Selasa, 02 Agustus 2016

Kyoto: Dari Arashiyama Ke Higashiyama.

Saat mengunjungi Kyoto kita akan dihadapkan pada banyaknya pilihan kuil untuk disambangi. Sialnya adalah kebanyakan kuil di Kyoto tersebar di beberapa area yang berbeda sehingga menghabiskan cukup banyak waktu untuk berpindah antara satu dan lain kuil. Saran saya, jika hanya memiliki waktu kunjungan yang singkat pilihlah baik-baik kuil yang ingin dikunjungi karena setiap kuil memiliki karakteristik dan keunikan yang berbeda. 

Waktu yang saya miliki di Kyoto hanya dua hari dan dalam dua hari ini itinerary saya terbilang cukup padat. Resepsionis hostel sampai menggelengkan kepalanya melihat itinerary saya, entah karena terlihat terlalu ambisius atau tidak yakin saya dapat mengunjungi semua tempat dalam list tersebut. Oh ya, seperti ucapan teman Indonesia saya di Osaka Hana Hostel, dengan mudah saya bertemu dengan sesama orang Indonesia di Kyoto Hana Hostel. Hostel ini seperti menjadi pilihan pertama backpacker asal Indonesia yang berkunjung ke Kyoto. Namun entahlah, walau sama-sama berasal dari negara yang sama kami seolah enggan berbincang satu sama lain. Semacam berbincang dengan orang lain dari negara yang sama sekali berbeda akan jauh lebih menarik.

Hari pertama di Kyoto akan saya habiskan dengan mengunjungi area Arashiyama dan Higashiyama. Beberapa tempat wisata berkumpul di kedua area ini sehingga memungkinkan saya untuk mengunjungi beberapa tempat wisata sekaligus. Pagi-pagi sekali saya sudah berjalan ke Kyoto Station dan mendapat serangan rush hour oleh orang-orang yang berjalan terburu-buru menuju tempat kerja. Dalam menghadapi rush hour seperti ini biasanya saya membiarkan diri terbawa arus manusia dan sebisa mungkin tidak menghalangi alur yang tercipta. Setelah arus manusia mereda atau saya dapat menemukan celah yang tidak terlalu penuh saya baru mencari petunjuk dimana lokasi saya berada dan berjalan menuju platform stasiun yang seharusnya. Sebenarnya dengan cara seperti ini saya jadi harus berbalik menyusuri jalan sebelumnya karena ternyata saya salah jalan atau salah belok, namun saya lebih memilih terbawa arus dan sedikit tersasar daripada menghalangi orang yang terburu-buru hanya karena saya kesulitan mencari arah.

Menuju Arashiyama sebenarnya dapat menggunakan bus, di hostel tadi saya sudah membeli Kyoto Bus Pass seharga 500 Yen yang dapat dipakai seharian penuh, namun saya lebih memilih menggunakan kereta untuk menghemat waktu. Oh ya, tarif bus dalam central Kyoto flat rate adalah 230 Yen. Pemakaian Kyoto Bus Pass ini baru akan “impas” jika kita menggunakan bus paling tidak 3 kali. Walau kemungkinan pemakaian Kyoto Bus Pass saya tidak akan “impas,” saya lebih memilih menggunakan kartu ini untuk memudahkan membayar ongkos bus. Mengeluarkan uang kecil sebanyak 230 Yen kadangkala dapat menjadi merepotkan.

Kembali ke Kyoto Station, saya mengikuti papan petunjuk menuju jalur JR Sanin Main Line. Sesampainya di peron yang dimaksud, saya dihadapkan pada tiga jalur kereta. Satu diantaranya terlihat sudah sangat penuh dan akan berangkat. Nekat, saya menghampiri kereta tersebut dan bertanya terbata-bata pada petugas yang berdiri di sebelah ruang masinis, “Saga Arashiyama station?” Petugas itu membenarkan dan memberi isyarat agar saya cepat masuk kereta. Saya pikir apalah susahnya menjejalkan diri masuk ke dalam kereta yang penuh sesak, toh saya sering mempraktekkan hal itu di kereta Commuter Line Jabodetabek. Nyatanya saya salah! Selain cukup sulit memilih gerbong yang kira-kira masih bisa menyelipkan diri, saat akan menyelipkan diri saya dihantam kekuatan dorongan dari segala arah yang melesakkan tubuh. Umpel-umpelan di Commuter Line sih nggak ada apa-apanya dengan apa yang saya alami saat itu. Untungnya lewat dua stasiun penumpang yang berpenampilan seperti pekerja kantoran turun dari kereta, menyisakan penumpang yang mayoritas adalah turis menuju Arashiyama.

Setibanya di Saga Arashiyama station, saya (lagi-lagi) kebingungan mencari arah. Mengikuti arus turis Kaukasian saya malah tiba di sebuah bangunan untuk membeli tiket kereta lainnya. Fix saya salah pilih arus. Akhirnya saya keluar stasiun dan mengikuti arus manusia lain yang sudah tidak terlalu ramai. Jalur pejalan kaki yang saya lalui sangat nyaman dan udara terasa sangat sejuk, puncak gunung berwarna kehijauan menjadi latar di kejauhan. Di tiang-tiang listrik beberapa dahan pohon dengan daun kemerahan diselipkan seolah menyambut musim gugur yang akan datang. Kanan kiri jalan dipenuhi rumah penduduk berukuran mungil dan kedai makanan maupun minuman yang mengambil tempat di tingkat pertama rumah. Setelah beberapa menit berjalan saya menemukan papan petunjuk menuju Tenryuji Temple dan Togetsukyo Bridge, dua tempat yang ada dalam itinerary saya. Oke, kali ini saya nggak nyasar.


Dahan pohon di tiang lampu menyambut musim semi

Tenryuji Temple (fee 500 yen (extra 100 yen untuk masuk dalam bangunan kuil), no closing days, hours 08.30 – 17.30, 5 – 10 minutes walk from JR Saga arashiyama station)
Saya sampai di Tenryuji Temple terlebih dahulu. Kalimat “A United Nations World Heritage Site” tertera di papan yang terpasang di pintu masuk. Tenryuji Temple masuk dalam lima besar Zen Temples terbaik di Kyoto, Tenryuji juga tercatat sebagai kuil terbesar dan impresif di Arashiyama. Saya pribadi tidak terlalu mengerti elemen “Zen Temples,” saya lebih tergelitik oleh rasa penasaran untuk melihat seperti apa tampilan lima besar Zen Temples terbaik di Kyoto. Is it THAT good?

Happy family

Tenryuji Temple

Pohon-pohon besar yang menaungi perjalanan dari pintu masuk menuju Tenryuji Temple sangat memanjakan mata. Kebanyakan sudah berubah warna menjadi kekuningan dengan semburat merah tersembul di pucuk pepohonan. Bangunan Tenryuji Temple sendiri terlihat sangat elegan dalam kesederhanaannya. Saya membayar 500 Yen dan masuk melalui pintu samping menuju taman. Biaya 500 Yen rasanya langsung terbayar saat saya melihat sekilas gambaran taman yang terbingkai melalui pintu geser yang terbuka lebar di sisi lain bangunan. Tak sabar saya mengitari bangunan kuil untuk melihat taman dengan lebih jelas. Dan disanalah, sebuah zen garden paling indah dan sempurna yang pernah saya lihat. Semua elemen seakan mencipta harmoni, dibingkai warna-warni musim gugur dan langit biru, terefleksi sempurna di atas kolam yang membatasi.

Zen garden 




Saya kemudian sibuk memotret, berusaha mengabadikan pemandangan yang saya lihat dalam slide kamera. Kesibukan saya terinterupsi oleh colekan di bahu, seorang anak usia SMP meminta tolong untuk dipotret. Dengan senang hati saya membantu dan mereka membuat tanda V saat dipotret. Saya selalu mengira orang Jepang sungkan meminta bantuan pada orang asing karena kendala bahasa, anak-anak SMP ini mematahkan pendapat saya. Mereka bahkan balik membantu saya mengambil potret diri. Berinteraksi dengan masyarakat lokal, sekecil dan sesederhana apapun bentuknya, memang selalu menyenangkan.



Terdapat jalur pejalan kaki untuk mengitari zen garden ini. Setiap sudut taman menawarkan pemandangan dan tetumbuhan yang berbeda, ada yang hanya diisi dengan pohon tinggi dengan daun yang mulai meranggas, kolam kecil yang dipenuhi uang koin tempat pengunjung melontarkan harapan mereka, dan taman bunga dengan warna-warni cerah. Rasanya sangat tenang dan menyenangkan. Walau awan dengan zen temples, saya harus mengakui kalau Tenryuji Temple memang layak menjadi lima yang terbaik.

Daun maple yang (sayangnya) masih hijau 




Puas mengagumi bagian kebun saya jadi penasaran dengan isi bangunan Tenryuji Temple, jadilah saya rela menambah 100 Yen untuk menjejakkan kaki di dalam bangunan. Sebelum memasuki bangunan, alas kaki harus dilepas dan disimpan di kotak sepatu yang tersedia. Seluruh ruangan dalam Tenryuji Temple ditutupi oleh tatami yang terasa empuk dan sejuk, kontras dengan udara luar ruangan yang mulai panas seiring dengan teriknya matahari. Tidak seperti bagian taman yang begitu impresif, tidak banyak yang dapat dilihat di dalam bangunan Tenryuji Temple.

Lantai tatami di bagian dalam Tenryuji Temple

Togetsukyo Bridge (Dari gerbang masuk Tenryuji Temple tinggal belok kanan)
Beranjak dari Tenryuji Temple saya menuju Togetsukyo Bridge yang menjadi landmark Arashiyama. Sejatinya jembatan kayu yang berusia lebih dari 400 tahun ini membentang diatas Katsura River dengan latar belakang pegunungan Arashiyama. Pemandangan pegunungan Arashiyama akan berbeda mengikuti musimnya. Sayangnya saat saya kesana musim gugur belum mencapai puncaknya sehingga pegunungan Arashiyama masih terlihat hijau, padahal pegunungan Arashiyama merupakan salah satu tempat terbaik untuk melihat warna-warni musim gugur.

Pegunungan Arashiyama  

 Togetsukyo Bridge

Selain dipenuhi pengunjung, Togetsukyo Bridge juga semarak dengan banyaknya penarik rickshaw. Area Arashiyama memang tidak terlalu luas tapi kalau jalan kaki bikin gempor juga. Jika memiliki budget ekstra, rickshaw dapat menjadi alternatif berkendara di Arashiyama.

Antri

Not quite danceing tree

Setelah menyusuri jembatan kayu ini rencananya saya hendak menuju bamboo grooves. Hasil bertanya penarik rickshaw yang tidak bisa berbahasa Inggris, saya harus kembali ke ujung jembatan yang satunya lagi kemudian berbelok ke kiri. Sesampainya di ujung jembatan, saya berbelok ke kiri dan menyusuri Katsura River yang terlihat tenang. Rasanya adem banget melihat sungai di kaki gunung Arashiyama ini. Warnanya jernih cenderung turquoise. Terdapat penyewaan perahu untuk menyusuri sungai juga. Setelah beberapa lama berjalan saya baru sadar, kok makin sepi dan nggak banyak orang, ya? Saya musti balik ke Togetsukyo Bridge atau tetap lanjut di jalur ini? Papan petunjuk yang saya temukan memperlihatkan jalur yang masih saya tempuh menuju bamboo grooves, yang terlihat menanjak, berkelak-kelok, dan jauuuhh serta minim pejalan kaki. Akhirnya saya kembali ke Togetsukyo Bridge dan bertanya pada penarik rickshaw lagi. Ternyata saya harus berjalan kembali menuju Tenryuji Temple, beberapa meter melewati Tenryuji Temple ada gang kecil sempit menuju bamboo grooves. Tidak perlu takut tersasar, tinggal ikuti arus pengunjung dan penarik rickshaw yang mayoritas menuju bamboo grooves.

Bamboo Grooves
Bamboo grooves memang menjadi salah satu tempat ikonik Jepang. Hanya dengan melihat foto bamboo grooves dengan otomatis seseorang akan mengenali tempat tersebut berada di Jepang. Bamboo gooves sendiri merupakan hutan pohon bambu yang menjulang tinggi dengan rerimbunan terpusat di bagian atas pucuk bambu. Hutan bambu ini berjejer rapat menjadi pagar tanaman alami di kanan kiri jalan. Mencipta sebuah pemandangan yang rasanya “Jepang banget.”

Holding hands 




Berada di dalam bamboo grooves rasanya adeem banget. Sejuk dengan sesekali alunan angin terdengar berhembus di antara dedaunan bambu, dan semuanya buyar seketika oleh seruan dan obrolan kencang “pengunjung dari negara tertentu” yang berteriak-teriak memanggil rombongannya untuk berfoto bersama atau mengobrol dalam volume tinggi. Dibutuhkan kesabaran ekstra untuk memotret di tempat ini, selain karena pengunjungnya memang flooding, setiap beberapa langkah pengunjung akan berhenti untuk berfoto. Saya tidak mau membayangkan penuhnya tempat ini saat hari libur.

Saran saya, jika menemukan spot foto yang menarik jangan dilewatkan karena lintasan bamboo grooves tidak terlalu panjang. Jangan sampai di ujung bamboo grooves kalian belum mendapat foto yang cukup bagus sebagai oleh-oleh perjalanan.

Sagano Scenic Railway (fee 620 yen, hours 09.00 – 16.00, closed on Wednesday)
Di ujung jalan dari bamboo grooves saya mengambil jalur menuju Torokko Arashiyama Station. Dari stasiun kecil ini saya akan melanjutkan perjalanan menggunakan Sagano Scenic Railway menuju Torokko Kameoka station. Lucu rasanya melihat satu stasiun kecil dan mungil yang terpencil di tengah-tengah hutan bambu. Walau demikian stasiun kecil mungil ini tidak pernah sepi penumpang, buktinya saya harus menunggu hampir 1.5 jam untuk menumpang kereta selanjutnya. Di stasiun ini terdapat beberapa kedai makanan untuk makan-makan lucu sambil menunggu kereta. Saya sendiri duduk di salah satu bangku panjang memakan bekal onigiri yang dibeli sebelum berangkat tadi pagi.

Torokko Arashiyama Station

Mendekati waktu kedatangan kereta, seorang petugas memanggil penumpang dan mengarahkan ke peron yang terletak satu tingkat di bawah stasiun. Di karcis yang dibeli sebenarnya terdapat nomor gerbong dan tempat duduk penumpang, namun kenyataannya saat kereta datang penumpang langsung naik sesuai kehendak hatinya, apalagi pengunjung dalam rombongan tidak mau berada di gerbong terpisah. Akhirnya banyak penumpang yang tidak dapat duduk.


Small talk

Gerbong kereta yang saya naiki beratap transparan tanpa jendela di sisi kanan kirinya sehingga saya dapat melihat pemandangan dengan leluasa. Saat kereta mulai bergerak dan pemandangan sungai Hozugawa terlihat di sisi kiri kereta, semua penumpang langsung bergerak ke sisi kiri kereta. Dan percayalah, susah banget berebutan memotret dengan penumpang lain yang wilayah kekuasaannya tidak mau diganggu gugat. Tapi ternyata Tuhan Maha Adil, tak lama kemudian sisi kiri kereta berganti tebing-tinggi-flat-nggak-ada-apa-apanya dan sisi kanan kereta terlihat sungai Hozugawa yang membelah pegunungan. Jadi, intinya sabar menunggu giliran memotret karena akan tiba waktunya kamu mendapat jatah pemandangan menakjubkan untuk dinikmati.

Rebutan motret, ribet pake banget!




Selain “menjual” sungai Hozugawa sebagai pemandangan utama, jalur kereta yang dilalui Sagano Scenic Railway menembus pegunungan melalui terowongan dan melintasi sungai di atas jembatan. Pemandangan cantik, kereta tua, jalur yang lama tidak difungsikan, seakan membangkitkan romansa Sagano Scenic Railway.

Mendekati Torokko Kameoka station, masinis menggunakan mic mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Mungkin dia bercerita sejarah Sagano Scenic Railway, kota Kameoka, sungai Hozugawa, atau kisah percintaannya. Entahlah, yang pasti pada akhir cerita dia bernyanyi dengan kepercayaan diri tinggi dan diakhiri tepuk tangan penumpang.

Sesampainya di Torokko Kameoka station saya akan melanjutkan perjalanan kembali ke Kyoto menggunakan kereta JR. Untuk menuju stasiun Umahori saya harus keluar dari Torokko Kameoka station dan menyusuri jalan raya lebar yang sepi kendaraan. Sepanjang jalan dari Torokko Kameoka station menuju stasiun Umahori saya dimanjakan pemandangan persawahan yang luas dengan langit biru cerah. Dari stasiun Torokko Kameoka saya menggunakan JR Sagano Line untuk kembali ke Kyoto station.

Kameoka



Dari Kyoto Station saya akan menggunakan bus menuju area Higashiyama. Terminal bus terletak persis di depan pintu utama Kyoto station. Awalnya saya bingung, bagaimana cara saya mencari bus yang akan saya tumpangi. Ternyata mudah saja, terminal bus yang berbentuk memanjang itu dibagi menjadi beberapa peron saya hanya harus mencari nomor bus sesuai dengan peronnya. Peron bus nomor 100 dan 206 tujuan Kiyomizudera terlihat telah dipadati penumpang.

Sedikit info untuk cara menggunakan bus di Kyoto: naik bus dari pintu yang berada di tengah. Jika membayar ongkos tunai dan tidak menggunakan Kyoto Bus Pass ambil secarik kecil kertas dari mesin yang berada di dekat pintu tengah, kertas ini menunjukkan zona area tempat kita memulai perjalanan (zona 1, 2, atau 3), ongkos akan bervariasi sesuai zona perjalanan. Saat akan turun bus, kertas kecil ini ditunjukkan kepada supir bus dan penumpang membayar ongkos sesuai jauhnya zona perjalanan. Jika menggunakan Kyoto Bus Pass, penumpang tinggal memasukkan Kyoto Bus Pass pada mesin pembayar yang berada di sebelah supir bus. Tanggal akan dicetak pada Kyoto Bus Pass sebagai konfirmasi bahwa kartu tersebut telah digunakan pada tanggal tersebut.Untuk penggunaan bus selanjutnya penumpang tinggal menunjukkan Kyoto Bus Pass pada supir dan tidak perlu memvalidasi ulang. Harap diingat, Kyoto Bus Pass hanya berlaku selama satu hari. Jangan bandel menggunakan Kyoto Bus Pass yang telah kadaluarsa.

Bus yang beroperasi di Kyoto sangat ramah turis. Monitor kecil yang berada di dalam bus tidak hanya menunjukkan nama halte berikutnya, tapi juga informasi tempat wisata yang dapat dicapai dari halte tersebut. Untuk mencapai area Higashiyama saya turun di halte Kiyomizu-michi. Dari halte menuju Kiyomizudera Temple dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di sepanjang jalan menuju Kiyomizudera Temple terdapat banyak tempat penyewaan kimono, harga sewa bervariasi mulai dari 3.500 Yen (belum termasuk pajak). Awalnya saya berniat untuk menyewa kimono seharian penuh, tapi tidak jadi karena itinerary saya yang terlalu padat. Jika kalian ingin menyewa kimono, saya sarankan untuk menghabiskan waktu seharian penuh di area Higashiyama. Pagi hari saat tempat penyewaan kimono buka kalian bisa puas memilih kimono yang ingin digunakan, kemudian mengelilingi area Kiyomizudera hingga area Gion, dan sore harinya kembali ke tempat penyewaan untuk mengembalikan kimono.

Penyeberangan jalan dari halte Kiyomizu-michi

Dress up, ladies!

Used kimono only 1.000 Yen

Kiyomizudera Temple (fee 300 yen, dari Kyoto Station naik bus 206 atau 100 turun di halte Kiyomizu-michi)
Sesampainya saya di Kiyomizudera Temple, lautan manusia telah memenuhi kuil itu. Dari anak sekolah dengan bermacam seragam berbeda, pengunjung berkimono, sampai solo traveler seperti saya yang kesulitan mencari jalan. Di bagian utama Kiyomizudera Temple saya beristirahat sejenak sambil memperhatikan kesibukan sekitar. Karena letak Kiyomizudera Temple yang berada di atas perbukitan, maka kita dapat melihat siluet kota Kyoto dari kejauhan. Dari bagian atas bangunan tampak puncak pepohonan yang mulai berubah warna, menyembunyikan konstruksi penopang Kiyomizudera Temple dan membuat ilusi seakan kuil ini melayang di udara. Saya pribadi sangat kagum dengan arsitektur Kiyomizudera Temple yang menggunakan kayu untuk keseluruhan konstruksi bagunannya. Dikarenakan usia, Kiyomizudera Temple sedang mengalami restorasi di beberapa bagian. Bangunan kuil yang menyerupai panggung yang menjorok di tepi bukit juga akan mengalami restorasi, jadi ada baiknya mengecek bagian mana yang sedang direstorasi sebelum mengunjungi Kiyomizudera Temple.

Kiyomizudera Temple

Agak serem liat orang sebanyak itu di beranda Kiyomizudera Temple

Turun dari Kiyomizudera Temple terdapat deretan kedai makan, awalnya saya tidak berminat mampir namun iseng-iseng saya mengecek menu yang tertera. Kebetulan ada kedai makan yang khusus menjual udon dan harganya tidak terlalu mahal. Jadilah saya beristirahat sekaligus makan siang. Rasanya nikmat banget, makan udon yang menjadi comfort food saya selama di Jepang setelah seharian jalan kaki. Saat makan saya melihat seorang pelanggan yang meminta diisikan botol minumnya sebelum dia meninggalkan kedai, kebetulan botol minum saya juga sudah kosong. Dengan bermodal “sumimasen,” senyum polos tak tahu malu, dan mengacungkan botol minum, pelayan mengerti permintaan saya dan botol minum saya diisi penuh. Lumayan.

comfort food!

Tidak jauh dari kedai makan terdapat otowa waterfall yang merupakan kolam dengan tiga pancuran air.  Nama Kiyomizudera sendiri berasal dari air ini karena secara harfiah Kiyomizu adalah air yang murni. Air dari ketiga pancuran memiliki khasiatnya masing-masing; untuk kesehatan, umur panjang, dan sukses di sekolah. Diperlukan kesabaran untuk mencicipi air otowa waterfall karena antrian pengunjung cukup mengular panjang di sekitar kolam tersebut. Air pancuran diambil menggunakan gayung bergagang panjang, air tidak langsung diminum dari gayung melainkan dituang terlebih dulu ke telapak tangan baru diminum. Beberapa orang tampak mencampur ketiga air pancuran dalam gayung baru meminumnya. Sayangnya, cara tersebut salah karena seharusnya pengunjung memilih salah satu air dari pancuran, meminum ketiganya mencerminkan ketamakan yang membuat tidak terkabulnya permintaan.

Antrian di otowa waterfall dilihat dari atas. Yes, it is THAT long.


Sannenzaka dan Ninnenzaka
Beranjak otowa waterfall saya kembali ke halaman muka Kiyomizudera Temple yang memiliki tiga jalan menurun. Dalam perjalanan dari halte Kiyomizu-michi tadi saya menggunakan jalan paling kiri karena jalan tersebut paling sepi dan tidak dipenuhi lalu lalang kendaraan. Jalan tengah juga mengarah kembali ke halte Kiyomizu-michi namun jalan ini lebih ramai dengan pejalan kaki karena banyaknya toko di kanan kiri jalan. Jalan paling kanan mengarah ke Sannenzaka adalah tujuan saya selanjutnya. Jangan takut tersasar saat mencari jalan menuju Sannenzaka, pastikan saja jalan yang diambil adalah jalan menurun yang berada paling kanan dan ramai oleh pejalan kaki. Selain itu, tidak jauh berjalan akan sampai ke tangga Sannenzaka yang legendaris itu.  

 Lautan manusia, literally. 

 The famous Sannenzaka stairways yang tidak pernah sepi


Sannenzaka dan Ninnenzaka dulunya merupakan area perdagangan yang berfungsi untuk melayani para peziarah yang banyak berkunjung ke kuil di area sekitarnya. Sekarang Sannenzaka dan Ninnenzaka dipenuhi oleh toko souvenir dan kedai makanan di kanan kirinya. Walau demikian, romansa Jepang tempo dulu terasa kental di daerah ini, dengan jalanan yang di-paving menggunakan batu, bentuk bangunan dua lantai yang didominasi kayu, ditambah pejalan kaki menggunakan kimono. Sungguh ini adalah tempat yang tepat untuk menyalurkan hobi dipotret. *nelangsa nggak bisa dipotret karena solo traveler*




Selesai belanja oleh-oleh

Yasaka Shrine or Gion Shrine (Free, no closing days, always open)
Di ujung Ninnenzaka terdapat Yasaka Shrine atau dikenal juga dengan nama Gion Shrine. Kuil ini merupakan salah satu yang terkenal di Kyoto dan terletak diantara distrik Gion dan Higashiyama. Tepat di depan kuil terdapat dance stage dengan hiasan ratusan lentera yang dinyalakan saat malam hari. Saya sampai di Yasaka Shrine menjelang sore, beberapa pengunjung yang datang masih menyempatkan diri berdoa sementara penjaga kuil menundukkan kepala sebagai penghormatan di depan kuil sebelum pulang. Udara perlahan mulai dingin sementara langit menggelap. Saya bertahan sebentar lagi untuk melihat lampu lentera dinyalakan.

 
Lampion mulai menyala

Dari Yasakan Shrine sebenarnya sudah dekat sekali dengan Gion. Namun kaki saya sudah sangat lelah sehingga saya tidak jadi ke Gion dan mengantri bus di halte terdekat. Bus nomor 100 atau 206 mengantarkan saya kembali ke Kyoto Station, walau lelah saya tetap memaksakan diri berjalan-jalan sebentar di Kyoto Station.

Gion dari kejauhan

Kyoto Station
Walau fungsi utamanya sebagai stasiun, Kyoto Station tidak hanya dilengkapi shopping mall, restoran, department store, tapi juga ruang publik tempat masyarakat dapat melepaskan diri dari hiruk pikuk keramaian. Sungguh saya iri, pemerintah Kyoto begitu cerdasnya menyatukan kebutuhan transportasi, elemen komersial, dan kebutuhan ruang publik pada satu tempat.

Memasuki pintu utama Kyoto Station saya berbelok ke kanan menaiki eskalator yang mengantarkan saya ke Daikidan atau the great staircase. Pada siang hari tangga ini hanya berupa tangga biasa yang terlihat menarik karena ukuran gigantisnya. Yang saya baru ketahui, pada malam hari ribuan lampu LED yang ditaman pada anak tangga akan menyala dan membentuk animasi sederhana. Kebetulan saat itu adalah bulan Oktober maka tema yang ditampilkan adalah Halloween. Sungguh saya kagum, terpana, sekaligus iri melihat bagaimana sebuah ruang publik yang tampak dingin dan kaku pada siang hari tampak sangat menawan di malam hari.

Video saya kehapus, jadi pinjem dari Youtube. 


Di ujung Daikidan terdapat Happy Terrace yang merupakan pocket garden yang ditanami bambu. Walau kecil namun oase taman ini cukup menenangkan hati. Happy terrace menempati lantai teratas, di sekeliling taman dipasang tembok kaca sehingga saya dapat bebas melihat pemandangan kota Kyoto. Pemandangan inilah yang membuat saya memaksakan diri datang ke Kyoto Station walau kaki sudah teramat lelah. Saya penasaran dengan pemandangan Kyoto saat malam! Dan sayangnya saya harus kecewa. Kyoto tidak gemerlap kala malam, mungkin karena landskap kota lebih didominasi perbukitan dan bangunan tinggi menjadi minoritas.

Dari Happy Terrace saya ke lantai 11 untuk mengakses skyway tunnel yang terbentang 45 meter di atas central hall Kyoto Station. Dari terowongan ini saya dapat melihat rumitnya rangka-rangka penyokong Kyoto Station dan luasnya Kyoto Station dilihat dari atas sini. Lagi-lagi saya iri, bagaimana sebuah stasiun dapat dirancang sedemikian megah dan menjadi kebanggaan masyarakatnya.


At the end of the day, this is my silly pose in front of Kyoto Tower. 


Itinerary
Arashiyama (Tenryuji Temple, Togetsukyo Bridge, Bamboo Grooves, Sagano Scenic Railway) – Higashiyama (Kiyomizudera Temple – Otowa Waterfall – Sannenzaka dan Ninnenzaka, Yasaka Shrine) – Kyoto Station

Estimasi biaya
Bekal onigiri                                : 410 yen
Kyoto Bus Pass 2 @500 Yen       : 1.000 yen
Tiket JR Kyoto - Arashiyama      : 240 yen
Tenryuji Temple                           : 600 yen
Sagano Scenic Railway                : 620 yen
Tiket JR Umahori - Kyoto            : 320 yen
Kiyomizudera temple                   : 300 yen
Makan siang udon                        : 600 yen
Total                                              : 4.090 yen

2 komentar:

  1. Makasih postingannya mbak Rossa. Saya jadi ingat hari hari yang saya lewatkan menjadi backpacker di Kyoto. Saya malah pernah nginap di Kyoto Station karena kehabisan penginapan, di saat lagi musim dingin dan turun salju. Beberapa tempat di atas pernah saya kunjungi dan membuat saya pengen ke Jepang lagi.

    Ayo rajin rajin postingnya Bu Rossa. Masa harus nunggu jatuh cinta dulu baru nulis blog #kabur sebelum ditimpuk

    BalasHapus
  2. Worthed banget ya Mba desek2an di kereta dan salah2 arahnya, pemandangannya bagus banget dan tempat2 iconicnya berhasil dikunjungi semua. :D

    BalasHapus