Maaf ya jika postingan kali ini menyebut nama dagang/usaha. Saya tidak bermaksud promosi atau menjatuhkan suatu nama dagang.
Akhir-akhir ini saya sering menggunakan moda transportasi yang satu ini. Sebenarnya siiihh,kalau nga butuh-butuh banget atau kepepet banget, pasti saya akan mikir sampe tiga kali untuk naek taksi :) Berhubung sekarang sudah punya pendapatan sendiri, sepertinya tidak masalah mengeluarkan uang lebih besar untuk sebuah kenyamanan (tapi saya tetap memprioritaskan naik taksi sebagai pilihan terakhir).
Yang bikin saya bingung. mayoritas taksi di Jakarta itu kok warnanya biru. Saya sempat mencibir juga
"Huuu...mentang-mentang Blue Bird udah punya nama dan tempat di masyarakat terus semua taksi jadi di cat warna biru".
Tapiiii....setelah saya perhatikan dengan seksama, ternyata si biru ini memakai stiker Blue Bird Group di kaca depan mereka, padahal nama taksinya bukan Blue Bird. Sumpah saya bingung.
Pengalaman pertama naek taksi.
Pulang outing dari Bandung, belum malem banget sih, masih jam9 malem, kalau maksain diri bisa nekat cari bis atau omprengan untuk pulang ke rumah. Tapiiiii hal ini saya urungkan karena:
1. Kalap belanja di Bandung dan akhirnya kantong belanjaan saya menumpuk. Belum lagi tas besar yang berisi keperluan outing. Mana sanggup saya membawa semua itu sendiri.
2. Bis ke arah Cibinong sudah diboikot dan nga bisa ngetem di UKI lagi. Waduh, padahal saya diturunkan dari bus wisata di daerah Halim.
3. Memakai baju khas liburan. Yea....sebut aja hot pants dan tank top. Nga mungkin saya nekat naik bus dengan pakaian seperti ini. Bisa-bisa saya dianggap turis nyasar dan ditatap mata jelalatan para lelaki (yaiks.....).
Kebetulan bis menurunkan saya tepat di pangkalan taksi Blue Bird. Saya langsung naik dan menyebutkan tujuan. Supirnya ramah, saya juga nga deg-degan melihat argo, karena argo berjalan "normal" (normal dalam kamus saya adalah harga yang tertera di argometer berjalan sesuai ritme kendaraan, tidak melonjak terlalu cepat). Saya puas menggunakan jasa Blue Bird saat itu, jarak Halim - rumah (rumah saya di daerah Cibinong) bisa dicapai dalam waktu kurang dari satu jam, ongkong yang saya keluarkan juga hanya Rp. 80.000 (sudah plus tips dan ongkos tol). Murah, aman, nyaman. Itu kesimpulan saya.
Pengalaman kedua naik taksi
Jakarta macet total. Banjir di beberapa tempat yang menyebabkan jalanan jadi semakin semrawut, Saya memutuskan naik taksi karena:
1. Bis terakhir ke arah Cibinong sudah lewat 20menit yang lalu (saya harus mengejar bis itu atau saya nga bisa pulang).
2. Minus ojek (ojek di Jakarta teramat sangat laris dalam kondisi ini. Sepertinya yang harus mengejar bis terakhir bukan saya saja).
3. Hujan turun semakin deras.
Akhirnya saya menyetop taksi, Blue Bird lagi. Saya naik ke taksi dan menyebutkan tujuan Cempaka Putih. Sepanjang jalan saya berharap-harap cemas bisa mendahului bis tersebut dengan taksi ini. Tapi ternyataaaa....taksi saya terjebak macet TOTAL. Sumpah saya deg-degan banget, karena:
- Uang di dompet saya cuma Rp 100.000, sedangkan ATM minus saldo (tanggal tua cekak beneeerrr....)
- Hujan tambah deras, dan mau nga mau saya harus berdiam diri di taksi
- Tidak ada tanda-tanda dari bis yang saya kejar, sepertinya saya sudah tertinggal jauh.
Jarak 1.5km ditempuh taksi dalam waktu 1jam, dan argo sudah bergerak ke angka Rp 35.000 Waduuuhh...saya nga mungkin di dalam taksi terus. Akhirnya saya nekat turun di tengah hujan (di tengah jalan juga) dan mencari ojek. Akhir cerita saya berhasil mengejar bis menggunakan ojek dan sampai ke rumah dengan selamat.
Ongkos taksinya mahal banget, nyesel udah nekat pake taksi. Itu kesan saya yang kedua.
Pengalaman ketiga
Acara nonton bareng di Setiabudi 21. Saya lupa gedung itu ada dimana, kata teman sih deket halte Karet. Ketika saya sampai di halte Karet, dengan PD nya saya keluar shelter dan celingak-celinguk kesana-sini. Eh, ko ada menara Mayapada sih? Ampuuuunnn....saya di halte Karet yang salah, mustinya saya turun di halte Karet Kuningan. Karena waktu sudah mepet, akhirnya saya menyetop si biru dan meluncur ke Kuningan. Sepanjang jalan saya sibuk meng-update Facebook dan tidak memperhatikan jalan. Sewaktu taksi agak berguncang, saya baru ngeh, ternyata si Bapak supir nga lewat Dukuh Atas, tapi putar balik dan masuk ke Kuningan lewat belakang. Sumpah saya nga tau ada dimana, mulai was-was plus deg-degan. Sampai akhirnya Bapak pengemudi bertanya
"Dari sini kemana ya mba?"
"Haduuuuhhh paaaa....saya belum pernah lewat sini, kenapa tadi nga ngikutin jalur busway aja sih?"
Dan akhirnya Bapak supir itu turun dari taksi dan menanyakan arah. Akhirnya saya sampai di Setiabudi building juga, dengan perasaan gondok. Bayangin aja, dari Sudirman - Kuningan menghabiskan waktu 40menit lebih, ongkos yang saya keluarkan saat itu Rp 25.000. Mahal bagi saya, soalnya jaraknya itu dekat, andai nga pake nyasar dan muter-muter dulu.
Kesan saya saat itu: kok supir taksi nga ngerti jalan sih? Sepertinya saya ditipu.
Pengalaman keempat
Berangkat ke JIFFest bareng temen, berdua aja. Rencananya begini, kami naik bus TransJakarta dari tempat masing-masing, ketemu di halte dukuh atas, baru dari situ kami naik taksi. Alasan naik taksi kali ini:
1. Sama-sama belum pernah maen ke GI (haiiaaahhh....norak banget) dan bingung pintu masuknya dimana (hiiiiihhh...tambah norak).
2. Kita berdua sama-sama sadar dan tau banget, nga ada mikrolet, bus, ato kopaja yang lewat GI. Dari halte busway terdekat juga jalannya lumayan jauh.
Syusyaaahhh banget nyari taksi di daerah Sudirman. Dapet Blue Bird lagi. Dari Dukuh atas ke GI cuma kena Rp 7000.
Pulang dari JIFFest sekitar jam 23.30. Mall udah gelap, semua toko udah tutup, pintu keluar juga banyak yang dikunci, cuma bisa keluar lewat lobi utama. Ternyata banyak yang bernasib seperti kami, dan mereka semua menunggu taksi. Hahaha...baru kali ini saya berebutan taksi sama bule :D Sebenernya banyak taksi yang ngetem, tapi kami takut memilih taksi itu, soalnya taksinya kurang terkenal dan kacanya itu gelap bangeeeetttt. Kalau diculik nga bisa minta tolong sama orang yang di luar, wong dari luar nga bisa ngeliat apa-apa yang ada di dalem.
Akhirnya saya nemu taksi Express, langsung lari-lari ke arah taksi itu supaya nga diserobot bule lagi. Dari GI saya numpang sampe Pelangi. Ongkosnya Rp 13.500. Hmmm....saya lebih suka naik express sebenarnya dibanding dengan Blue Bird, harganya lebih murah, pelayanannya juga nga kalah dengan taksi nomor satu di Jakarta.
Ini rute perjalanan pulang saya malam itu:
GI - Pelangi: taksi express, Rp. 13.500
Pelangi - UKI: Bis mayasari, Rp. 2.500 (bahkan di malam selarut itu masih banyak bis mayasari dan penuh dengan penumpang. Kota ini memang tidak pernah tidur bukan?)
UKI - Cibubur: Angkutan umum (saya nga tau namanya apa), Rp. 6000
Cibubur - rumah: Blue bird.
Ok...biar saya jelaskan rute ini. Tadinya saya mau naik taksi dari Pelangi sampe rumah, tapi masih banyak bis bertebaran, ya saya nekat saja. Perkiraan saya di UKI nga ada angkutan ke Cibinong lagi, dan ketika mencari taksi di daerah UKI, ternyata masih ada angkutan ke Cibubur. Lumayan, saya bisa mengirit ongkos taksi dari UKI ke Cibubur. Dasar nga mau rugi, hahahaha....
Di Cibubur saya agak ragu bisa menemukan Blue Bird, memang disana banyak taksi, tapi taksi dengan kriteria yang membuat saya takut untuk menaikinya. Lucky me...sebuah taksi dengan penampilan yang meyakinkan lewat, langsung saya stop, naik, tutup pintu, dan baru sadar ketika melihat argo....Rp 6.000, ooohhh saya naik Blue Bird yaaa...tapi kok penampilannya beda ya.
Supir saya kali ini memacu taksinya cepat sekali, argo juga dengan cepat naik, meloncat-loncat melewati beberapa tingkatan angka. Hmm...saya merasa argonya sedikit tidak normal. Ongkos yang saya keluarkan Rp 40.000, belum termasuk tips. Wuaaaahhh...mahal banget.
Sebenarnya ada beberapa pengalaman lain ketika saya naik taksi. Tapi hanya ini yang saya ingat dengan baik dan sangat membekas. Oia, setelah pengalaman naik taksi terakhir, saya iseng memperhatikan semua taksi yang berwarna biru. Ternyata kebanyakan taksi berwarna biru itu berada di bawah nama Blue Bird, hanya logo dan nama saja yang berbeda. Ada pusaka, pusaka biru, cendrawasih, montero, dan beberapa nama lain. Hmmmm....nga heran Jakarta dipenuhi taksi berwarna biru, bukan karena mereka ikut-ikutan, tapi karena di bawah perusahaan yang sama.
Saya juga agak pilih-pilih untuk naik taksi, prioritas saya Express dan Blue Bird. Apalagi kalau di malam hari, saya cuma mau naik dua nama ini saja. Well, nga ada salahnya kan pilih-pilih taksi. Sekarang modus kejahatan di taksi makin banyak, contohnya perampokan, penculikan, pemerkosaan, sampai pembubuhan. Apalagi pelakunya kebanyakan mengincar perempuan. Kalau pulang malam sebaiknya memilih taksi yang bisa dipercaya, walau mahal sedikit yang penting bisa pulang sampe rumah dengan selamat.