Minggu, 17 Januari 2010

Prihatin Dengan Kualitas Film Indonesia

Tahun 2010 baru berjalan 17 hari dan produksi film dalam negeri sudah mulai membanjir. To be honest, saya agak sedikit malas menonton film dalam negeri, kecuali film produksi Hanung dan Miles. Bukannya saya tidak cinta produk dalam negeri, saya hanya muak dengan film Indonesia yang didominasi tema horor, komedi seks, dan cinta-cintaan yang terlalu dramatis. Belum lagi kebanyakan tema film Indonesia hanya mengikuti trend, saat film Islami booming, maka rumah produksi yang lain akan membuat film dengan tema serupa. Huh, tak kreatif.

Salah satu moment menonton film Indonesia yang membuat saya bangga dengan negeri ini adalah saat saya menghadiri JIFFest tahun kemarin. Saat itu 15 film Indonesia diputar dengan berbagai genre, menunjukkan betapa beragamnya cerita yang dapat diinterpretasi dalam sebuah film. Dengan originalitas dan kreativitas para pembuatnya, film-film tersebut tidak kalah hebat dengan film dari negeri seberang. Bangga rasanya saat film dari negeri sendiri dihargai dan diapresiasi oleh masyarakat dari negeri tetangga. Dengan banyaknya orang asing yang menonton film Indonesia saat JIIFest kemarin, saya berharap mereka dapat membuka mata bahwa produksi film Indonesia juga dapat bersaing secara internasional.

Tetapi awal tahun ini saya kembali miris. Hari untuk Amanda yang notabene jauh lebih bermutu dibanding Suster Keramas dan Ssstt Jadikan Aku Simpanan malah sudah terdepak dari studio-studio besar di Bogor, padahal film ini baru dirilis minggu kemarin. Yang lebih menyebalkan, film ini sama sekali tidak masuk dalam jaringan XXI, hanya bisa dinikmati lewat jalur 21. Dari tiga film Indonesia yang saya sebutkan di atas, malah Ssstt Jadikan Aku Simpanan yang masuk ke XXI. Satu pertanyaan saya: What the hell was Acha Septriasa thinking when she decided to accept that movie? Suster Keramas yang sudah tiga minggu beredar di seluruh bioskop kota Bogor sampai saat ini juga belum terdepak.

Saya sempat mengungkapkan kekesalan ini melalui status Facebook, semua yang mengomentari status saya adalah laki-laki. Rata-rata mereka mengatakan hal tersebut dikarenakan selera masyarakat Indonesia yang lebih menggemari film komedi seks. Ya, saya setuju dengan hal tersebut, selera masyarakat negeri ini memang menjurus ke arah sana, tetapi menurut saya rumah produksi juga memiliki kontibusi terhadap situasi ini.

Rumah produksi hanya memprioritaskan keuntungan yang akan diraih dengan membuat sebuah film, tanpa memikirkan esensi dari film tersebut, mendidik atau tidak. Akhirnya mereka membuat film dengan tema yang pasti diminati sebagian besar masyarakat Indonesia: horor dan komedi seks. Padahal masih banyak film dengan tema lain yang diminati masyarakat, seperti film untuk anak-anak (yang pasti akan ditonton satu keluarga lengkap: Petualangan Sherina, King, Garuda di Dadaku), film bertema persahabatan (Mengejar Matahari, Pencarian Terakhir) atau film bertema nasionalisme (Soe Hok Gie, Ruma Maida, Jamila dan Sang Presiden).

Aaahhh... sebal sekali rasanya jika sebuah film bermutu harus kalah bersaing dengan film ecek-ecek yang hanya mengedepankan keseksian para pemainnya semata. Lalu, apa yang bisa saya lakukan agar produksi film dalam negeri ini bisa meningkat dari segi kualitas? Huff... sampai sekarang saya belum tahu jawabannya (mungkin kalian bisa bantu), saat ini saya hanya bisa mengkritik film ecek-ecek tersebut melalui blog dan facebook, rajin mengikuti berbagai festival film untuk menunjukkan apresiasi saya, dan menulis resensi film yang berkualitas disini (dengan harapan yang membaca tulisan saya juga dapat tergerak menonton dan mengapresiasi). Semoga usaha kecil dari saya ini dapat berguna.

Untuk review minggu ini, saya hanya sempat menonton Hari Untuk Amanda dan membaca dua buku terbitan dalam negeri (maaf...saya nggak bisa nonton banyak film minggu ini. Alasannya ada dua: cekak, dan nggak ada film menarik lain di Bogor).

Hari Untuk Amanda
Pertama kali lihat thrillernya saya langsung bilang "Saya harus nonton film ini". Thrillernya catchy plus lagu soundtracknya match banget. Must be a good film I guess. Dan ternyata tebakan saya benar, muka saya sembab banget waktu keluar dari studio.



Sepuluh hari lagi Amanda (Fanny Fabriana) akan menikah dengan Dody (Reza Rahardian), tetapi Amanda masih dibayang-bayangi masa lalunya bersama Hari (Oka Antara). Hari masih sering mengirim sms berisi kata-kata mesra untuk Amanda, puncaknya adalah ketika Hari mengirim kotak yang berisi seluruh kenangan selama delapan tahun mereka berpacaran.  Amanda memutuskan untuk menghadapi masa lalunya dan menemui Hari. Tak disangka, ternyata satu hari yang dihabiskan Amanda bersama Hari membuat Amanda bingung dengan keputusannya. Apakah Amanda akan tetap bersama Dody yang sibuk namun memiliki masa depan pasti, atau memilih Hari yang santai, spontan, dengan slogan khasnya "Hidup ini santai kaya di pantai, slow kaya di pulaw".

Film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko ini mengambil tempat di Jakarta yang khas dengan segala keunikannya: macet, panas, pengamen, busway, tempat makan di Blok S, sampai ke pasar Mayestik. Yang menarik, film ini hanya berfokus di satu hari, dari pagi sampai malam, dari Amanda yang jutek abis terhadap Hari sampai akhirnya sikap Hari meluluhkan Amanda. Hari juga dengan setia menemani Amanda melakukan berbagai persiapan pernikahan yang seharusnya dilakukan bersama Dody, mulai dari mengantar surat undangan sampai fitting baju pengantin. Satu lagi, lagu-lagu sountrack film yang didominasi oleh Alexa dan Pure Saturday sangat mendukung mood film.

Curhat colongan: masih ingat tulisan saya tentang Kampus Sejuta Kenangan? Kurang lebih film ini mengingatkan saya dengan mantan. Seseorang yang telah menemani saya selama empat tahun, mengajarkan begitu banyak hal, namun jalan kita memang berbeda. Sampai kapan pun kamu akan menjadi seseorang yang spesial untuk saya, kita hanya tidak ditakdirkan untuk bersama. Cheers for your new life dear.

Surat Kecil Untuk Tuhan
Menceritakan perjuangan hidup Gita Sessa Wanda Cantika (keke) yang mengidap kanker jaringan lunak di daerah mata. Kanker yang dialami termasuk jenis kanker langka dan jarang ditemui dalam dunia kedokteran. Dokter menyarankan operasi dengan kompensasi sebagian wajah keke akan diangkat, namun hal tersebut ditolak keluarga. Ayah keke mengupayakan pengobatan alternatif namun tidak membuahkan hasil hingga akhirnya keke menjalani rangkaian proses kemoterapi untuk membunuh kanker tersebut.

Keajaiban terjadi, setelah melewati kemoterapi selama enam sesi, kanker di wajah keke menghilang. Namun kebahagiaan tersebut hanya bertahan selama empat bulan, kanker itu datang lagi dan menyerang mata kanan keke. Keke tidak menyerah, dia tetap berjuang agar kembali memenangkan pertempurannya melawan kanker. Proses kemoterapi kembali dia jalani, tetapi karena jarak antara kemoterapi sebelumnya dan yang sekarang sedang dilakukan terlalu dekat maka tubuh keke bereaksi menolak obat yang dimasukkan. Seluruh tubuh Keke biru-biru akibat suntikan obat kemoterapi sehingga tidak ada tempat lagi untuk memasukkan obat tersebut. Tidak ada pilihan lain, obat diberikan melalui selang yang dimasukkan melalui hidung, langsung ke paru-paru (sumpah, saya mual waktu baca bagian ini). Cara pengobatan ini dilakukan selama tiga sesi kemoterapi. Tuhan, keke masih 14 tahun waktu itu. Sayangnya, setelah kemoterapi selesai dilakukan, kanker tetap bercokol dan tidak mau hilang, dokter pun sudah angkat tangan. Akhirnya keke meninggal di usia 15 tahun.

Kisah keke pernah diulas di acara Kick Andy. Sebuah kisah perjuangan hidup yang menginspirasi, mengajarkan kita agar tidak mudah menyerah terhadap keadaan. Saya hanya kecewa dengan cara penginterpretasian kisah keke oleh Agnes Danovar. Buku ini hambar, dialog yang ditulis terasa kaku dan tidak mengalir, belum lagi pilihan kata yang "ganggu" banget bagi saya, seperti sobat (untuk menyebut para pembaca) dan kekasihku (aaiiihh...hare gene kekasih???). Beberapa bagian cerita juga mengganggu mood yang sudah terbangun, contohnya ketika keke jalan-jalan bersama sahabatnya ke Bandung dan dia menulis pengalaman tersebut di mading, nggak penting dan nggak berhubungan dengan inti cerita. Well, saya tidak terlalu merekomendasikan bukunya, tetapi kalau kalian mau beramal, silahkan beli buku ini, karena sebagian hasil dari penjualan akan disumbangkan.

Boulevard de Clichy (Agonia Cinta Monyet) 
Berhubung pengarangnya, Remy Sylado, salah satu sastrawan Indonesia, maka buku ini "berat" banget. Berat dalam arti kata sesungguhnya, 672 halaman, dan berat dari pilihan kata yang digunakan. Prosa, sastra, peribahasa, perumpamaan, semuanya bertaburan dari halaman awal sampai akhir. Saya berasa belajar bahasa Indonesia lagi. Terkadang saya nggak sanggup baca buku ini karena di beberapa bagian bahasa yang digunakan sedikit vulgar dan kotor.

Nunuk dan Budiman saling jatuh cinta, cinta monyet, sangking monyetnya cinta itu maka berlanjut ke tempat tidur. Nunuk hamil, namun orangtua Budiman tidak menyetujui pernikahan mereka berdua. Mengapa? Karena Nunuk berasal dari keluarga miskin dan Budiman keluarga kaya raya (aaahh.. Klise banget). Akhirnya Nunuk memutuskan untuk pergi ke Belanda, belajar ilmu akting dan melahirkan bayinya disana. Nunuk mendapat tawaran menari dan menyanyi di sebuah teater populer Paris, di Boulevard de Clichy. Apakah teater populer itu? Sebuah bentuk seni menyanyi, menari, dan telanjang. Ternyata Budiman juga pergi ke Paris untuk kuliah, tetapi mereka berdua tidak pernah bertemu. Sampai suatu ketika Nunuk melihat Budiman yang menghadiri pementasannya,tetapi Budiman tidak mengenali Nunuk karena dipengaruhi oleh jampi-jampi (yeah, masih pake ilmu perdukunan di buku ini). Lalu bagaimana kelanjutan kisah Nunuk dan Budiman? Hhhmm...rasanya nga adil kalau saya beberkan disini. Kalau ada yang minat baca buku ini, hubungi saya saja, dengan senang hati saya pinjamkan.

That's all for this week guys... Thanks for reading :D

18 komentar:

  1. Banyak nih yang dibahas, sampe bingung mau komennya hehehe.

    Saya sepakat ttg fenomena pasar film di Indonesia yang masih menerima film2 sampah. Kayaknya ini memang butuh proses yang panjang dan sepertinya berbanding lurus dengan pendidikan ya.

    Bagaimana pun kita tetap harus bangga dengan kenyataan bahwa film baik dan bermutu pun nggak sedikit yang kita punya.

    Nice posting sis :)

    BalasHapus
  2. etha mah mending baca buku dari pada nonton pilem indonesia yg semakin kacau aj ... >,<

    BalasHapus
  3. saya g pernah tuh niat nonton film2 yang genre2 kaya 'gitu' (u know lah,yang anda bahas tadi)...kayanya g berbobot gitu...
    sayang duit,haha
    tapi,saya bener2 standing applause buat film2 yg mengedepankan pendidikan dan mimpi...buat refleksi diri lah...

    btw,agonia cinta monyet rame?blm sempet baca uy...

    BalasHapus
  4. dari dulu sampe skrang jarang ngikutin perkembangan film... jarang nonton di bioskopp... jarang bca info ttg film... heeh


    Nice artikel bro..!

    BalasHapus
  5. heran juga ya liat perkembangan perfilman indonesia yang sekarang lebih didominasi film2 yang kurang mendidik, ga di layar lebar ga di televisi sama aja.. kalau begini kapan indonesia mau maju ya?

    hari untuk amanda: jadi pengen nonton nih..

    surat kecil untuk Tuhan: sedih banget baca buku ini.. :( salut dengan perjuangan si kecil keke

    boulevard de Clichy: dah lama juga ga hunting buku di gramed, makasi infonya ya mba rossa, aku suka banget nih sama buku2 berat kaya gini

    BalasHapus
  6. kebetulan!!
    saya kemaren baru selesai baca Boulevard de Clichy (Agonia Cinta Monyet), dan komentar saya hanya..wow!
    saya pikir, ini seperti buku Remy Silado lainnya, serius, dengan alur yang berbelit, dan sedikit membosankan, namun buku ini ternyata sedikit ngepop dan hasilnya buku ini bisa dijadikan pilihan yang baik untuk mengisi waktu luang.

    BalasHapus
  7. Another cool review from you.

    Sekarang jarang baca dan nonton pelem euy jadi blom bisa kasih tanggapan.

    Keep reviewing

    BalasHapus
  8. iyaaaa benar
    mental sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tergerus
    sukanya yg seks demi memuaskan nafsu mata
    miris :(

    BalasHapus
  9. @ Iman: Iya, Indonesia juga punya banyak film berkualitas, cuma sayang film-film tersebut kalah bersaing dengan film nggak mutu.

    @ Etha: tenang tha...masih ada kok film Indonesia yang bermutu :)

    @ Minomino: Agonia cinta monyet? Kalau kamu pecinta sastra mungkin bisa mengkategorikan buku ini menarik ;)

    @ Bandit: Sist atuuuhh...bukan bro :p

    @ Syifa: setuju, sinetron yang setiap hari ditonton separuh masyarakat Indonesia juga sama tidak mendidiknya.

    @ Dela: dibanding buku Remy Silado yang lain, Boulevard de Clichy memang tergolong lebih ringan. Tapi saya tetep musti buka-buka buku 100 arti kata peribahasa nih selama baca buku ini :(

    @ Cipu: semoga setelah baca review ini kamu juga bisa tergerak untuk membaca dan nonton film lagi yaaa....

    @ Astri: so pathetic ya.

    BalasHapus
  10. mengenai tren film itu, klise sekali rasanya jika mengatakan "memang selera orang Indonesia menjurus ke sex..." rasa-rasanya jika pada suatu ketika yang film yang tersisa cuma dua di dunia; satu komedi menjurus, satu another algore's scientific movie, orang-orang di seluruh dunia pasti lebih memilih yang pertama. lumrah..

    masalahnya penggiat film nggak memberikan banyak pilihan pada penonton.. kite2 penonton ini bisanya cuma nonton kali. haha..

    BalasHapus
  11. Saya tidak begitu suka menonton film Indonesia. Tapi membaca ulasan tentang Hari Untuk Amanda ini, sepertinya film tersebut layak untuk dipertimbangkan sebagaimana "endorsement" yang tayang di teve waktu itu *langsung ngulik jadwal film di bioskop terdekat*

    BalasHapus
  12. mr. bru sez : huffhh, mengenai selera emang bagaimana pasar membentuknya, udah mah pada kurang doyan baca, diperparah dengan kualitas film layar lebar maupun kaca yang dipenuhin cuma dengan marah2, selingkuh, seks, nangis bombay ga jelas ..jadi ajah membentuk selera masyarakat seperti ini..doyanan pelem sekwilda dan bupati, daripada yang romantic ataupun jenis laen....buanyak bgt pelm horor ga jelas yang cenderung nonjolin bodi doang, pelm hollywood pun banyak yang kayak begonoh..kembali lagi ke selera siiih, pengusaha pun melihatnya untung apa kaga...

    BalasHapus
  13. @ Shige: "kalau di dunia ini cuma ada film komedi menjurus dan another algore's scientific movies, pasti orang akan milih yang pertama", kalau saya sih lebih milih untuk baca buku :D

    @ Pagit: yaaa...layak untuk ditonton lah Hari untuk Amanda :)

    @ Mr. Bru: butuh pendidikan yang lebih maju supaya mental bangsa ini bisa bangkit.

    BalasHapus
  14. Cuma 1 komentar, semoga kita bisa menularkan pemikiran kita itu kepada yang lain, dengan makin sedikit yg nonton gitu2an, makin gak laku lah pilem2 gak guna itu, iya kan?

    BalasHapus
  15. @ adityahadi: iyaaa...semuanya berawal dari diri sendiri, kurangin nonton film "gituan", apresiasi film bermutu, dan dukung terus perfilman Indonesia.

    BalasHapus
  16. Sekarang tepat tiga bulan berlalu dari pergantian tahun, rasanya enggak ada perubahan berarti. Bahkan judul2 yang muncul pun terlalu 'picisan' untuk sebuah karya.
    Semoga enggak berakhir seperti masa lampau, yang hanya berganti tempat dan tarif tiketnya aja.

    BalasHapus
  17. wuihhh..........
    Banyak banget yang diulas, aku bingung mau komen yang mana. tadi sempet bingung katanya review tentang surat untuk tuhan tapi kuk tentang muvi...??? ternyata surat untuk tuhanya ada di bawah, hohoho

    komentar untuk muvi: aku juga gak suka "pake banget" tema2 film indonesia saat ini, dan emang aku gak begitu menikmati film indonesia, bukannya gak nasionalis, tapi begitulah keadannya, aku gak dapet apa2 dari film2 itu..

    kalau tentang surat untuk tuhan, gaya bahasanya emang gak begitu menyenangkan, tapi aku tetep suka dengan esensi ceritanya, menurut aku bisa menginspirasi...^^

    BalasHapus
  18. haloo, baru baca nih.. postingannya bagus ya.. aku follow.. :)

    BalasHapus