk mendaki
- Walau dapat ditempuh dengan
berjalan kaki, nyatanya jarak tempat wisata Nara antara satu dan lainnya cukup
berjauhan. Jangan terlalu ambisius merancang itinerary, kamu akan terfokus
mengejar tempat wisata yang harus dikunjungi dan malah lupa untuk menikmati
sejenak tempat yang sedang dikunjungi. Hal-hal kecil yang terasa tidak penting dapat
menambah cerita perjalanan asal kamu menghargai setiap remahnya
Itinerary:
Karena kehilangan contekan
itinerary, maka susunan tempat wisata saya di Nara sedikit berantakan:
Kintetsu Nara station –
Todaiji temple (Nandaimon gate, Daibutsu-den, Nigatsu-do hall) – Kasuga Taisha –
Mount Wakakusayama – Yoshikien Garden – Kintetsu Nara station – Kyoto
Itinerary awal saya:
Kintetsu Nara Station – Kofukuji Temple – Yoshikien Garden – Todaiji
(Daibutsu-den Hall, Nandaimon Gate, Nigatsu-do hall, Sangatsu-do hall) – Kasuga
Taisha – Naramachi Koshi-no-le – Narawachi - Sarusawa Pond – Kinsetsu Nara
station – Kyoto Station
Naramachi: Kota tua
Nara yang dulunya kawasan pemukiman pedagang
Naramachi Koshi-no-le (free, close
on Monday, Hours 9.00 - 17.00): Rumah
pedagang yang dibuka untuk umum
Sarusawa Pond (free): Popular
viewing spot for Kofukuji temple. Pagoda lima lantai Kofukuji temple terefleksi di air kolam
Rincian biaya
Sarapan
sushi Family Mart: 399 yen
Kereta Shinsaibashi
– Namba: 180 yen
Tiket
kereta Osaka – Nara: 620 yen
Sewa loker:
500 yen
Daibutsu-den:
500 yen
Makan
siang sushi Family Mart: 298 yen
Tiket
kereta Nara- Kyoto: 620 yen
Hostel
Kyoto Hana Hostel: 5.600 yen (Deluxe 8 bed mixed dorm per malam 2.800 yen)
Total:
8.717 yen