Saat
mengunjungi Kyoto kita akan dihadapkan pada banyaknya pilihan kuil untuk
disambangi. Sialnya adalah kebanyakan kuil di Kyoto tersebar di beberapa area
yang berbeda sehingga menghabiskan cukup banyak waktu untuk berpindah antara
satu dan lain kuil. Saran saya, jika hanya
memiliki waktu kunjungan yang singkat pilihlah baik-baik kuil yang ingin dikunjungi karena setiap kuil
memiliki karakteristik dan keunikan yang berbeda.
Waktu
yang saya miliki di Kyoto hanya dua hari dan dalam dua
hari ini itinerary saya terbilang cukup padat. Resepsionis hostel sampai
menggelengkan kepalanya melihat itinerary saya, entah karena terlihat terlalu
ambisius atau tidak yakin saya dapat mengunjungi semua tempat dalam list
tersebut. Oh ya, seperti ucapan teman Indonesia saya di Osaka Hana Hostel,
dengan mudah saya bertemu dengan sesama orang Indonesia di Kyoto Hana Hostel.
Hostel ini seperti menjadi pilihan pertama backpacker asal Indonesia yang
berkunjung ke Kyoto. Namun entahlah, walau sama-sama berasal dari negara yang
sama kami seolah enggan berbincang satu sama lain. Semacam berbincang dengan
orang lain dari negara yang sama sekali berbeda akan jauh lebih menarik.
Hari
pertama di Kyoto akan saya habiskan dengan mengunjungi area Arashiyama dan
Higashiyama. Beberapa tempat wisata berkumpul di kedua area ini sehingga
memungkinkan saya untuk mengunjungi beberapa tempat wisata sekaligus. Pagi-pagi
sekali saya sudah berjalan ke Kyoto Station dan mendapat serangan rush hour
oleh orang-orang yang berjalan terburu-buru menuju tempat kerja. Dalam menghadapi rush hour seperti ini biasanya saya membiarkan diri terbawa arus manusia dan sebisa
mungkin tidak menghalangi alur yang tercipta. Setelah arus manusia mereda atau
saya dapat menemukan celah yang tidak terlalu penuh saya baru mencari petunjuk
dimana lokasi saya berada dan berjalan menuju platform stasiun yang seharusnya.
Sebenarnya dengan cara seperti ini saya jadi harus berbalik menyusuri jalan
sebelumnya karena ternyata saya salah jalan atau salah belok, namun saya lebih memilih terbawa
arus dan sedikit tersasar daripada menghalangi orang yang terburu-buru hanya
karena saya kesulitan mencari arah.
Menuju
Arashiyama sebenarnya dapat menggunakan bus, di hostel tadi saya sudah membeli
Kyoto Bus Pass seharga 500 Yen yang dapat dipakai seharian penuh, namun saya lebih memilih menggunakan kereta untuk menghemat
waktu. Oh ya, tarif bus dalam central Kyoto flat rate adalah 230 Yen. Pemakaian
Kyoto Bus Pass ini baru akan “impas” jika kita menggunakan bus paling tidak 3
kali. Walau kemungkinan pemakaian Kyoto Bus Pass saya tidak akan “impas,” saya lebih memilih menggunakan kartu ini untuk memudahkan
membayar ongkos bus. Mengeluarkan uang kecil
sebanyak 230 Yen kadangkala dapat menjadi merepotkan.
Kembali
ke Kyoto Station, saya mengikuti papan petunjuk menuju jalur JR Sanin Main
Line. Sesampainya di peron yang dimaksud, saya dihadapkan pada tiga jalur
kereta. Satu diantaranya terlihat sudah sangat penuh dan akan berangkat. Nekat,
saya menghampiri kereta tersebut dan bertanya terbata-bata pada petugas yang
berdiri di sebelah ruang masinis, “Saga Arashiyama station?” Petugas itu
membenarkan dan memberi isyarat agar saya cepat masuk kereta. Saya pikir apalah
susahnya menjejalkan diri masuk ke dalam kereta yang penuh sesak, toh saya sering
mempraktekkan hal itu di kereta Commuter Line Jabodetabek. Nyatanya saya salah!
Selain cukup sulit memilih gerbong yang kira-kira masih bisa menyelipkan diri,
saat akan menyelipkan diri saya dihantam kekuatan dorongan dari segala arah
yang melesakkan tubuh. Umpel-umpelan di Commuter Line sih nggak ada apa-apanya
dengan apa yang saya alami saat itu. Untungnya lewat dua stasiun penumpang yang
berpenampilan seperti pekerja kantoran turun dari kereta, menyisakan penumpang
yang mayoritas adalah turis menuju Arashiyama.
Setibanya
di Saga Arashiyama station, saya (lagi-lagi) kebingungan mencari arah.
Mengikuti arus turis Kaukasian saya malah tiba di sebuah bangunan untuk membeli
tiket kereta lainnya. Fix saya salah pilih arus. Akhirnya saya keluar stasiun
dan mengikuti arus manusia lain yang sudah tidak terlalu ramai. Jalur pejalan
kaki yang saya lalui sangat nyaman dan udara terasa sangat sejuk, puncak gunung
berwarna kehijauan menjadi latar di kejauhan. Di tiang-tiang listrik beberapa dahan pohon dengan daun
kemerahan diselipkan seolah menyambut musim gugur yang akan datang. Kanan kiri
jalan dipenuhi rumah penduduk berukuran mungil dan kedai makanan maupun minuman yang mengambil tempat di tingkat
pertama rumah. Setelah beberapa menit berjalan saya menemukan papan petunjuk
menuju Tenryuji Temple dan Togetsukyo Bridge, dua tempat yang ada dalam
itinerary saya. Oke, kali ini saya nggak nyasar.
Dahan pohon di tiang lampu menyambut musim semi
Tenryuji
Temple (fee 500 yen (extra 100 yen
untuk masuk dalam bangunan kuil), no closing days, hours 08.30 – 17.30, 5 – 10
minutes walk from JR Saga arashiyama station)
Saya sampai di Tenryuji Temple terlebih dahulu. Kalimat “A United
Nations World Heritage Site” tertera di papan yang terpasang
di pintu masuk. Tenryuji Temple masuk dalam lima besar Zen Temples terbaik di
Kyoto, Tenryuji juga tercatat sebagai kuil
terbesar dan impresif di Arashiyama. Saya pribadi tidak terlalu mengerti elemen “Zen Temples,” saya
lebih tergelitik oleh rasa penasaran untuk melihat seperti apa tampilan lima
besar Zen Temples terbaik di Kyoto. Is it THAT good?
Happy family
Tenryuji Temple
Pohon-pohon
besar yang menaungi perjalanan dari pintu masuk menuju Tenryuji Temple sangat
memanjakan mata. Kebanyakan sudah berubah warna menjadi kekuningan dengan
semburat merah tersembul di pucuk pepohonan. Bangunan Tenryuji Temple sendiri
terlihat sangat elegan dalam kesederhanaannya. Saya membayar 500 Yen dan masuk
melalui pintu samping menuju taman. Biaya 500 Yen rasanya langsung terbayar
saat saya melihat sekilas gambaran taman yang
terbingkai melalui pintu geser yang terbuka lebar di sisi lain bangunan. Tak
sabar saya mengitari bangunan kuil untuk melihat taman dengan lebih jelas. Dan
disanalah, sebuah zen garden paling indah dan sempurna yang pernah saya lihat.
Semua elemen seakan mencipta harmoni, dibingkai warna-warni musim gugur dan
langit biru, terefleksi sempurna di atas kolam yang membatasi.
Zen garden
Saya kemudian sibuk memotret, berusaha mengabadikan pemandangan yang saya lihat dalam
slide kamera. Kesibukan saya terinterupsi oleh colekan di bahu, seorang anak usia SMP
meminta tolong untuk dipotret. Dengan senang hati saya membantu dan mereka
membuat tanda V saat dipotret. Saya selalu
mengira orang
Jepang sungkan meminta bantuan pada orang asing
karena kendala bahasa, anak-anak SMP ini mematahkan pendapat saya. Mereka bahkan balik membantu saya mengambil potret
diri. Berinteraksi dengan masyarakat lokal, sekecil dan sesederhana apapun
bentuknya, memang selalu menyenangkan.
Terdapat jalur pejalan kaki untuk mengitari zen
garden ini. Setiap sudut taman menawarkan
pemandangan dan tetumbuhan yang berbeda, ada yang hanya diisi dengan pohon
tinggi dengan daun yang mulai meranggas, kolam kecil yang dipenuhi uang koin
tempat pengunjung melontarkan harapan mereka, dan taman bunga dengan
warna-warni cerah. Rasanya sangat tenang dan menyenangkan. Walau awan dengan zen temples, saya harus mengakui kalau Tenryuji Temple
memang layak menjadi lima yang terbaik.
Daun maple yang (sayangnya) masih hijau
Puas
mengagumi bagian kebun saya jadi penasaran dengan isi bangunan Tenryuji Temple,
jadilah saya rela menambah 100 Yen untuk menjejakkan kaki di dalam bangunan. Sebelum memasuki bangunan, alas kaki harus dilepas dan
disimpan di kotak sepatu yang tersedia. Seluruh
ruangan
dalam Tenryuji Temple ditutupi oleh tatami yang terasa empuk dan sejuk, kontras dengan udara luar ruangan yang mulai panas
seiring dengan teriknya matahari. Tidak seperti bagian taman yang begitu
impresif, tidak banyak yang dapat dilihat di dalam bangunan Tenryuji Temple.
Lantai tatami di bagian dalam Tenryuji Temple
Togetsukyo
Bridge (Dari gerbang masuk Tenryuji
Temple tinggal belok kanan)
Beranjak
dari Tenryuji Temple saya menuju Togetsukyo Bridge yang menjadi landmark
Arashiyama. Sejatinya jembatan kayu yang berusia lebih dari 400 tahun ini
membentang diatas Katsura River dengan latar belakang pegunungan Arashiyama.
Pemandangan pegunungan Arashiyama akan berbeda mengikuti musimnya. Sayangnya
saat saya kesana musim gugur belum mencapai puncaknya sehingga pegunungan
Arashiyama masih terlihat hijau, padahal pegunungan Arashiyama merupakan salah
satu tempat terbaik untuk melihat warna-warni musim gugur.
Pegunungan Arashiyama
Togetsukyo Bridge
Selain
dipenuhi pengunjung, Togetsukyo
Bridge juga semarak dengan banyaknya penarik rickshaw. Area Arashiyama memang
tidak terlalu luas tapi kalau jalan kaki bikin gempor juga. Jika memiliki
budget ekstra, rickshaw dapat menjadi alternatif berkendara di Arashiyama.
Antri
Not quite danceing tree
Setelah
menyusuri jembatan kayu ini rencananya saya hendak menuju bamboo grooves. Hasil
bertanya penarik rickshaw yang tidak bisa berbahasa Inggris, saya harus kembali
ke ujung jembatan yang satunya lagi kemudian berbelok ke kiri. Sesampainya di
ujung jembatan, saya berbelok ke kiri dan menyusuri Katsura River yang terlihat
tenang. Rasanya adem banget melihat sungai di kaki gunung Arashiyama ini.
Warnanya jernih cenderung turquoise. Terdapat penyewaan perahu untuk menyusuri sungai juga. Setelah beberapa lama berjalan saya baru sadar, kok makin sepi dan
nggak banyak orang,
ya? Saya
musti balik ke Togetsukyo Bridge atau tetap lanjut di jalur ini? Papan petunjuk
yang saya temukan memperlihatkan jalur yang masih saya tempuh menuju bamboo
grooves, yang terlihat menanjak, berkelak-kelok, dan jauuuhh serta minim
pejalan kaki. Akhirnya saya kembali ke Togetsukyo Bridge dan bertanya pada
penarik rickshaw lagi. Ternyata saya harus berjalan kembali menuju Tenryuji
Temple, beberapa meter melewati Tenryuji Temple ada gang kecil sempit menuju bamboo
grooves. Tidak perlu takut tersasar, tinggal ikuti arus pengunjung dan penarik
rickshaw yang mayoritas menuju bamboo grooves.
Bamboo Grooves
Bamboo
grooves memang menjadi salah satu tempat ikonik Jepang. Hanya dengan melihat
foto bamboo grooves dengan otomatis seseorang akan mengenali tempat tersebut
berada di Jepang. Bamboo gooves sendiri merupakan hutan pohon bambu yang menjulang
tinggi dengan rerimbunan terpusat di bagian atas pucuk bambu. Hutan bambu ini berjejer rapat menjadi pagar tanaman
alami di kanan kiri jalan. Mencipta
sebuah pemandangan
yang rasanya “Jepang banget.”
Holding hands
Berada
di dalam bamboo grooves rasanya adeem banget. Sejuk dengan sesekali alunan angin terdengar berhembus di antara dedaunan
bambu, dan semuanya buyar seketika oleh seruan dan obrolan kencang “pengunjung dari negara
tertentu” yang berteriak-teriak
memanggil rombongannya untuk berfoto bersama atau mengobrol dalam volume tinggi. Dibutuhkan kesabaran ekstra untuk memotret di tempat
ini, selain karena pengunjungnya memang flooding, setiap beberapa langkah pengunjung akan berhenti untuk berfoto. Saya tidak mau
membayangkan penuhnya tempat ini saat hari libur.
Saran saya, jika menemukan
spot foto yang menarik jangan dilewatkan karena lintasan bamboo grooves tidak
terlalu panjang. Jangan sampai di ujung bamboo grooves kalian belum mendapat
foto yang cukup bagus sebagai oleh-oleh perjalanan.
Sagano Scenic Railway (fee 620 yen, hours 09.00 – 16.00, closed on Wednesday)
Di
ujung jalan dari bamboo grooves saya mengambil jalur menuju Torokko Arashiyama Station. Dari stasiun
kecil ini saya akan melanjutkan perjalanan menggunakan Sagano Scenic Railway
menuju Torokko Kameoka station. Lucu rasanya melihat satu stasiun kecil dan
mungil yang terpencil di tengah-tengah hutan bambu. Walau demikian stasiun
kecil mungil ini tidak pernah sepi penumpang, buktinya saya harus menunggu
hampir 1.5 jam untuk menumpang kereta selanjutnya. Di stasiun ini terdapat
beberapa kedai makanan untuk makan-makan lucu sambil menunggu kereta. Saya
sendiri duduk di salah satu bangku panjang memakan bekal onigiri yang dibeli
sebelum berangkat tadi pagi.
Torokko Arashiyama Station
Mendekati
waktu kedatangan kereta, seorang petugas memanggil penumpang dan mengarahkan ke
peron yang terletak satu tingkat di bawah stasiun. Di karcis yang dibeli sebenarnya terdapat nomor gerbong dan tempat duduk penumpang, namun kenyataannya saat kereta datang penumpang langsung naik sesuai kehendak hatinya, apalagi
pengunjung dalam rombongan tidak mau berada di gerbong terpisah. Akhirnya banyak penumpang
yang tidak dapat duduk.
Small talk
Gerbong
kereta yang saya naiki beratap transparan tanpa jendela di sisi kanan kirinya
sehingga saya dapat melihat pemandangan dengan leluasa. Saat kereta mulai
bergerak dan pemandangan sungai Hozugawa terlihat di sisi kiri kereta, semua
penumpang langsung bergerak ke sisi kiri kereta. Dan percayalah, susah banget
berebutan memotret dengan penumpang lain yang
wilayah kekuasaannya tidak mau diganggu gugat. Tapi ternyata Tuhan Maha Adil,
tak lama kemudian sisi kiri kereta berganti
tebing-tinggi-flat-nggak-ada-apa-apanya dan sisi kanan kereta terlihat sungai
Hozugawa yang membelah pegunungan. Jadi, intinya sabar menunggu giliran
memotret karena akan tiba waktunya kamu mendapat jatah pemandangan menakjubkan
untuk dinikmati.
Rebutan motret, ribet pake banget!
Selain
“menjual” sungai Hozugawa sebagai pemandangan utama, jalur kereta yang dilalui Sagano Scenic Railway menembus pegunungan
melalui terowongan dan melintasi sungai di atas jembatan. Pemandangan cantik,
kereta tua, jalur yang lama tidak difungsikan, seakan membangkitkan romansa Sagano Scenic Railway.
Mendekati
Torokko Kameoka station,
masinis menggunakan mic mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Mungkin dia
bercerita sejarah Sagano Scenic Railway, kota Kameoka, sungai Hozugawa, atau kisah percintaannya. Entahlah,
yang pasti pada akhir cerita dia bernyanyi dengan kepercayaan diri tinggi dan
diakhiri tepuk tangan penumpang.
Sesampainya
di Torokko Kameoka station saya
akan melanjutkan perjalanan kembali ke Kyoto menggunakan kereta JR. Untuk
menuju stasiun Umahori saya harus keluar dari Torokko Kameoka station dan
menyusuri jalan raya lebar yang sepi kendaraan. Sepanjang jalan dari Torokko
Kameoka station menuju stasiun Umahori saya dimanjakan pemandangan persawahan
yang luas dengan langit biru cerah. Dari stasiun Torokko Kameoka saya
menggunakan JR Sagano Line untuk kembali ke Kyoto station.
Kameoka
Dari Kyoto Station saya akan menggunakan bus menuju area Higashiyama. Terminal bus
terletak persis di depan pintu utama Kyoto station. Awalnya saya bingung,
bagaimana cara saya mencari bus yang akan saya tumpangi. Ternyata mudah saja, terminal bus yang berbentuk memanjang itu dibagi menjadi beberapa peron
saya hanya harus mencari nomor bus sesuai dengan peronnya. Peron bus nomor 100 dan 206
tujuan Kiyomizudera terlihat telah dipadati penumpang.
Sedikit info untuk cara menggunakan bus di Kyoto:
naik bus dari pintu yang
berada di tengah. Jika membayar ongkos tunai dan tidak menggunakan Kyoto Bus
Pass ambil secarik kecil kertas dari mesin yang berada di
dekat pintu tengah, kertas ini menunjukkan zona area tempat kita memulai perjalanan (zona 1, 2, atau
3), ongkos akan bervariasi sesuai zona perjalanan. Saat akan turun bus, kertas
kecil ini ditunjukkan kepada supir bus dan penumpang membayar ongkos sesuai
jauhnya zona perjalanan. Jika menggunakan Kyoto Bus Pass, penumpang tinggal
memasukkan Kyoto Bus Pass pada mesin pembayar yang berada di sebelah supir bus.
Tanggal
akan dicetak pada Kyoto Bus Pass sebagai konfirmasi bahwa kartu tersebut telah
digunakan pada tanggal tersebut.Untuk penggunaan bus selanjutnya penumpang
tinggal menunjukkan Kyoto Bus Pass pada supir dan tidak perlu memvalidasi
ulang. Harap diingat, Kyoto Bus Pass hanya berlaku selama satu hari. Jangan
bandel menggunakan Kyoto Bus Pass yang telah kadaluarsa.
Bus yang
beroperasi di Kyoto sangat ramah turis. Monitor kecil yang berada di dalam bus
tidak hanya menunjukkan nama halte berikutnya, tapi juga informasi tempat
wisata yang dapat dicapai dari halte tersebut. Untuk mencapai area Higashiyama
saya turun di halte Kiyomizu-michi. Dari halte menuju
Kiyomizudera Temple dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di sepanjang jalan menuju
Kiyomizudera Temple terdapat banyak tempat penyewaan kimono, harga sewa
bervariasi mulai dari 3.500 Yen (belum termasuk pajak). Awalnya saya berniat
untuk menyewa kimono seharian penuh, tapi tidak jadi karena itinerary saya yang
terlalu padat. Jika kalian ingin menyewa kimono, saya sarankan untuk
menghabiskan waktu seharian penuh di area Higashiyama. Pagi hari saat tempat
penyewaan kimono buka kalian bisa puas memilih kimono yang ingin digunakan,
kemudian mengelilingi area Kiyomizudera hingga area Gion, dan sore harinya
kembali ke tempat penyewaan untuk mengembalikan kimono.
Penyeberangan jalan dari halte Kiyomizu-michi
Dress up, ladies!
Used kimono only 1.000 Yen
Kiyomizudera Temple (fee 300 yen, dari Kyoto Station naik bus 206
atau 100 turun di halte Kiyomizu-michi)
Sesampainya saya di Kiyomizudera Temple, lautan
manusia telah memenuhi kuil itu. Dari anak sekolah dengan bermacam seragam
berbeda, pengunjung berkimono, sampai solo traveler seperti saya yang kesulitan
mencari jalan. Di bagian utama Kiyomizudera Temple saya beristirahat sejenak
sambil memperhatikan kesibukan sekitar. Karena
letak Kiyomizudera Temple yang berada di atas
perbukitan, maka kita dapat melihat siluet kota Kyoto dari kejauhan. Dari
bagian atas bangunan tampak puncak pepohonan yang mulai berubah warna, menyembunyikan
konstruksi penopang Kiyomizudera Temple dan membuat ilusi seakan kuil ini
melayang di udara. Saya pribadi sangat kagum dengan arsitektur Kiyomizudera
Temple yang menggunakan kayu untuk keseluruhan konstruksi bagunannya. Dikarenakan
usia, Kiyomizudera Temple sedang mengalami restorasi di beberapa bagian.
Bangunan kuil yang menyerupai panggung yang menjorok di tepi bukit juga akan
mengalami restorasi, jadi ada baiknya mengecek bagian mana yang sedang
direstorasi sebelum mengunjungi Kiyomizudera Temple.
Kiyomizudera Temple
Agak serem liat orang sebanyak itu di beranda Kiyomizudera Temple
Turun dari Kiyomizudera Temple terdapat deretan kedai makan, awalnya saya tidak berminat
mampir namun iseng-iseng saya mengecek menu yang tertera. Kebetulan ada kedai
makan yang khusus menjual udon dan harganya tidak terlalu mahal. Jadilah saya
beristirahat sekaligus makan siang. Rasanya nikmat banget, makan udon yang
menjadi comfort food saya selama di Jepang setelah seharian jalan kaki. Saat
makan saya melihat seorang pelanggan yang meminta diisikan botol minumnya
sebelum dia meninggalkan kedai, kebetulan botol minum saya juga sudah kosong.
Dengan bermodal “sumimasen,” senyum polos tak tahu malu, dan mengacungkan botol
minum, pelayan mengerti permintaan saya dan botol minum saya diisi penuh.
Lumayan.
comfort food!
Tidak jauh dari kedai makan terdapat otowa
waterfall yang merupakan kolam dengan tiga pancuran air. Nama Kiyomizudera sendiri berasal dari air ini
karena secara harfiah Kiyomizu adalah air yang murni. Air dari ketiga pancuran
memiliki khasiatnya masing-masing; untuk kesehatan, umur panjang, dan sukses di
sekolah. Diperlukan kesabaran untuk mencicipi air otowa waterfall karena antrian
pengunjung cukup mengular panjang di sekitar kolam tersebut. Air pancuran
diambil menggunakan gayung bergagang panjang, air tidak langsung diminum dari
gayung melainkan dituang terlebih dulu ke telapak tangan baru diminum. Beberapa
orang tampak mencampur ketiga air pancuran dalam gayung baru meminumnya. Sayangnya,
cara tersebut salah karena seharusnya pengunjung memilih salah satu air dari
pancuran, meminum ketiganya mencerminkan ketamakan yang membuat tidak
terkabulnya permintaan.
Antrian di otowa waterfall dilihat dari atas. Yes, it is THAT long.
Sannenzaka dan Ninnenzaka
Beranjak otowa waterfall saya
kembali ke halaman muka Kiyomizudera Temple yang
memiliki tiga jalan menurun. Dalam perjalanan dari halte Kiyomizu-michi tadi
saya menggunakan jalan paling kiri karena jalan tersebut paling sepi dan tidak
dipenuhi lalu lalang kendaraan. Jalan tengah juga mengarah kembali ke halte
Kiyomizu-michi namun jalan ini lebih ramai dengan pejalan kaki karena banyaknya
toko di kanan kiri jalan. Jalan paling kanan mengarah ke Sannenzaka adalah tujuan
saya selanjutnya. Jangan takut tersasar saat mencari jalan menuju Sannenzaka, pastikan
saja jalan yang diambil adalah jalan menurun yang berada paling kanan dan ramai
oleh pejalan kaki. Selain itu, tidak jauh berjalan akan sampai ke tangga Sannenzaka yang legendaris itu.
Lautan manusia, literally.
The famous Sannenzaka stairways yang tidak pernah sepi
Sannenzaka dan Ninnenzaka dulunya merupakan area
perdagangan yang berfungsi untuk melayani para peziarah yang banyak berkunjung
ke kuil di area sekitarnya. Sekarang Sannenzaka dan Ninnenzaka dipenuhi oleh
toko souvenir dan kedai makanan di kanan kirinya. Walau demikian, romansa
Jepang tempo dulu terasa kental di daerah ini, dengan jalanan yang di-paving
menggunakan batu, bentuk bangunan dua lantai yang didominasi kayu, ditambah
pejalan kaki menggunakan kimono. Sungguh ini adalah tempat yang tepat untuk
menyalurkan hobi dipotret. *nelangsa nggak bisa dipotret karena solo traveler*
Selesai belanja oleh-oleh
Yasaka Shrine or Gion Shrine (Free, no closing days, always open)
Di ujung Ninnenzaka terdapat Yasaka Shrine atau
dikenal juga dengan nama Gion Shrine. Kuil ini merupakan salah satu yang
terkenal di Kyoto dan terletak diantara distrik Gion dan Higashiyama. Tepat di
depan kuil terdapat dance stage dengan hiasan ratusan lentera yang dinyalakan
saat malam hari. Saya sampai di Yasaka Shrine menjelang sore, beberapa pengunjung
yang datang masih menyempatkan diri berdoa sementara penjaga kuil menundukkan
kepala sebagai penghormatan di depan kuil sebelum pulang. Udara perlahan mulai
dingin sementara langit menggelap. Saya bertahan sebentar lagi untuk melihat
lampu lentera dinyalakan.
Lampion mulai menyala
Dari Yasakan Shrine sebenarnya sudah dekat sekali
dengan Gion. Namun kaki saya sudah sangat lelah sehingga saya tidak jadi ke
Gion dan mengantri bus di halte terdekat. Bus nomor 100 atau 206 mengantarkan
saya kembali ke Kyoto Station, walau lelah saya tetap memaksakan diri berjalan-jalan
sebentar di Kyoto Station.
Gion dari kejauhan
Kyoto Station
Walau fungsi utamanya sebagai stasiun, Kyoto
Station tidak hanya dilengkapi shopping mall, restoran, department store, tapi
juga ruang publik tempat masyarakat dapat melepaskan diri dari hiruk pikuk
keramaian. Sungguh saya iri, pemerintah Kyoto begitu cerdasnya menyatukan kebutuhan
transportasi, elemen komersial, dan kebutuhan ruang publik pada satu tempat.
Memasuki pintu utama Kyoto
Station saya berbelok ke kanan menaiki eskalator yang mengantarkan saya ke Daikidan
atau the great staircase. Pada siang hari tangga ini hanya berupa tangga biasa
yang terlihat menarik karena ukuran gigantisnya. Yang saya baru ketahui, pada
malam hari ribuan lampu LED yang ditaman pada anak tangga akan menyala dan
membentuk animasi sederhana. Kebetulan saat itu adalah bulan Oktober maka tema
yang ditampilkan adalah Halloween. Sungguh saya kagum, terpana, sekaligus iri melihat
bagaimana sebuah ruang publik yang tampak dingin dan kaku pada siang hari
tampak sangat menawan di malam hari.
Video saya kehapus, jadi pinjem dari Youtube.
Di ujung Daikidan terdapat
Happy Terrace yang merupakan pocket garden yang ditanami bambu. Walau kecil
namun oase taman ini cukup menenangkan hati. Happy terrace menempati lantai
teratas, di sekeliling taman dipasang tembok kaca sehingga saya dapat bebas
melihat pemandangan kota Kyoto. Pemandangan inilah yang membuat saya memaksakan
diri datang ke Kyoto Station walau kaki sudah teramat lelah. Saya penasaran
dengan pemandangan Kyoto saat malam! Dan sayangnya saya harus kecewa. Kyoto
tidak gemerlap kala malam, mungkin karena landskap kota lebih didominasi
perbukitan dan bangunan tinggi menjadi minoritas.
Dari Happy Terrace saya ke
lantai 11 untuk mengakses skyway tunnel yang terbentang 45 meter di atas central
hall Kyoto Station. Dari terowongan ini saya dapat melihat rumitnya
rangka-rangka penyokong Kyoto Station dan luasnya Kyoto Station dilihat dari
atas sini. Lagi-lagi saya iri, bagaimana sebuah stasiun dapat dirancang
sedemikian megah dan menjadi kebanggaan masyarakatnya.
At the end of the day, this is my silly pose in front of Kyoto Tower.
Itinerary
Arashiyama (Tenryuji Temple, Togetsukyo Bridge, Bamboo Grooves,
Sagano Scenic Railway) – Higashiyama (Kiyomizudera Temple – Otowa Waterfall –
Sannenzaka dan Ninnenzaka, Yasaka Shrine) – Kyoto Station
Estimasi biaya
Bekal
onigiri :
410 yen
Kyoto Bus
Pass 2 @500 Yen : 1.000 yen
Tiket JR
Kyoto - Arashiyama : 240 yen
Tenryuji
Temple : 600
yen
Sagano
Scenic Railway : 620 yen
Tiket JR
Umahori - Kyoto : 320 yen
Kiyomizudera
temple : 300 yen
Makan
siang udon : 600
yen
Total :
4.090 yen
Makasih postingannya mbak Rossa. Saya jadi ingat hari hari yang saya lewatkan menjadi backpacker di Kyoto. Saya malah pernah nginap di Kyoto Station karena kehabisan penginapan, di saat lagi musim dingin dan turun salju. Beberapa tempat di atas pernah saya kunjungi dan membuat saya pengen ke Jepang lagi.
BalasHapusAyo rajin rajin postingnya Bu Rossa. Masa harus nunggu jatuh cinta dulu baru nulis blog #kabur sebelum ditimpuk
Worthed banget ya Mba desek2an di kereta dan salah2 arahnya, pemandangannya bagus banget dan tempat2 iconicnya berhasil dikunjungi semua. :D
BalasHapus